• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Stagnasi Kota Bandung Menyelesaikan Permasalahan Akut Kemacetan sampai Parkir Liar

MAHASISWA BERSUARA: Stagnasi Kota Bandung Menyelesaikan Permasalahan Akut Kemacetan sampai Parkir Liar

Belum ada solusi berarti yang ditawarkan pemerintah Kota Bandung untuk menanggulangi masalah kemacetan dan parkir liar.

Yopi Muharam

Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, bergiat di LPM Suaka

Ilustrasi kemacetan kota. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

16 Mei 2024


BandungBergerak.id – Kota yang sering diromantisasi sebagai kota yang lahir ketika Tuhan sedang tersenyum ini ternyata menyimpan sejumlah permasalahan akut. Rasanya kian hari Kota Bandung terus dihantui dengan kemacetan di berbagai wilayah. Tidak hanya kawasan Kopo, Cinunuk, Mohamad Toha, atau simpang Kiaracondong saja, tampaknya kemacetan sudah menjamur hingga ke pinggiran kota.

Berdasarkan hasil riset yang ditulis oleh Rizal Septiyani Ashari dalam skripsi berjudul Strategi Dinas Perhubungan dalam Menertibkan Parkir Liar Kendaraan Roda Empat di Kota Bandung (2021) terdapat 1.552.747 unit kendaraan bermotor. Artinya melebihi setengah populasi penduduk kota bandung sebanyak 2.527.854 (BPS Jabar, 2022).

Apakah kalian sering merasakan, semakin hari rasanya Kota Bandung jadi sumpek akibat kemacetan yang terjadi di berbagai wilayah Kota Bandung. Bahkan, seperti tidak ada solusi berarti yang ditawarkan pemkot Bandung untuk menanggulangi kemacetan ini. Sehingga kemacetan ini seperti dinormalisasikan. Kita hanya mampu mengeluh di sepanjang jalan di saat pergi dan pulang kerja atau sekolah.

Flyover yang terus digenjot untuk mengurangi kemacetan tampaknya tidak menjadi solusi yang tepat untuk permasalahan kemacetan ini. Bahkan, menuju musim libur tiba, banyak sekali wisatawan luar yang menggunakan kendaraan pribadi memadati ruas jalan Kota Bandung. Alhasil, Kota Bandung menjadi peringkat ke-14 kota termacet di Asia mengalahkan kota kapital Jakarta yang menduduki peringkat ke-17 (Asian Development Outlook, 2022).

Tidak hanya di sentral kota saja, semenjak kehadiran masjid apung Al Jabbar, wisatawan berbondong-bondong untuk mengunjungi ke sana. Bertempat di pinggiran kota atau lebih tepatnya berada di kawasan Bandung Timur, Masjid Al Jabbar menjadi pusat wisatawan luar kota untuk berkunjung ke sana.

Permasalahan baru bak terlahir kembali. Kemacetan kini menjalar sepanjang jalan Soekarno-Hatta, Gedebage, bahkan Cimencrang. Jelang hari libur tiba, terkadang, trafic light Gedebage digunakan untuk dua jalur saja, alasannya karena kemacetan yang terjadi dari arah Gedebage menuju kawasan Masjid Al Jabbar.

Kejadian ini sering dikeluhkan warga Bandung Timur saat musim libur. Hal tersebut membuat sejumlah warga mengeluhkan akses jalan yang padat. Padahal akses jalan menuju Masjid Al Jabbar terhitung kecil. Cukup untuk dua jalur saja, yang mengakibatkan tidak mampu membendung padatnya bus, mobil, dan motor dalam ruas sekecil itu.

Baca Juga: Kemacetan Menciptakan Budaya Ngaret Kolektif, sebuah Kerugian bagi Warga Bandung
Bandung Heurin Ku Tangtung, Kemacetan Tanpa Solusi?
Marak Parkir Liar di Bandung, Pemkot tak Mau Disalahkan

Parkir Liar Merajalela

Keluhan terkait parkir liar yang mematok harga tinggi membuat jengah sebagian warga Kota Bandung maupun wisatawan lokal. Setiap hari besar, pusat kota menjadi episentrum warga Kota Bandung atau wisatawan untuk berkunjung sekadar bermain dan belanja. Alun-alun, Dipatiukur, dan Dago adalah tiga tempat yang sering ramai ketika hari libur tiba.

Tetapi parkir liar tidak memandang ketiga wilayah tersebut. Setiap ada celah keramaian, acap kali dimanfaatkan oleh oknum tukang parkir memanfaatkan momen tersebut. Pematang jalan tentu menjadi sasaran empuk. Hal tersebut mengakibatkan terganggunya aktivitas berjalan di pedestrian yang telah disediakan.

Trotoar di Jalan Kebun Binatang contohnya. Sudah sering tersebar di berbagai platform media sosial keluhan warga kota Bandung terkait parkir liar ini. Tidak hanya mengganggu aktivitas pejalan kaki, impak dari parkir liar tersebut membuat jalanan menjadi macet.

Rambu dilarang parkir seperti pajangan semata. Banyak pengguna mobil tidak acuh terhadap aturan yang sudah ditetapkan oleh pemkot Bandung, terlebih tindakan yang kurang tegas dari aparat seperti Dinas Perhubungan (Dishub) dan polisi lalu lintas (Polantas) kepada pelanggar. Alhasil perbuatan ini seperti dinormalisasi.

Lebih dari itu, tidak berjalannya regulasi yang sudah ditetapkan terkait parkir kendaraan membuat pengguna kendaraan geram. Acap kali, tarif parkir yang diberikan kepada pengguna kendaraan tidak masuk akal. Seperti yang baru-baru ini terjadi di kawasan Masjid Al Jabbar. Di mana pengguna mobil yang digetok harga dua kali lipat.

Kejadian tersebut dituturkan oleh netizen X (Twitter) @ petanirumah. Saat ia bersama keluarga pengin berkunjung ke Masjid Al Jabbar ia digetok harga parkir sebesar Rp25.000. Awalnya juru parkir mengarahkan mobil untuk parkir, setelah itu, meminta seikhlasnya. Saat diberikan uang sebesar Rp 2.000 malah menolak, dan justru meminta uang Rp10.000.

"Karena malas debat saya kasih 10 ribu. Saya di pintu keluar bayar parkir lagi 5 ribu. Waktu saya bilang udah bayar 2 kali 10 ribu di dalam petugasnya hanya senyum-senyum aja," tulis unggahannya.

Menilik delapan tahun ke belakang, saat kota Bandung mengusung smart city, pemerintah kota Bandung yang saat itu dipimpin oleh Ridwan Kamil, mendirikan sebuah mesin parkir elektronik. Mesin parkir yang dihargai Rp 125 juta per unit ini terpasang di 221 titik di 57 lokasi. Tercatat ada 455 mesin E-parkir ini, namun dalam implementasinya mesin parkir tersebut tidak efektif digunakan.

Minimnya Transportasi Publik

Hal yang sangat didambakan oleh masyarakat Kota Bandung adalah transportasi yang terintegrasi. Alih-alih menambah armada transportasi atau mengonversikan angkutan umum (angkot), pemkot Bandung malah berencana akan membuat tol dalam kota. Proyek strategis nasional tersebut akan mulai dicanangkan mulai tahun ini.

Seperti kita ketahui, sebetulnya Kota Bandung memiliki potensi menjadi kota transportasi yang baik. Tercatat ada berbagai macam angkutan umum di Kota Bandung, seperti; bus, kereta api, bahkan angkot. Ketiga transportasi tersebut seharusnya sudah bisa menunjang kebutuhan masyarakat.

Akan tetapi, sarana penunjang lainnya, seperti halte atau tempat pemberhentian khusus di Kota Bandung tidak terurus. Sudah tercatat, pada tahun 2023 sebanyak 41 titik halte dihancurkan karena sudah tidak optimal atau tidak terurus. Kebanyakan halte yang dihancurkan karena tidak adanya perawatan khusus yang mengakibatkan minimnya penggunaan halte.

Perlu diakui, transportasi publik di kota kapital seperti Jakarta perlu dicontoh. Halte yang terawat dengan baik, transportasi publik di Jakarta mampu terintegrasi hingga ke berbagai sudut kota di Jakarta.

Berbagai program yang direncanakan sejak zaman Wali Kota Ridwan Kamil, Bus Rapid Transit (BRT), Light Rail Transit (LRT), dan Cable Car atau kereta gantung, hanya BRT yang akan dicanangkan mulai tahun 2024 ini. Kendati demikian, pemkot harus serius dalam mencanangkan program ini. Jangan sampai, program ini berjalan dalam hitungan tahun saja seperti kasus yang dialami bus sekolah.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain tentang Kota Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//