Monolog Marsinah Menggugat: Membangkitkan Suara yang Terbungkam
Marsinah bangkit kembali dalam lakon monolog Marsinah Menggugat. Ia hadir dengan setelan pendaki gunung, menuntut ketidakadilan yang menimpa selama hidupnya.
Penulis Helni Sadiyah21 Mei 2024
BandungBergerak.id - Keheningan bergema dalam alunan musik yang lembut. Seorang perempuan dengan tubuh rapuh berjalan berat menuju panggung. Mengenakan pakaian serupa pendaki, lengkap dengan tas dan perlengkapan di pundak, ia seperti habis menjelajah jauh. Dialah Marsinah, buruh yang tewas dibunuh karena menuntut hak-haknya.
“Kalau saja dalam kesunyian aku dapat menutup telingaku dari pekik mengerikan, raung dari rasa lapar dan derita yang tak habis-habis. Kalau saja sesaat saja aku diberikan kesempatan merasakan betapa diriku adalah milikiku sendiri. Apa gerangan, dibutakan, tersekap oleh rasa takut yang tak henti mengintip, ketakutan yang tak bisa diapa-apakan tidak bisa dibunuh atau dilawan,” kata Marsinah, Minggu, 19 Mei 2024.
Teater monolog “Marsinah Menggugat” yang dipentaskan di kampus Universitas Kebangsaan Republik Indonesia, Bandung ini diperankan Wafi Osagi. Lakon “Marsinah Menggugat” karya Ratna Sarumpaet menyuarakan kegelisahan yang dialami tokoh Marsinah yang bangkit dari kubut dan berkelana mencari keadilan atas apa yang telah merenggut nyawanya.
“Suara-suara itu, mereka datang lagi, seperti derap kaki seribu serigala yang menggetarkan bumi. Mereka datang bahkan sampai ke sini, ke dalam liang kubur ini, mereka mengikutiku terus. Jika kematian adalah tempat penuh kedamaian, mengapa aku masih seperti ini. Terhimpit oleh pertarungan-pertarungan lama? Mengapa pedih dari luka lamaku lalu masih seperti kobaran api, dan mengapa amarah dan kecewa masih menggerogoti hati dan perasaanku?”
Pertunjukan dari kelompok Teater Lima Wajah garapan sutradara Maulana Yusup ini mengusung konsep unik. Marsinah digambarkan sebagai seorang penjelajah yang menembus batas ruang dan waktu. Sebelumnya, monolog ini juga telah dipentaskan dalam beberapa rangkaian kegiatan, termasuk pada Hari Buruh Sedunia di Cikapayang dan peringatan ulang tahun Teater Lima Wajah.
Marsinah Simbol Perlawanan
Alunan petikan gitar menggema, menciptakan atmosfer kelabu. Perempuan itu kembali mengingat masa hidupnya dan keluarganya.
“Sulit mungkin membayangkan bagaimana dulu kemiskinan melilit keluargaku. Bagaimana setiap pagi dan sore hari aku harus berkeliling menjajakan kue bikinan nenekku, demi seratus dua ratus perak. Aku nyaris tak pernah bermain dengan anak-anak sebayaku. Kebahagiaan masa kecilku hilang. Tapi aku ikhlas. Karena dengan uang itu aku bisa menyewa sebuah buku dan membacanya sepuas-puasnya,” tutur Marsinah.
Marsinah hidup di zaman rezin otoriter Orde Baru. Ia buruh perempuan yang berani bersuara, membawa harapan bagi mereka yang termarginalkah. Ia tewas mengenaskan pada tahun 1993. Melalui karya Ratna Sarumpaet ini Marsinah sekan bangkit kembali dan mengisahkan perjuangannya.
“Setelah empat tahun lebih aku merasa mati sia-sia, mereka tiba-tiba kembali mengungkit-ungkit kematianku. Kematian Marsinah murni kriminal. Kematian Marsinah berlatar belakang balas dendam, kematian Marsinah tidak ada hubungannya dengan pemogokan buruh. Dan hari ini, sebuah buku yang ditulis atas kematianku, diluncurkan. Gila!”
Selepas pertunjukan, Wafi Osagi merasa dirinya terperangkap dalam psikis karakter Marsinah yang ia mainkan. Perjalanan psikologis Marsinah dari kekuatan ke kehampaan, dari pertarungan ke pasrah, terasa begitu nyata dalam setiap kata dan gerak.
“Psikis itu benar-benar drastis. Kaya dari yang bawa ke naik lagi bawa lagi itu benar benar enggak ada transisi yang pada akhirnya tuh sampai masuk ke kehidupan sendiri gitu,” ujar Wafi Osagi.
Melalui lakon Marsinah, Wafi berharap bisa menghadirkan interpretasi baru atas peristiwa yang masih memiliki relevansi dengan kehidupan sekarang. Bahwa kasus ketidakadilan dan pelecehan seksual masih terjadi sampai saat ini.
"Kita sering menutup mata terhadap pelecehan, padahal itu masalah besar. Semoga penonton lebih sadar dan tidak menganggap remeh kejadian-kejadian seperti itu," ujarnya.
Baca Juga: Pesan dari Peristiwa Pembunuhan Marsinah, Hubungan Industri dengan Buruh tidak Baik-Baik saja
Bandung Hari Ini: Pentas Monolog Tan Malaka Dipaksa Batal
Mendengarkan Suara Anak-anak Palestina dalam Gaza Monolog Bandung
Proses Kreatif yang Mendalam
Sutradara Maulana Yusup menceritakan tantangan terbesar dalam menggarap naskah ini. "Naskah ini cukup rumit, naratif dengan banyak kata yang diulang. Tantangannya adalah menyampaikan pesan penulis dengan baik. Kami harus merajut teks menjadi gerak, suara, dan ekspresi, tanpa menghilangkan gagasan asli dari Ratna Sarumpaet," jelas Maulana.
Suasana panggung yang sederhana namun sarat makna, dengan musik dan kostum yang mendukung, menjadi elemen penting dalam memperkuat narasi.
“Kami menyajikan pertunjukan tanpa gedung pertunjukan yang ideal, dan juga tanpa lampu panggung. Kami ingin pertunjukan ini bisa disaksikan oleh berbagai lapisan masyarakat.” ungkap Maulana.
Penampilan Marsinah dengan kostum pendakinya, jauh dari gambaran seorang buruh pabrik tahun 90-an. Hal ini dapat menggambarkan perjalanan arwahnya di alam lain dan menambahkan dimensi surealis dalam pementasan.
“Make up tidak dibikin apa namanya berdarah-darah, hitam hitam kostum juga tidak seperti orang yang sudah mati karena memang kita bikin ceritanya itu. Kawan kami namanya Wafi Osagi. Dia bukan kesurupan ya, tapi mengira-ngira bagaimana kalau dia menjadi Masinah,” terangnya.
Meskipun pertunjukan ini seperti riak air kecil, Maulana berharap suatu saat bisa menjadi ombak besar yang memperjuangkan keadilan. Pertunjukan ini diharapkan menginspirasi penonton untuk terus melawan ketidakadilan, meski mulai dari hal-hal kecil. Pergelaran teater ini tidak hanya mengenang Marsinah, tetapi juga menggugah kesadaran akan isu-isu sosial yang masih relevan hingga kini.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya Helni Sadiyah, atau artikel-artiikel lain tentang Teater Monolog