• Berita
  • Titicara: Meruah, Sembilan Perempuan Menyelami Perjalanan Kreativitas Seni

Titicara: Meruah, Sembilan Perempuan Menyelami Perjalanan Kreativitas Seni

Sembilan perempuan memamerkan karya-karya seni rupa dalam Titicara: Meruah di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 17 Mei- 28 Juli 2024.

Pengunjung menikmati karya-karya yang dipajang di pameran Titicara Meruah, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jumat 17 Mei 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Fitri Amanda 21 Mei 2024


BandungBergerak.idDi tengah dinamika dunia seni rupa, Titicara hadir sebagai wadah yang mengutamakan karya dan praktik perupa perempuan. Lebih dari emansipasi, karya-karya mereka merayakan keberagaman dan kedalaman praktik seni perupa perempuan Indonesia.

Karya-karya seni rupa hasil para perempuan tersebut dipamerkan dalam "Titicara: Meruah" di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 17 Mei sampai 28 Juli 2024. Pameran ini hasil kerja sama ISA Art and Design dan Selasar Sunaryo Art Space sejak 2022.

Syagini Ratna Wulan, salah satu inisiator menjelaskan, Titicara berarti meniti cara. Sebagai perempuan, Wulan merasa memiliki cara pendekatan yang unik dalam berkarya, bercerita, hingga menyelesaikan masalah. Dari situlah, Titicara memulai perjalannya, menjadi ruang untuk mengeksplorasi keragaman teknik dan kreativitas yang dimiliki oleh para perupa perempuan.

Kurator pameran Titicara: Meruah Yosefa Aulia menceritakan, Meruah merupakan upaya untuk menuangkan atau menumpahkan gagasan-gagasan kreatif perupa. Jika Titicara menekankan pada cara-cara teknikal dalam mencari solusi pada saat berkarya, Meruah mengajak untuk mempertimbangkan perjalanan kreatif yang tidak linear.

Menurut Yosefa, proses berkarya tidaklah selalu berjalan lurus ataupun linear. Proses kerja senian berbeda-beda.

“Ada yang beranggapan kalau berkarya itu lurus gitu, bahwa itu berangkat dari titik a ke titik b. Kalau di Meruah saya ingin menegaskan bahwa berkarya itu gak pernah linear buat saya dan mungkin bagi teman-teman yang lain juga. Karena berkarya itu selalu ada banyak proses yang kita endap. Kadang ada jalan buntunya, kadang ia berbelok, kadang juga itu buram, hal itu gak selalu jelas,” tutur Yosefa, di pembukaan Titicara: Meruah.

Meruah menampilkan karya-karya dari sembilan perupa perempuan yang masing-masing memiliki gaya dan pendekatan unik. Mereka adalah Dian Suci Rahmawati, Fiametta Gabriela, Hildawati Soemantri, Ipeh Nur, Kei Imazu, Liza Markus, Melati Suryodarmo, Nadya Jiawa Saraswati, dan Ratu R. Saraswati, semuanya menghadirkan instalasi yang mencerminkan perjalanan kreatif mereka yang beragam.

Karya yang Berangkat dari Imaji-Imaji Kehidupan di Desa

Dian Suci Rahmawati, salah satu perupa yang berpameran di Titicara: Meruah dengan karyanya yang berjudul “Our Place is Placeless, a Trace of The Traceless”, mencurahkan pengalaman pribadinya dalam karyanya kali ini. Proses kreatif Dian berawal dari perubahan kebiasaannya di kehidupan sehari-hari, dari yang awalnya senang dengan olahraga lari kemudian ia memutuskan untuk mulai melambatkan diri dengan berjalan santai.

Perubahan kebiasaan ini membuka matanya terhadap hal-hal yang sering terlewatkan ketika ia berlari, contohnya interaksinya dengan warga sekitar dan detail-detail kehidupan yang ada di kampung kota tempat tinggalnya.

Sejak saat itu, Dian berinteraksi lebih dengan warga sekitar dan kemudian ia menyadari betapa kaya dan menariknya lingkungan di sekitarnya. “Karena selama ini kan ngejar pace, terus begitu jalan jadi lebih banyak mampirnya. Kayak berinteraksi sama tetangga terus ngobrol-ngobrol,” jelas Dian kepada BandungBergerak.

Melalui percakapan dengan warga, Dian mengetahui banyak hal, termasuk bagaimana kampung kota terbentuk akibat perpindahan penduduk dari desa ke kota dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka bawa dari desa, seperti memelihara burung atau ayam, hingga menggunakan tanaman sebagai pagar rumah.

Perupa yang saat ini menetap di Yogjakarta ini juga menyoroti bagaimana warga membawa ingatan dan tradisi dari desa ke kehidupan kota mereka. Misalnya, tradisi membawa segenggam tanah dari tempat asal yang kemudian ditaburkan di pekarangan tempat tinggal mereka yang baru, sebagai simbol harapan agar mereka betah di tempat yang baru.

Dengan tinggal di tempat yang saat ini pemandangannya sangat terbatas, Dian bercerita, mereka sudah sangat sulit menikmati pemandangan yang dulu mereka biasa nikmati. Imaji-imaji tentang wilayah asal mereka tetap mereka bawa dengan cara menyimpan lukisan-lukisan pemandangan di rumah mereka.

“Jadi, ingatan-ingatan mereka tentang romantisme desa sebenarnya masih ada,” ucap Dian.

Inspirasi inilah yang kemudian Dian curahkan ke dalam medium berupa kain yang ia mordan (teknik celup) dan kemudian ia lukiskan imaji-imaji atau memori kehidupan di desa dengan menggunakan ekstrak tanaman pagar sebagai pewarnanya.

Baca Juga: Pameran Arsip Virtual UGM, Zaman Pelonco Dokter sampai Demonstrasi Reformasi 1998
Menerjemahkan Seni di Dinding Pameran
Pameran Tunggal Simfoni Patetik Diyanto, Memanusiakan Manusia melalui Tontonan Manusia

Pengunjung menikmati karya-karya yang dipajang di pameran Titicara Meruah, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jumat 17 Mei 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Pengunjung menikmati karya-karya yang dipajang di pameran Titicara Meruah, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jumat 17 Mei 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Kesenangan Bermain Kata Berakhir Menjadi Karya

Perupa lainnya yang turut berpartisipasi dalam Titicara: Meruah, Liza Markus menjelaskan konsep dan proses kreatif di balik karya interaktif berjudul “Lomba Konsonan”. Karya ini berangkat dari ketertarikannya terhadap kata yang tidak hanya berfungsi sebagai alat penyampai makna, tetapi juga sebagai elemen visual dan fonetik.

Liza tertarik pada kata sebagai bentuk garis, sebagai aktivitas kinetik menulis, dan sebagai penyampai suara. Ia menggali tentang bagaimana kata-kata jika dilepaskan dari maknanya dapat menjadi bentuk yang netral. Namun, menurutnya kata-kata tidak pernah benar-benar netral.

“Karena dari bunyi aja kayak misalnya srak srek, grak grek, G-R, K-R, K-S, dan selainnya itu bukan memang selalu mengesankan sesuatu yang berbeda dari misalnya kita ngomong blup. Gitu kan pasti ada feeling yang berbeda. Jadi hipotesis saya sih memang gak ada sesuatu yang benar-benar netral,” ucap Liza.

Dalam karyanya, perupa yang juga manajer ruang seni di Jakarta itu menciptakan susunan kata-kata dan mengajak para audiens untuk berinteraksi dengan menghapus dan menemukan kata-kata baru di dalamnya. Audiens kemudian diminta untuk menuliskan emosi yang mereka rasakan dari kata-kata yang mereka temukan, apakah terdapat kekonsistenan emosi atau tidak.

Bermain dengan kata-kata merupakan suatu kegiatan yang kerap Liza lakukan sendiri di tiap sela-sela waktu luangnya. Ia memperlihatkan catatan di gawainya kepada BandungBergerak yang berisikan kata-kata yang pernah ia gunakan untuk bermain kata, di catatan yang ia tunjukkan itu terlihat kata “gemeretak geraham” sebagai kata awal dan kemudian ia menurunkan kata tersebut hingga menjadi kata yang baru dengan jumlah huruf yang lebih sedikit, seperti menjadi “geretak geram” dan terus berlanjut hingga huruf tersebut semakin lama semakin habis.

Proses tersebut merupakan bentuk permainan yang memberikan batasan pada dirinya sendiri untuk mencari kata dan bersenang-senang. Dalam karyanya, Liza memberikan batasan yang serupa kepada audiens, memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi dan menemukan makna serta kesenangan mereka sendiri dalam kata-kata.

 *Kawan-kawan dapat menikmati karya-karya lain Fitri Amanda, atau artikel-artikel lain tentang Seni Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//