• Buku
  • RESENSI BUKU: Alternatif Belajar Sejarah yang Menyenangkan

RESENSI BUKU: Alternatif Belajar Sejarah yang Menyenangkan

Buku Melukis Di Tengah Perang karya Fatih Abdulbari bercerita tentang peristiwa Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta tahun 1948 di mata lima pelukis cilik.

Sampul buku Melukis Di Tengah Perang karya Fatih Abdulbari terbitan Dicti Art Lab (2023). (Foto: Munanda Okki Saputro)

Penulis Munanda Okki Saputro19 Mei 2024


BandungBergerak.id – Judul yang menarik, "Melukis Di Tengah Perang", seketika membalikkan pandangan saya tentang belajar sejarah. Buku ini membawa pembaca pada perjalanan seni rupa di Indonesia, menyajikan gambaran yang jauh dari konvensionalitas belajar sejarah. Dengan cermat, Fatih Abdulbari menggambarkan peristiwa-peristiwa yang mempertautkan seni dengan konteks sejarah, mengundang pembaca untuk seolah merasakan langsung pengalaman masa lalu.

Pada intinya, buku ini mengantarkan bahwa sejarah nasional tidak melulu soal peperangan, senjata, atau pertumpahan darah. Melainkan, juga menggambarkan perjuangan dalam seni, bagaimana pelukis seperti Dullah menghadapi pergolakan seni pada masa prakemerdekaan Indonesia juga dengan murid-muridnya yang dilibatkan secara aktif dalam gagasan arsip dokumentasi nasional Dullah. Mereka terlibat dalam peristiwa bersejarah seperti Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta, memberikan dimensi baru tentang bagaimana seni juga turut serta membentuk dan merefleksikan perjalanan sebuah bangsa. Sebab narasi kemerdekaan dan nasionalisme pada era tersebut merupakan arena pergulatan yang panas bahkan begitu pun sampai sekarang. Itulah kenapa arsip dokumentasi nasional lukisan murid-murid Dullah pada Agresi Militer Belanda II Yogyakarta menjadi begitu penting

Buku ini menjadi semacam pintu masuk yang menarik bagi pembaca secara umum dalam memahami sejarah. Dengan narasi yang mengalir dan mendalam, Fatih Abdulbari berhasil membuka ruang bagi pembaca untuk menyelami kekayaan sejarah Indonesia melalui lensa seni. Buku ini tidak hanya menyampaikan data sejarah, tetapi juga membuka sudut pandang pembaca untuk menemukan keunikan dalam belajar sejarah yang lebih menyenangkan dan mendalam.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Mendaki Gunung Tanpa Menghasilkan Sampah Bukan Mustahil
RESENSI BUKU: Pembentukan Seorang Manusia, dari Keluarga Menjadi Sebuah Sejarah
RESENSI BUKU: Kisah Kakek Tua Berburu Macan Kumbang dan Kerusakan Hutan Kita

Sejarah Tidak Melulu Soal Senjata dan Pertumpahan Darah

Sejarah tidak hanya tentang senjata dan pertumpahan darah. Sering kali, pembicaraan tentang Sejarah Nasional Indonesia cenderung didominasi oleh catatan-catatan militer. Peristiwa-peristiwa besar sering kali hanya diceritakan dari perspektif kelompok elit politik atau militer. Yang sebenarnya dalam setiap peristiwa besar, kondisi sosial masyarakat pada masa itu juga memainkan peran penting yang tidak boleh diabaikan.

Bagi publik yang tidak memiliki latar belakang pendidikan sejarah dan kedekatan atau antusias yang mendalam, sulit untuk menemukan peran-peran individu di luar tokoh-tokoh elite pejuang kemerdekaan, tentara, atau bangsawan. Namun, dalam buku "Melukis Di Tengah Perang," pembaca diajak untuk melihat peristiwa penyerbuan kota Yogyakarta pada tahun 1948 dari sudut pandang yang berbeda. Dalam buku ini, peran para seniman seperti Dullah dan murid-muridnya ditekankan. Mereka adalah para pelukis cilik yang mengabadikan keadaan kota pada saat peristiwa agresi, memberikan gambaran yang menarik tentang keterlibatan mereka dalam sejarah nasional.

Kisah kelima pelukis cilik ini, antara lain Toha, Muh. Affandi, F.X. Soepono, Sri Suwarno, dan Sardjito, sungguh menarik dan sulit dipercaya sebagai kenyataan yang terjadi pada masa itu. Meskipun usia mereka masih belasan tahun, namun mereka rela turun langsung ke tengah keadaan genting Kota Yogyakarta. Dugaan pengaruh didikan dari Dullah dan rekan-rekannya tampaknya menjadi faktor penting yang memotivasi mereka. Proses belajar menggambar di sanggar tidak hanya menjadi momen pembelajaran seni, tetapi juga menjadi ladang bagi bertumbuhnya semangat nasionalisme para seniman revolusioner pada masa itu.

Banyak kisah menarik dan gambaran tentang suasana serta kehidupan masyarakat Yogyakarta pada saat itu. Pembaca akan disuguhkan kisah-kisah yang terkesan halus dan romantis salah satunya adalah kisah Mbah Somo seorang nenek yang memberikan dagangan berupa makanan secara cuma-cuma kepada para gerilyawan, kisah Mbah Somo seorang kakek dengan semangat kemerdekaan dan nasionalisme yang tinggi juga hubungan yang begitu dramatis dan menguras emosi mengenai hubungan Dullah dengan beberapa muridnya sampai masa pasca Agresi. Melalui buku ini, pembaca diperkenalkan pada peristiwa besar tersebut dengan lebih menyeluruh, melihat berbagai sisi dan peran-peran yang sering terpinggirkan dalam narasi sejarah konvensional.

Peran Penting Lukisan dan Pertarungan Visual

Dalam buku ini disertakan lukisan-lukisan kelima murid Dullah dengan penjelasan yang cukup dalam. Jelas mereka hanya berpegang pada satu kata “Melukis” itulah yang membuat lukisan mereka menjadi kaya. Tidak terfokus pada perang saja melainkan kondisi sekitar mereka baik keluarga atau lingkungan tempat tinggal mereka. Melukiskan bagaimana kondisi Masyarakat Yogyakarta yang harus bertahan hidup pada situasi kegentingan. Bagaimana wacana nasionalisme dapat kita telanjangi dengan berbagai perspektif lukisan yang diambil oleh kelima murid Dullah. Melalui buku ini pembaca seolah sedang diajak keliling museum dengan pemandu yang siap menuntun kita dalam melihat lukisan-lukisan yang dilukis pada masa yang sudah begitu lampau.

Klimaks dari membaca buku ini adalah bagian pertarungan visual. Mungkin secara tidak sadar kelima murid Dullah telah bertarung mengenai perspektif visual peristiwa penyerbuan kota Yogyakarta. Sebab di saat yang sama dokumentasi melalui fotografi juga dilakukan oleh fotografer Belanda. Penggunaan kamera pada waktu itu tentu sangatlah terbatas maka pilihan untuk melukis menjadi sangat rasional. Tetapi menariknya dengan kepolosan para pelukis cilik yang hanya berpikir melukiskan apa yang ingin mereka lukis telah memperkaya perspektif kita terhadap kondisi Yogyakarta pada masa itu.

Sebagai penutup, buku ini diantarkan dengan pelan namun pasti. Pada bab-bab awal sangatlah penting seolah sebagai kunci untuk masuk ke dalam pintu pergolakan seni di Indonesia prakemerdekan maupun pasca kemerdekaan menuju ruang Agresi Militer Belanda  II  1948 Yogyakarta sampai pada penuntasan eksplorasi ruang pertarungan visual dan arsip dokumentasi nasional yang sampai kapan pun akan menarik dan terus hangat dipertarungkan dalam upaya memahami sejarah Indonesia.

Informasi Buku

Judul Buku: Melukis Di Tengah Perang
Penulis: Fatih Abdulbari
Penerbit: Dicti Art Lab
Cetakan: 1 (Oktober, 2023)
Jumlah Halaman: xx+200 halaman.

 *Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Munanda Okki Saputro, atau tulisan-tulisan lain mengenai Resensi Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//