RESENSI BUKU: Kisah Kakek Tua Berburu Macan Kumbang dan Kerusakan Hutan Kita
Kisah ini terjadi di hutan Ekuador, tentang keangkuhan pemerintah yang meremehkan warga desa. Isi sangat relevan dengan kondisi hutan-hutan Indonesia yang rusak.
Penulis Sifa Aini Alfiyya12 Mei 2024
BandungBergerak.id - Pada tahun 2023 sedikitnya terdapat 226 pulau kecil di Indonesia yang diprivitasasi. Pulau-pulau kecil tersebut dijadikan sebagai objek untuk pariwisata, konservasi, hingga pertambangan (catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara)).
Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatamnas) mencatat hingga akhir desember 2023 terdapat 218 izin usaha pertambangan yang mengkapling 34 pulau kecil di Indonesia. Kasus ini mengingatkan saya kepada perburuan macan kumbang oleh kakek tua yang senang membaca novel romantic. Kedamaian desa kecil sang kakek terganggu serangan-serangan kucing besar tersebut.
Kisah berjudul ‘Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta’ karya Luís Sepúlveda itu menggambarkan bahwa serangan-serangan macan kumbang bukan terjadi tiba-tiba, melainkan karena ‘Peradaban Baru’ merangsek ke dalam dan mengusik hutan-hutan di tengah rimba raya Ekuador.
Serangan macan kumbang bikin wali kota gendut rewel karena ia merasa kenikmatan hidupnya terenggut. Wali kota memaksa kepada Antonio José Bolívar Proaño – si kakek tua – untuk membunuh macan kumbang itu.
Wali kota mulai khawatir ketika melihat mayat penambang-penambang, turis, dan keledai terbunuh dengan goresan di tubuhnya disertai koyakan gigi sang macan kumbang. Maka dari itu ia mendatangi kakek tua untuk melakukan ekspedisi.
Pada awalnya kakek tua tidak peduli. Namun, wali kota mengancamnya, jika tidak mau melakukan perburuan, gubuk reyot tempat menyimpan buku-buku sekaligus peristirahatannya tidak akan diberi izin. Cakar-cakar tajam yang bersembunyi di suatu tempat di dalam kedalaman hutan juga mengganggu pikiran kakek Antonio.
Antonio menyadari satu-satunya yang dapat melawan macan kumbang betina itu hanya dirinya. Masyarakat bahkan pemerintahan di sana tidak sanggup untuk menghadapinya.
Oleh sebab itu pak tua sepakat untuk melakukan ekspedisi bersama empat pria dan sang wali kota. Namun setelah membagi senapan, bundel cerutu, korek, dan sebotol Frontera per kepala dengan angkuh wali kota itu berkata, “Semua ini dibiayai negara. Saat kita pulang, kalian harus menuliskan tanda terima buatku.”
Baca Juga: RESENSI BUKU: Memaknai Hidup yang Ramai Ini dengan Sepi
RESENSI BUKU: Surat Protes Yamadipati Seno pada Kebobrokan Sepak Bola Indonesia
RESENSI BUKU: Menjala Cinta dari Tiga Tokoh Fiksi
Perburuan yang Menyebalkan
Ekspedisi dimulai saat burai cahaya fajar pertama berpendar menembus mega. Salah seorang pria berkata pada wali kota, “Permisi, tapi bot karet itu akan bikin susah jalan.” Tetapi nasihat itu tak dihiraukan oleh si gendut yang sibuk memberi perintah untuk memulai perjalanan berburu.
Mereka masuk ke dalam tanah berlumpur yang menyulitkan perjalanan. Perjalanan mereka memakan waktu sampai lima jam karena bot karet milik sang wali kota terbenam dan hilang ditelan kubangan lumpur. Wali kota itu rewel dan memerintah untuk mencari sepatu botnya. Mereka menolak karena banyak serangga terutama kalajengking yang bersemayam di dalam kubangan lumpur.
Sang wali kota mencibir karena menganggap alasan tersebut hanya bualan. Namun setelah pak tua mengaduk rantai dan membersihkannya terlihat kalajengking dewasa jatuh. Saat melihat itu wali kota terdiam dan perjalanan lebih cepat karena wali kota tersebut mau berjalan bertelanjang kaki.
Menjelang petang awan badai lebar mengumpul lagi di angkasa. Wali kota memerintahkan untuk beristirahat. Kelompok ekspedisi sampai di dataran tinggi dan mulai duduk di atas daun-daun pisang liar yang mereka petik.
Si wali kota mengeluh seharusnya membuat api unggun karena ia tidak suka gelap. Namun hal itu ditolak oleh pak tua karena jika menyalakan api unggun sang macan bisa melihat mereka tetapi kelompoknya tidak dapat melihat karena silau oleh nyala api.
Dua kejadian tersebut memperlihatkan keangkuhan pemerintah terhadap masyarakat yang mengetahui bagaimana seluk beluk hutan rimba di Ekuador. Kasus ini juga terjadi di Indonesia yang menggaungkan Proyek Strategi Nasional (PSN) berbasis pengembangan wilayah berbasis hijau dengan luas lebih kurang 1.756 hektare bernama "Tropical Coastland".
Tropical Coastland ditujukan sebagai destinasi pariwisata baru berbasis alam guna meningkatkan attractiveness bagi wisatawan seperti yang diucapkan oleh Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto. Namun pada kenyataanya PSN-PSN yang digaungkan oleh pemerintah menuai konflik dengan masyarakat adat yang telah mendiami daerah tersebut bertahun-tahun. Bahkan pembangunan proyek-proyek raksasa menuai bencana alam.
Melansir dari Mongabay.co.id, beberapa PSN berada di lokasi rawan bencana risiko tinggi. Dalam berita tersebut Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, seharusnya pemerintah memiliki rencana kajian lingkungan hidup sebelum menjalankan proyek nasional. Terlebih berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Oktober 2020 ada sekitar 5 juta lebih masyarakat Indonesia jadi korban dari bencana.
Bencana ini direfleksikan oleh macan kumbang betina dalam cerita karya Luís Sepúlveda. Macan tersebut mengamuk karena membalas dendam atas kematian anak-anaknya dan kerusakan habitatnya. Perburuan yang dilakukan sang macan bahkan membuat masyarakat desa terancam. Namun pemerintahan tidak dapat melakukan apa pun dan hanya memikirkan keuntungan semata dari PSN.
PSN yang dilakukan tanpa perencanaan yang baik dapat menimbulkan konflik horizontal dengan masyarakat adat. Menurut data dari Jatamnas dari tahun 2017 hingga 2022 terdapat 102 kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap warga pulau kecil.
Sementara itu, menurut Laporan Food and Agriculture Organization (FAO) dan Fund for the Development of the Indigenous Peoples of Latin America and the Caribbean (FILAC), telah banyak fakta-fakta yang membuktikan bahwa masyarakat adat di wilayah Amerika Selatan dapat menjaga hutan dengan baik, di mana tingkat deforestasi yang terjadi lebih rendah 50 persen daripada di tempat lainnya.
Akan tetapi, masyarakat adat sering kali termajinalkan, bahkan ruang serta hak hidupnya digusur demi ‘kepentingan’ PSN-PSN yang dibangun pemerintah tanpa pernah melibatkan mereka yang lebih mengetahui bagaimana keadaan alam sekitarnya.
Luís juga mengkritik pemerintah yang memiliki pemikiran bahwa masyarakat adat bodoh dan tidak tahu apa-apa mengenai dampak alam sekitarnya. Dapat dilihat pada halaman 81 ketika sang wali kota memberitahu bahwa perlu memasukkan peluru pada senapan, namun hal itu dihardik oleh kakek tua karena lebih baik peluru-peluru tetap kering di dalam tas. Kakek tua mengatakan hal tersebut karena sudah memiliki pengalaman bersama Suku Shuar dalam berburu. Kakek tua telah hidup melebur bersama Suku Shuar yang mengenal hutan rimba Ekuador selama bertahun-tahun setelah istrinya meninggal.
Kisah memukau perburuan macan tutul ini mengajarkan bahwa kita sebagai manusia akan mendapatkan membalas dendam dari alam jika kita tidak berbuat baik. Maka, bersikap baiklah dengan lingkungan sekitar karena sebenarnya alam tidak membutuhkan kita tetapi kita yang membutuhkan alam. Jangan berdalih dengan meningkatkan kesejahteraan tetapi pada kenyataannya pembangunan yang dilakukan membawa kesengsaraan manusia.
Informasi Buku
Judul Buku: PAK TUA YANG MEMBACA KISAH CINTA
Penulis: Luis Sepúlveda
Penerjemah : Ronny Agustinus
Penerbit: Marjin Kiri
ISBN 978-979-1260-71-8
Halaman: 133 halaman.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Sifa Aini Alfiyyah, atau artikel lain tentang Proyek Strategis Nasional