Rutinitas Bus Date Kami di Bandung: Cinta Urang Beurat di Akses Transportasi Publik
Bus bisa menjadi sebuah solusi utama untuk mengurai kemacetan di kota Bandung. Cukup perbanyak rute dan buat integrasi antarpengelola.
Ananda Bintang Purwaramdhona
Alumnus Magister Kajian Budaya Unpad, kini sedang aktif sebagai pengajar honorer di BIPA Unpad
16 Mei 2024
BandungBergerak.id - Pacar saya, Elektra, orang Soreang. Daerah yang dulu saya bayangkan jauh dari Kota Bandung, setidaknya dari rumah saya di Arcamanik. Ya, memang jauh sih. Atau bisa dibilang sama-sama jauh kamamana. Itu kadang diucapkan beberapa kali oleh Elektra secara sadar dan tidak sadar: “Jauh atuh dari Soreang mah.” atau “Rumah akumah jauh di Soreang”. Sembari juga tetap merasa bahwa Soreang itu bagian dari Bandung dan dekat.
Kesadaran dan ketidaksadaran akan jarak yang jauh itu kerap jadi topik obrolan kami. Saya misalnya beberapa kali mengajukan pertanyaan: “Rumah kamu jauh, mamah kamu kerja di kota, kenapa ga pindah?” Pertanyaan itu biasanya segera dijawab oleh Elektra dengan: “karena terbiasa, jadi terasa lebih dekat”. Secara ilmiah dan psikologis, jawaban itu memang benar setidaknya dari apa yang pernah kami baca. Itu juga yang membuat orang ketika melalui jalan yang pernah dilewati terasa lebih cepat karena sudah terpatri di otak atau secara ilmiahnya disebut sebagai “return trip effect”.
Pertanyaan seperti itu juga muncul ketika kadang saya frustrasi dengan jarak atau kemacetan kota Bandung yang semakin parah. Namun, semakin lama saya bisa juga merasakan perasaan dan arti dari “jarak yang terasa kian dekat karena terbiasa itu”, persis seperti hubungan kami.
Terlepas dari perasaan dekat karena terbiasa yang kadang muncul dengan sendirinya tetapi lebih sering hilangnya itu, ada salah satu hal yang membuat perjalanan Soreang-Bandung terasa lebih dekat (baca: tidak terlalu melelahkan), yakni transportasi publik atau transportasi umum.
Tentang Sedikit Lunturnya Stigma Transportasi Publik Bandung
Sebagai orang yang telah tinggal belasan tahun di Bandung, kata transportasi publik adalah sesuatu yang identik dengan angkot yang doyan ngetem seenaknya, halte yang tidak terawat, dan fantasi mantan Walikota Bandung tentang inovasi Metro Kapsul Bandung serta maket khayalan lainnya.
Trauma akan ketidaknyamanan fasilitas dan akses serta rute yang tidak menjangkau keseluruhan wilayah Kota Bandung, membuat saya terpaksa memutuskan menggunakan kendaraan pribadi. Sebuah pola pikir yang akhirnya juga terpaksa dijalankan oleh sebagian warga Bandung.
Namun, saya agak kaget ketika ternyata Elektra lebih suka menggunakan transportasi publik bus dari Soreang ke Bandung. Dia yang sudah bisa menyetir mobil kopling dan motor justru lebih memilih transportasi umum bus. Menurutnya, naik bus lebih nyaman karena kebetulan di depan kompleks rumahnya dilalui salah satu pemberhentian jalur bus Soreang-Leuwipanjang. Selain itu, dia bilang bahwa bus kota Bandung ini jauh lebih nyaman dari bayangan saya selama ini karena tidak ngetem, tidak asal berhenti di tengah jalan, berpendingin ruangan, dan juga bisa diakses keberadaannya melalui aplikasi.
Deskripsi tersebut membuat stigma saya tentang transportasi publik di Bandung sedikit luntur. Dari situ, saya mulai tertarik untuk mencoba bus. Di samping itu juga karena kami pun sudah lulus dan tidak bisa berpacaran terus di sebuah kampus di Jatinangor.
Suatu ketika akhirnya saya naik bus ke Soreang. Saya memarkirkan kendaraan pribadi di Terminal Leuwipanjang. Bus berjejer, setiap 15 menit berangkat. Saya pun naik dan benar saja, stigma negatif itu memang runtuh akhirnya. Bus berhenti sesuai terminal, sopir tidak merokok, ruangan berpendingin, dan keberadaan bus bisa dilacak melalui aplikasi. Saya juga tidak perlu capai-capai memikirkan kemacetan kota Bandung karena meskipun bus di Bandung tidak memiliki jalur, kepenatan akan macet dibebankan pada sopir bus. Saya bisa bermain ludo atau permainan daring dengan Elektra di sepanjang perjalanan menuju Soreang. Tarif bus pun tidak begitu mahal, yakni 4.900 rupiah, dan bisa dibayar menggunakan QRIS dan E-Toll. Ongkos perjalanan menggunakan kendaraan pribadi lewat tol Buahbatu-Soreang justru lebih mahal, yakni sekitar 12 ribu rupiah.
Baca Juga: Klaim Smart City Kota Bandung tak Membekas pada Transportasi Publik
Bukan Hanya Jalan Layang, tapi Juga Layanan Transportasi Publik
PROFIL TRANSPORTFORBANDUNG: Sukarela Membenahi Transportasi Publik
TMP, TMB, dan DAMRI Adalah DAMRI?
Awalnya saya kira bus yang saya naiki ke Soreang itu DAMRI (Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia), tetapi ternyata bukan. Di Bandung, setidaknya terdapat empat moda transportasi umum, yakni angkot, DAMRI, Trans Metro Pasundan, dan Trans Metro Bandung. Namun, orang kerap menganggap semua bus di kota Bandung adalah DAMRI.
Bus dan fasilitas yang dideskripsikan Elektra di atas adalah Trans Metro Pasundan. Bus ini melayani rute Leuwipanjang-Soreang, IKEA KBP-Alun-alun Bandung, Baleendah-BEC, Leuwipanjang-Dago (Dipatiukur), dan Dipatiukur-Jatinangor. Layanan ini dikelola oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui program Teman Bus.
Sementara itu, TMB merupakan bus dalam kota yang dioperasikan oleh Dinas Perhubungan Kota Bandung. TMB melayani rute Cibiru-Cibeureum, Cicaheum-Cibeureum, Leuwipanjang-Antapani, Gunung Batu-St Hall, dan Cibeureum-Summarecon.
Kemudian DAMRI merupakan bus yang dikelola Perum DAMRI. DAMRI melayani empat rute, yaitu Elang-Jatinangor (via tol), Tanjungsari-Kebonkalapa, Leuwipanjang-Cibiru (via Cicaheum), dan Alun-alun Bandung-Kota Baru Parahyangan (via tol).
Tidak seperti TMP, TMB dan DAMRI tidak bisa dilacak melalui aplikasi dan penumpang bisa asal turun di mana saja. Karena hal itu, saya jarang menggunakan kedua bus ini. Bahkan belum pernah. Sementara Elektra pernah menggunakan TMB ketika dia pergi ke saudaranya di Antapani dan setelah itu agaknya dia tidak ingin naik lagi. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, dia tidak bisa melacak keberadaan TMB dan bahkan bisa menunggu berjam-jam. Padahal, durasi tunggu antarbus dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 10 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan itu setidaknya maksimal 15 menit. Kedua, alih-alih sampai ke terminal Antapani, Elektra justru disuruh turun di dekat Bandung Trade Mall, Cicadas. Dari sana, ia disuruh sopir untuk naik angkot menuju Terminal Antapani.
Ketidakjelasan rute itu membuat Elektra enggan menaiki TMB lagi. Padahal, awalnya saya cukup senang seandainya bus rute Antapani-Leuwipanjang jelas dan bisa dilacak aplikasi. Artinya, saya tidak perlu ke Terminal Leuwipanjang untuk memarkirkan kendaraan saya dan naik bus Soreang-Leuwipanjang untuk berpacaran.
Masalah Utama Transportasi Publik di Bandung
Masalah tidak adanya integrasi sistem transportasi di atas menjadi salah satu alasan yang bikin malas naik transportasi publik dan akhirnya membuat masyarakat lebih memilih kendaraan pribadi. Hal itu jelas berbeda dengan misalnya Jakarta yang punya Jaklingko, yakni sistem terintegrasi antarmoda transportasi publiknya.
Tidak adanya integrasi yang ajek di antara pengelola di Bandung juga membuat setiap fasilitas dalam bus tidak seragam. Tidak ada aplikasi yang dapat mendeteksi setiap bus meskipun berbeda pengelola. Ini kemudian merembet ke masalah lain, misalnya tidak adanya bangunan halte yang membuat pembayaran harus dilakukan di dalam bus. Itu juga yang membuat penumpang kerap lupa bayar karena pembayaran tidak dilakukan sebelum menaiki bus. Pembangunan infrastruktur lain yang tidak kalah penting dan tidak ada di Bandung adalah jalur khusus Bus. Akibatnya, bus tidak ada bedanya dengan transportasi pribadi yang sama-sama berbagi ruang kemacetan. Selain itu, kami pernah mengalami ketidakamanan akibat ulah seorang sopir yang ugal-ugalan dan kami bingung menegur ke mana karena tidak adanya pengaduan terintegrasi yang baik.
Bus di Bandung yang sudah jadi titik nadi masyarakat Bandung dan bahkan medium saya mengakses cinta, sebenarnya bisa menjadi sebuah solusi utama untuk mengurai kemacetan jika pembangunan kereta dalam kota tidak memungkinkan. Cukup perbanyak rute dan buat integrasi antarpengelola. Itu saja sebenarnya sudah jadi sesuatu yang mewah meskipun itu sebenarnya sih standar paling rendah (bare minimum) untuk bus dalam kota. Jika mau serius, perbaiki fasilitas dan bangun jalan khusus bus. Niscaya, kemacetan kota Bandung akibat membludaknya kendaraan pribadi akan berangsur berkurang dan orang-orang yang bahagia berpacaran tanpa perlu merasakan penat karena macet akan bertambah banyak.