• Buku
  • RESENSI BUKU: Pembentukan Seorang Manusia, dari Keluarga Menjadi Sebuah Sejarah

RESENSI BUKU: Pembentukan Seorang Manusia, dari Keluarga Menjadi Sebuah Sejarah

Buku Keluarga : Hoa Kiau dan Aidit Bersinar Seksi dengan Tora Sudiro (2005) menceritakan perjalanan manusia mengenal dunia dari dalam rumah bersama keluarganya.

Sampul depan buku Keluarga: Hoa Kiau dan Aidit Bersinar Seksi dengan Tora Sudiro (2005) terbitan INSISTPers. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah4 Mei 2024


BandungBergerak.id- Kita lahir berkat ibu dan ayah. Merekalah yang tahu bagaimana anaknya, dari orok hingga dewasa. Kelompok sosial pertama inilah yang membentuk kita menjadi manusia, pengalaman senang, duka, pahit, getir, kecewa, bahagia dimulai dari keluarga. Bukankah kita pertama kali mengenal pertengkaran disebabkan tidak mau mengalah mainan sewaktu kecil dengan kakak, adik, keponakan, bahkan anak tetangga. Kita juga yang senantiasa hadir dalam bahagia dan khawatir di mata kedua orang tua, meski sudah menjadi dewasa bisa memakai baju dan celana sendiri, tapi rasa ketakutan sering kali ditunjukkan oleh ibu dan ayah yang membuat kita risi.

Seolah anak yang mereka lahirkan dan bertumbuh ini tidak bisa menentukan pilihannya. Di dalam rumah, ibu dan ayah memegang kendali dan memiliki kuasa penuh. Tapi, di tengah kesibukan orang tua demi nasib anaknya agar tidak diwarisi penderitaan, jagat kecil bernama rumah dan keluarga sering kali terlewati dan memilih kamar sebagai dunia lain yang lebih mengerti.

Rumah dan keluarga, jagat kecil itulah yang menjadikan kita sebagai manusia hadir karena pernikahan dan nama sebagai doa dan harapan. Namun, bagaimana bila ternyata nama itu menjadi sebuah hal yang bahaya bagi negara sehingga mereka yang diberi nama atasnama cinta oleh keluarganya mengganti serta menyembunyikannya.

Dalam  buku Keluarga : Hoa Kiau dan Aidit Bersinar Seksi dengan Tora Sudiro (2005) terbitan INSISTPers dijelaskan bagaimana perjalanan manusia mengenal dunia dari dalam rumah bersama keluarganya.

Latar berwarna oranye-putih serta foto-foto keluarga menjadi sampul buku berukuran 15 x 21 centi meter ini. Rentetan penggalan kalimat-kalimat dari masing-masing bab buku ini ditulis oleh penerbit di balik sampulnya, mari kita tenggok. “Apa yang akan kubangkitkan? Kekaisaran Ming? Orang tuamu datang untuk menghentikan hubungan kita, namun ternyata berakhir dengan diurainya semua hal yang selama ini jadi rahasia keluarga. Lalu kita bermain boneka, menciptakan dunia ala kita. Ah bagaimana kabar Aidit hari ini? Betapa setiap ingatan akan keluarga yang terbangun dalam kepalaku, bahwa keluarga adalah sesuatu yang penuh kontradiksi,” tulisnya.

Keluarga sebagai penuh kontradiksi disajikan dalam buku ini dengan bentuk cerita pendek, memoar, wawancara, resensi film, dan esai. 

Baca Juga: RESENSI BUKU: Wreck This Journal dari Keri Smith, Membaca Dengan Cara-cara Tidak Konvensional
RESENSI BUKU: Cerita untuk Anak, antara Bebek dan Kematian
RESENSI BUKU: Mendaki Gunung Tanpa Menghasilkan Sampah Bukan Mustahil

Kekhawatiran Ayah dan Pembentukan Sebagai Manusia

Putriku Yang Seksi, cerpen yang ditulis oleh Fazil Abdullah menjadi bab pertama dalam buku ini, bagaimana kontradiksi dan kekhawatiran ditampilkan pada seorang ayah bernama Heru dengan mulai terbentuknya tubuh dari putri semata wayangnya bernama Inggrid.

Pergulatan batin dan dianggap kolot terlemparkan pada Heru seorang direktur, di mana sehari-hari lelaki berusia kepala empat ini disibukkan dengan urusan tanda tangan berkas-berkas, berenang di halaman belakang rumah bila waktu libur. Hingga suatu hari di pesta ulang tahun anak putrinya, Heru dihadapi kemalangan dan kekhawatiran menggebu-gebu mengiringi pikiran liarnya.

“Sejak pesta ultah, Heru selalu tak bisa untuk tidak memperhatikan Inggrid yang seksi. Tubuhnya benar-benar berbentuk dan berisi. Tambah lagi wajah yang ayu, dan kulitnya yang putih mulus. Inggrid telah mewarisi kecantikan mamanya, Mila. Heru tak rela dan cemas. Tak bisa ia tak berpikir negatif bahwa yang menjadi pacarnya tentu memanfaatkan kecantikannya.” (Halaman 4).

Kecemasan dan kegelisahan tokoh Heru yang ditulis oleh cerpenis Fazil barangkali kecemasan yang dirasakan oleh semua ayah yang memiliki anak seorang gadis. Pengawasan yang ketat, rasa cinta berubah menjadi khawatir mengakibatkan bersitegang antara ayah dan anak menjadi pecah. Hal ini, terjadi juga pada Heru dengan Inggrid saat ia mengomentari pakaian anak gadisnya itu.

“Kamu kok seneng banget pake baju ketat-ketat?” seru Heru pada anak gadisnya yang sapa diakrab Iid. Lantas dibalas oleh Inggrid, anak semata wayang yang baru saja duduk di bangku SMP. “Ya, biar seksi, dong, Pa. Lagian baju kayak ginian kan model zaman sekarang, masak Iin harus pake baju model kuno? Itu kan norak dan kuper namanya. Kayak orang nggak tahu tren dan gaul aja,” bales Iin (halaman 5).

Siapa sangka komentar terhadap cara pakaian anaknya itu akhirnya berujung pada pertengkaran serius antara bapak dan anak. Ujungnya konflik pecah saat Iin membawa pacarnya ke rumah. Sebagaimana naluri seorang bapak yang takut serta gelisah, pacar sang anak dikenai beribu pertanyaan sampai akhirnya putus. Dari pagi hingga malam, perseteruan sedarah itu berujung tanpa tanya dan sapa, di waktu malam momen pergulatan batin itu timbul. Sang anak akhirnya berdamai dengan ayahnya, ia bukan lagi anak kecil.

Hasutan setan kian membisik pada hatinya, manakala si anak merebahkan kepalanya di pangkuannya. “Mata Heru sesekali menjelajahi tubuh Inggrid yang dibungkus baju tidur dan mampu menembus tubuh Inggrid yang dibungkus baju tidur dan mampu menembus tubuh Inggrid yang sintal. Heru pernah melihat Inggrid berpakaian bikini saat Inggrid di kolam renang. Ingin sekali ia menyentuh, menjamah Inggrid. Antara Nurani dan nafsu berperang untuk memenangkan sebuah keputusan. Setan terus menghasut. Tidak apa-apa kau menjamah. Tidak ada yang tahu. Inggrid pun mungkin tidak perawan lagi. Jadi kau tidak merusaknya. Kau hanya tinggal beri obat tidur pada Inggrid, lalu kau pun bisa beraksi. Tapi dia anakku. Heru meradang, pecah serasa jiwanya. Malam kian genting,” demikian akhir cerita pendek yang ditulis oleh Fazil di halaman 12.

Bila cerita pendek tadi menghadirkan pergulatan batin dan birahi seorang ayah. Tora Sudiro, aktor di wawancara oleh Cicilia Maharani bagaimana sesuatu yang tidak ramah menjadi bagian erat dari keluarga. Ayah dan ibunya berkali-kali menikah dan hubungan itulah yang justru membuat seorang Tora banyak belajar.

“Masa gue itu suram itu suram karena gue lahir dari tiga ibu. Ibu gue yang pertama meninggal waktu gue umur tujuh tahun karena tabrakan. Ibu yang kedua galak banget, main tangan dan segala macam. Ibu yang ketiga itu yang sekarang ini. Dan itu sudah terlalu luas,” ucap Tora secara jujur

Pengalaman masa kecil tersebut menjadikan Tora ingin tampil beda sebagai orang tua yang ramah dengan anak-anaknya. ” Bapak yang aneh, tapi galak juga. Kalau nggak nurut, gue marah tapi itu demi kebaikan dia. Kalau marah, perlu pukul pantat ya pukul pantat. Seharusnya nggak boleh ya, Cuma kadang anak kecil suka annoying. Kadang juga gue kasih ke istri gue kalau udah bandel. Biar dia yang jelek di mata anakk-anaknya,” terang Tora.

Tora begitu pun orang tua lainnya memiliki harapan yang sama pada anak-anaknya. “Jadi lebih baik dari bapaknya,” ucap Tora.

Dalam tulisan berjudul “Keluarga Tora yang Sudiro”, penulis menginginkan agar semua keluarga baik-baik saja. “Rasanya keluarga seburuk apa pun terlalu indah untuk dijadikan ‘tempat sampah’. Karena di balik ‘kotoran’ itu, ada nyala redup cinta yang perlu diselamatkan, yaitu berupa manusia-manusia legit sekaligus pahit yang terlalu sayang untuk dihilangkan dari dalam diri kita,” jelas Cicilia.

Kita Sebagai Bagian Sejarah dari Sebuah Keluarga

Tidak hanya ulasan cerpen dan wawancara, di buku dengan jumlah halaman 103 halaman ini memuat esai dan resensi film. L. Onny Wiranda pada tulisan Matahari Bersinar Lebih Awal Pagi Ini mengulas dua film tentang keluarga yakni American Beauty (2001) dan Sunshine (2003).

Dalam American Beauty, Onny menuliskan tokoh Lester Burnham yang diperankan oleh Kevin Spacey bahwa kehidupan keluarga penuh dengan misteri kehidupan. “Hidup memang sebuah putaran, tapi tanpa hati yang tajam kita hanyalah boneka rombeng yang kebetulan dianugerahi kehidupan oleh seorang peri atau malaikat iseng. Dan biasanya, kita akan kebingungan, mana yang mulai lepas atau menikmati anugerah terbesar dalam kehidupan kita; hidup, melihat, mendengarkan, melakukan merasakan..”(Halaman 59)

Demikian juga dengan salah satu karakter film Sunshine, Onny menuliskan tokoh Ignatz dan menyimpulkan bahwa setiap kita bisa menjadi penulis. “Maka sekiranya sejarah keluarga kitalah yang harus didahulukan.”(Halaman 68).

Sejarah keluarga itu dijelaskan secara gamblang bagaimana salah satu keluarga dengan segala keturunannya dianggap menjadi ancaman negara hanya karena sang kakak dan anak sulung ketua partai terbesar di Indonesia, Partai Komunis Indonesia. Kisah Aidit dan keluarganya dituliskan oleh Zen RS dalam buku ini. “Persoalan nama bisa menjadi persoalan tak penting bagi Shakespeare, What is an Name? Apakah arti sebuah nama? Tapi cobalah tanyakan apa arti sebuah nama kepada semua anggota keluarga D. N. Aidit. Bersiaplah menerima jawaban yang berbanding terbalik dengan cemooh Shakespeare yang masyhur itu,” tulis Zen (halaman 93).

Pada tulisan “Wangsa Aidit” diuraikan secara dramatik bagaimana penangkapan Aidit hingga kematiannya yang simpang siur, pandangan dari seorang anak bernama Ilham dan Irfan Aidit, adiknya Sobron dan Asahan. Bagaimana penggalan nama akhir dari ayah dan buyut mereka menjadi proposal yang dianggap bala oleh negara.

“Aidit. Selembar nama itu menjadi bala bagi siapa pun yang mengenakannya. Tak pandang bulu. Apakah anak kecil atau orang tua yang sudah renta. Bahkan orang-orang yang tak ada nama Aidit di identitasnya tetap akan menanggung bala jika diketahui bersangkut, langsung atau tidak dengan siapa pun yang memiliki nama Aidit. Bala itu macam-macam bentuknya: ditangkap, dipenjara, diasingkan ke pulau yang jauh, diawasi, dan diekskomunikasi dari kerabatnya yang lain,” terang Zen (halaman 93)

Bahkan sering kali mereka yang memiliki nama Aidit dicaci maki sebagai Keluarga Setan menjadi pengalaman sehari-hari. “Tak bisa diperbuat. Diam adalah pilihan yang paling masuk akal. Sesekali salah satu pemilik nama Aidit melawan. Berkelahi dengan para pengejeknya.”

Sejarah wangsa Aidit dituliskan oleh negara dan berbagai macam akademisi dengan bermacam versinya. Kita sebagai bagian dari anggota keluarga akankah mau menuliskan sejarah keluarga kita yang mungkin menyimpan banyak rahasia? ah mana mungkin bisa. 

Informasi Buku

JJudul Buku: Keluarga : Hoa Kiau dan Aidit Bersinar Seksi dengan Tora Sudiro
Penulis: Zen RS, Fazil Abdullah, Cicilla Maharani, L.Onny Wiranda, dkk.
Penerbit: INSISTPress
Cetakan: 1 (Oktober, 2005)
Jumlah Halaman: xv+103 halaman.

 *Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan lain mengenai Resensi Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//