• Cerita
  • Babak Pertama Trilogi ‘Di Balik Kepatuhan’, Kritik untuk Konsep Kepatuhan yang Dilekatkan pada Perempuan

Babak Pertama Trilogi ‘Di Balik Kepatuhan’, Kritik untuk Konsep Kepatuhan yang Dilekatkan pada Perempuan

Babak pertama trilogi Di Balik Kepatuhan bertajuk Perlakuan atau Ancaman? karya Renitta Karuna Dharani. Kritik pada konsep kepatuhan yang dilekatkan pada perempuan.

Babak pertama trilogi Di Balik Kepatuhan (On The Guise of Docility) bertajuk Perlakuan atau Ancaman? (Treat or Threat?) yang dibawakan oleh Renitta Karuna Dharani juga disiarkan secara langsung di platform YouTube Renitta Karuna.(Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Penulis Fitri Amanda 21 Mei 2024


BandungBergerak.id – Langit-langit putih di ruang sayap Selasar Sunaryo Art Space pada Jumat petang, 17 Mei 2024 lalu menyala dalam cahaya yang lembut, menghadirkan suasana yang tenang. Dinding-dinding dan lantainya dicat dengan warna yang sama, membuat kesederhanaan ruangan tersebut terbingkai. Di sudut ruangan, sebuah lampu sorot menyala, menunjuk pada sebuah meja kecil dengan setrika, mesin jahit, dan beberapa kain dengan pola bordiran warna-warni berbentuk bunga yang terletak di atasnya. Inilah panggung Renitta Karuna Dharani tampil tiga jam membawakan pertunjukan bertajuk “Perlakuan atau Ancaman? (Treat or Threat?)”.

Renitta yang menggunakan setelan yang warnanya hampir mirip dengan warna kulitnya, memulai penampilan seninya dengan menyetrika potongan-potongan plastik bubble wrap yang tersimpan rapi di dalam kotak yang berada sebelah kanannya. Dengan penuh ketekunan, Renitta berusaha mengubah plastik-plastik bubble wrap yang telah rusak tersebut menjadi sebuah pakaian. Ia menggosokkan permukaan besi panas pada potongan plastik bubble wrap yang sudah dialas dengan sebuah kain tipis di atasnya.

"Saya perempuan, melalui video ini saya meminta maaf kepada manusia karena telah melakukan tuduhan yang salah, saya sadar hal ini adalah sepenuhnya kesalahan saya sehingga jika hal ini menyinggung dan mencemari nama baik manusia, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya dab berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Masalah ini telah selesai, dengan keluarga manusia melalui jalur kekeluargaan dan damai,” ucap Renitta dengan suara yang khusyuk.

Monolog tersebut ia rapalkan berulang-ulang selama tiga jam penampilannya. Bagi Renitta, monolog permintaan maaf tersebut mencerminkan perasaan dan tekanan yang dialami perempuan, menggambarkan bagaimana perempuan sering kali dipaksa untuk meminta maaf atas sesuatu yang tidak mereka lakukan.

Sebelum penampilan seninya sore itu, Renitta bercerita mengenai karyanya pada BandungBergerak.id. Dalam karyanya, ia mempersiapkan sebuah video sebagai pelengkap. Video tersebut memperlihatkan dirinya diselimuti oleh plastik bubble wrap yang kemudian dikemas ke dalam sebuah kardus besar, menjadikan dirinya seperti sebuah “paket”. Video tersebut seakan memperlihatkan posisi perempuan di dalam masyarakat, tentang bagaimana perempuan sering kali diasosiasikan dengan konsep kepatuhan.

Dalam analogi Renitta, perempuan sering kali ditempatkan sebagai objek yang di buka kemas (unboxing), dengan perlindungan mereka yang dirusak. Di dalam penampilan seninya itulah Renitta menunjukkannya dalam mendekorasi bubble wrap yang sudah kehilangan fungsinya sebagai pelindung menjadi sebuah pakaian yang pada akhirnya hanya menjadi sebuah dekorasi pada tubuh perempuan.

Seniman lulusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut menggambarkan hal ini sebagai bentuk kepatuhan perempuan terhadap konstruksi sosial yang ada, sebuah refleksi dari bagaimana perempuan sering kali dipaksa untuk menerima keadaan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat.

Bubble wrap ini merepresentasikan perempuan yang mengenakan sesuatu yang akhirnya hanya menjadi sebuah dekorasi, bukan perlindungan,” ujar Renitta.

Baca Juga: Pergolakan Seni dan Perubahan Sosial: Seni Rakyat dan Identitas Melawan Dominasi
Seperempat Abad Selasar Sunaryo: Ruang Seni yang Aktif dan Menjelma Inklusif
Perempuan-perempuan Pembela HAM dari Bandung Melawan Penggusuran

Perempuan Dalam Lapisan Masyarakat

Renitta juga bercerita sebagian besar karyanya sebelumnya menyoroti tentang permasalahan yang dihadapi oleh perempuan. Ia memulai dengan membahas bagaimana tubuh perempuan sering kali dianggap milik publik dan ketidakhadirannya ruang aman bagi perempuan saat ini.

Dengan melakukan observasi dari pengalaman beberapa temannya yang pernah menjadi korban kekerasan terhadap perempuan, Renitta mempelajari teori-teori sosial yang menunjukkan bagaimana perempuan ditempatkan sebagai pihak yang submisif di dalam masyarakat.

“Di tengah ruang yang didominasi sama gender yang lain, ya perempuan itu sebenarnya pasrah aja untuk hidup di tengah-tengah itu dengan perlindungan yang minim,” ujar Renitta.

Di karya sebelumnya, Renitta mengeksplorasi tema ruang aman bagi perempuan dengan menggunakan simbol-simbol seperti baju keselamatan konstruksi yang melambangkan perlindungan. Dari situlah ia mengembangkan konsep karyanya menjadi sebuah analogi paket yang di buka kemas (unboxing), mencerminkan perempuan yang terpaksa pasrah di dalam kondisi mereka yang kurang akan perlindungan di tengah-tengah masyarakat.

Renitta Karuna Dharani  membawakan babak pertama trilogi Di Balik Kepatuhan (On The Guise of Docility) bertajuk Perlakuan atau Ancaman? (Treat or Threat?) di Selasar Sunaryo Art Space, Jumat, 17 Mei 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)
Renitta Karuna Dharani membawakan babak pertama trilogi Di Balik Kepatuhan (On The Guise of Docility) bertajuk Perlakuan atau Ancaman? (Treat or Threat?) di Selasar Sunaryo Art Space, Jumat, 17 Mei 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Trilogi Di Balik Kepatuhan (On The Guise of Docility)

Penampilan yang dibawakan oleh Renitta merupakan babak pertama dari trilogi yang akan dibawakan di penampilan bertajuk Di Balik Kepatuhan atau On The Guise of Docility. Qanissa Aghara, selaku kurator penampilan seni ini menjelaskan mengenai perjalanan mereka dalam menggunakan kata “Docility” sebagai kata yang cocok dalam menggambarkan konsep “kepatuhan”.

Istilah “Docility” yang berasal dari kata “Docile” yang merupakan serapan dari kata “Docere” yang bermakna “untuk mengajar”. Sebagai turunan kata, “Docile” menyiratkan tentang kesediaan terhadap kontrol maupun instrumen pemanduan. Dengan demikian, istilah “Docility” dipilih sebagai padanan “kepatuhan”.

“Istilah itu kami baca-baca dan riset gitu. Sesudah itu istilah docility itu menjadi intriguing gitu bagi kami,” ujar Qanissa pada BandungBergerak.id.

Ketiga babak dalam trilogi ini dipresentasikan dalam rentang waktu yang berbeda-beda. Bagian pertama yang ditampilkan pada 17 Mei 2024 dengan judul “Perlakuan atau Ancaman? (Treat or Threat?)” ditujukan sebagai sebuah lemparan perkara yang kemudian akan diinterogasi kembali di bagian selanjutnya. Kemudian di bagian kedua yang akan ditampilkan pada 14 Juni 2024 yang berjudul “Tautologia”, didasari oleh penelusuran yang bersifat retrospektif. Pada penampilan ini, Renitta akan menjelajahi kembali memori serta pengalamannya melalui arsip dan beragam aspek lain yang berkaitan dengan masa kecilnya. Bagian terakhir, “Citra yang Patuh (Docile Personae)” yang akan ditampilkan pada 19 Juli 2024 itu akan melibatkan pengunjung sebagai partisipasi dalam karya, membuka kesempatan interpretasi kepatuhan menjadi lebih luas.

Renitta juga menambahkan bahwa karya ini merupakan sebuah perjalanan naratif yang melempar konflik dan menelusuri asal-usulnya, dengan bertujuan membuat audiens mempertanyakan kembali makna dari kepatuhan. Ia berharap penikmat pertunjukkannya dapat merenungkan bagaimana kepatuhan berjalan dalam kehidupan sehari-hari, dengan konsep kepatuhan yang secara luas.

Pada babak akhir dari trilogi ini nanti Renitta akan memberikan pertanyaan terbuka kepada audiens untuk melihat tanggapannya mengenai kepatuhan. Apakah akan tetap mempertahankan sikap “patuh” yang selama ini dipegang, atau mempertimbangkan kembali posisi mereka dalam struktur sosial yang ada.

*Kawan-kawan dapat menikmati karya-karya lain Fitri Amanda, atau artikel-artikel lain tentang seni

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//