Menyiapkan Ekosistem Literasi sebagai Basis Pembangunan yang Berperadaban
Literasi acapkali dimaknai keliru hanya sebagai melek huruf semata. Indonesia belum mempunyai strategi menyiapkan basis literasi sebagai dasar pembangunannya.
Tjahjono Widarmanto
Guru SMAN 2 Ngawi, Jawa Timur. Penulis esai, artikel, cerpen, dan puisi. Dapat dihubungi melalui email [email protected].
18 Mei 2024
BandungBergerak.id – Tidak setiap kemajuan yang acap kali kita sebut sebagai pembangunan (isme) memunculkan peradaban yang lebih mulia di bandingkan sebelumnya. Bahkan tak jarang pembangunan (isme) dengan berbagai dalih mengabaikan dimensi kemanusiaan. Padahal aspek kemanusiaanlah yang menunjukkan eksistensi, esensi dan karakter bagi sebuah kebudayaan.
Pembanguan (isme) yang menihilkan kemanusiaan hanya akan berfokus pada pencapaian bentuk-bentuk infrastruktur tanpa memberdayakan dan membentuk ‘manusianya’. Pembangunan (isme) jenis ini akan bertumpu pada target-target infrastruktur yang mengacu pada bangunan-bangunan fisik. Kecenderungan dari pembangunan (isme) semacam ini akan melahirkan risiko-risiko melahirkan alienasi dan pemarginalan manusia itu sendiri. Pembangunan (isme) serampangan semacam ini hanya melahirkan krisis manusia dan kemanusiaan. Ambisi pembangunan (isme) semacam ini hanya sampai pada permukaan dan tak bakal menghasilkan peradaban yang lebih cemerlang.
Peradaban berasal dari etimologi kata adab yang bermakna kesantunan, budi pekerti, sikap luhur, karakter yang mulia, dan berakhlak; pencapaian kebudayaan tertinggi manusia dalam berbagai ranah dimensi seperti seni, arsitektur, ilmu pengetahuan, teknologi yang berguna untuk mengembangkan kehidupan dan eksistensi manusia.. Kata dasar adab ini berkembang menjadi istilah peradaban.
Dalam KBBI, istilah peradaban dimaknai sebagai kemajuan lahir dan batin yang meliputi kecerdasan dan kebudayaan dengan objek sebuah bangsa. Peradaban memiliki dimensi lahir dan batin. Peradaban tidak hanya pencapaian pada bentuk-bentuk bangunan fisik, tetapi juga pencapaian nilai-nilai, kesantunan, etika, solidaritas, spiritual, dan seluruh aspek kebudayaan manusia. Kemajuan negara atau suatu bangsa ditentukan oleh peradaban bukan zaman.
Ibnu Khaldun, seorang cendekiawan Islam yang kali pertama menyoal peradaban. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa peradaban merupakan puncak-puncak keahlian dalam berbagai bidang kelapangan dunia, memperbarui kondisi, serta memunculkan ciptaan-ciptaan yng mengagumkan dari berbagai keahlian yang memiliki dampak bagi kehidupan dan jiwa manusia. Menegaskan pendapat Ibnu Khaldun tersebut, Arnold Toynbee menggarisbawahi bahwa peradaban adalah pencapaian kebudayaan yang telah mencapai taraf tertinggi dalam berbagai aspek budaya, baik fisik maupun nonfisik. Hungtinton dengan lebih luas menyebutkan peradaban sebagai pencapaian identitas terluas dari budaya yang bisa teridentifikasi melalui unsur-unsur objektif umum (seperti bahasa, sejarah, arsitektur, kebiasaan, institusi, teknologi, pengetahuan, religi, dan lain-lain) dan unsur-unsur subjektivitas manusia seperti identifikasi diri dan berbagai pencapaian aktualisasi manusia.
Baca Juga: Gerilya Literasi di Pinggiran Kota
Indeks Literasi Jawa Barat Kurang Menggembirakan
Menyoal Disrupsi Literasi di Era Teknologi Informasi
Literasi sebagai Basis Pembangunan yang Berperadaban
Pembangunan yang berperadaban pada hakikatnya adalah meraih kemajuan dengan tidak semata pada ambisi berorientasi pada bentuk-bentuk infrastruktur, tetapi mengarah pada pemberdayaan ‘manusia’ sebagai subjek sekaligus objek perubahan. Pemberdayaan manusia ini artinya peningkatan kualitas manusia secara fisik dan batin yang pada gilirannya akan menghasilkan produk-produk kebudayaan untuk menjadi pilar peradabannya.
Tinggi rendahnya pencapaian kebudayaan sebuah bangsa dapat diukur antara lain dengan parameter tingkat literasinya. Akses dan kecenderungan masyarakat pada kebiasaan berliterasi dapat menjadi indikator apakah suatu bangsa akan mampu membangun peradabannya atau tidak.
John Miller dan Michael C. Mc. Kenna dalam bukunya Word Literacy: How Cauntries Rank and Why It Matters (2016) memetakan pemeringkatan tingkat literasi bangsa-bangsa yang menunjukkan posisi Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara (nomor dua dari bawah) jauh di bawah Malaysia atau Thailand. Riset Miller tersebut berbanding lurus dengan data UNESCO yang mendeskripsikan rasio pertautan buku dan manusia Indonesia adalah 1 orang berbanding 1000 penduduk. Data tersebut berarti menunjukkan rendahnya kualitas manusia.
Literasi di Indonesia itu sendiri acapkali dimaknai secara keliru hanya sebagai “melek huruf semata”, hanya sebagai kemampuan membaca dan menulis untuk keperluan sehari-hari, belum sampai pada tingkatan kemampuan memahami buku secara luas. Pengadaan infrastruktur fisik pun tidak berpihak pada literasi, banyak membangun jalan-jalan raya tetapi tidak mengatur regulasi penerbitan buku yang berkualitas, sarana perpustakaan yang memadai di tiap kabupaten, pengadaan buku di sekolah yang terlalu miskin dibanding anggaran pengadaan fasilitas fisik, dan tak adanya strategis yang tajam dan mumpuni dalam membangun tingkat literasi masyarakat.
Arah pembangunan (isme) memang seharusnya berbasis litersi sehingga mampu mendongkrak daya cendekia, daya intelektualitas masyarakat dalam berbagai jenjang usia. Jikalau basis literasi menguat maka insan-insan Indonesia akan memiliki pola nalar yang kokoh, rasional, kritis, inovatif, sekaligus kreatif. Dengan keberadaan insan-insan Indonesia semacam itu maka akan terbuka lebar peluang untuk membangun peradaban yang unggul.
Ekosistem Literasi
Menciptakan basis literasi berarti secara simultan dan menyeluruh membangun ekosistem literasi. Ekosistem merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai unsur yang saling berpaut. Pun demikian ekosistem literasi, terdiri dari berbagai unsur dan komponen yang saling berkait dan berpaut.
Pembangunan yang berbasis literasi haruslah berorientasi membangun ekosistem literasi secara komprehensif dan menyeluruh. Selama ini harus diakui pembangunan Indonesia abai dalam membuat ekosistem literasi yang mumpuni. Bahkan boleh dikatakan Indonesia tidak mempunyai strategi pengembangan ekosistem literasi untuk menyiapkan basis literasi sebagai dasar pembangunannya.
Kelangkaan atas buku-buku berkualitas menunjukkan ketidakpedulian negara terhadap produksi buku sebagai pemasok utama tradisi literasi tidak pernah diatur dalam sebuah regulasi yang mapan. Regulasi yang seharusnya mengembangkan secara optimal keberadaan penulis, penerbit, bahan baku, hak cipta, dan distribusinya.
Strategi mencipta kultur literasi juga tidak pernah secara simultan dengan sungguh-sungguh dilaksanakan. Baru sebatas pada jargon atau aksi yang sekedarnya saja; contohnya gerakan membaca di sekolah setiap 15 menit yang tanpa didukung umpan balik yang nyata sebagai sebuah strategi yang berkelanjutan. Perpustakaan-perpustakaan sekolah yang tak memadai, yang sering kali hanya menjadi alat “proyek” semata.
Fenomena kehadiran teknologi digital dalam industri buku tidak pernah dipikirkan, ditata, dan diregulasikan dengan tepat ternyata hanya menjadikan dampak matinya produk-produk bacaan, bangkrutnya penerbit, dan gulung tikarnya toko-toko buku. Tidak adanya antisipasi negara dalam menyikapi teknologi digital yang seharusnya bisa jadi senjata menguatkan kultur literasi, justru sebaliknya menggerus kultur literasi.
Situasi-situasi di atas tampak kurang ditanggapi dengan cepat dan progresif oleh penyelenggara negara, sehingga kekuatan digital belum dijadikan media ampuh untuk membangun ekosistem literasi. Mau tak mau kita harus menebus abai tersebut dengan menyiapkan basis literasi untuk mendasari pembangunan fisik. Jika literasi kita rendah maka bangsa kita akan jadi pecundang dalam konstelasi global!
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain bertema literasi