• Cerita
  • Pameran Tunggal Simfoni Patetik Diyanto, Memanusiakan Manusia melalui Tontonan Manusia

Pameran Tunggal Simfoni Patetik Diyanto, Memanusiakan Manusia melalui Tontonan Manusia

Seniman Diyanto menampilkan adegan-adegan teatrikal di dalam lukisan-lukisannya. Pameran Tunggal ‘Simfoni Patetik Diyanto’ berlangsung hingga 17 Juli 2023.

Pameran lukisan karya seniman Diyanto dalam pameran tunggal Simfoni Patetik Diyanto, di Lawangwangi Creative Space, Jalan Dago Giri, Bandung, Rabu (12/7/2023). (Foto: Fitri Amanda/mahasiswa Telkom University)

Penulis Audrey Kayla Fachruddin14 Juli 2023


BandungBergerak.idPameran tunggal ‘Simfoni Patetik Diyanto’ memajang rangkaian lukisan karya Diyanto dalam kurun 2006 hingga 2023. Tubuh-tubuh manusia, yang telanjang maupun hanya siluet, disajikan secara teatrikal ke atas kanvas-kanvas besar. Lukisan-lukisan ini mengajak “memanusiakan manusia” melalui “tontonan manusia”.

“... Diyanto dengan wajah nir-ekspresi melabur tubuh-tubuh telanjang mereka dengan secangkir kopi hitam pahitnya yang selalu tanpa gula. Menjadi kelamlah tubuh-tubuh itu, nyaris menciptakan siluet sunyi. Kemarahan tentu muncul dari reaksi keduanya. Tapi telunjuk Cessane menunda kemarahan itu: “Simpan kemarahan kalian, kita ketemu di Lawangwangi…”,” tulis Fathul A. Hussein, sutradara Actors Unlimited dan NEO Theatre Indonesia, dalam tulisannya yang berjudul  “‘Garis LukaDiyanto: Menyingkap Titik labil Lukisan dan Panggung”.

Tulisan Fathul A. Hussein menjadi salah satu pemantik diskusi pameran tunggal ‘Simfoni Patetik Diyanto’ pada Rabu sore (12/7/2023), di Lawangwangi Creative Space, Dago Giri, Bandung. Diskusi ini menghadirkan narasumber Bambang Sugiharto, Guru Besar Fakultas Filsafat Unpar, Fathul A. Husein, kurator Asmudjo Irianto, dan Diyanto sendiri.

Pameran tunggal Diyanto di di Lawangwangi Creative Space berlangsung sejak 31 Mei hingga 17 Juli 2023. Diyanto merupakan seorang seniman lukis dan pertunjukan yang mulai berkiprah sejak 1987. Dia terlibat di berbagai komunitas seni lukis dan pertunjukan baik secara nasional maupun internasional.

Persinggungan dua dunia Diyanto, seni lukis dan teater, meninggalkan jejak dan perspektif tersendiri ke dalam karya-karya lukisnya. Pendekatan ini mampu mendobrak berbagai batasan realitas dan formal yang disebut ‘jeprut’—istilah populer di kalangan seniman Bandung.

Bambang Sugiharto menyebutkan, berbagai karya Diyanto mengandung komposisi teatrikal sehingga memunculkan istilah visualisasi “manusia tontonan” menjadi “tontonan manusia”. Selain itu, karya-karyanya Diyanto dinilai mampu melahirkan simfoni patetik yang menjadi tema besar pameran ini. Bambang juga mengaku terpukau dengan setting diskusi pameran yang karena berbentuk seperti teater koloseum, menunjukkan salah satu keahlian yang dikuasai Diyanto.

Menurut Diyanto, tema besar Simfoni Patetik Diyanto menjadi bingkai yang tepat untuk melengkapi rangkaian hasil karyanya yang bertajuk “Untuk dan Atasnama Orang Ramai”, untuk menunjukkan maksud dari “memanusiakan manusia” melalui berbagai lukisannya yang memvisualisasikan “manusia tontonan” dan “tontonan manusia”.

Dalam tulisannya, Fathul A. Husein menyatakan Diyanto menekankan garis luka di setiap lukisannya. Berbagai karya itu tidak lepas dari pengalaman yang terus menghantui atau melekat dengan Diyanto sendiri sehingga berkontribusi terhadap perubahan komposisi lukisannya, termasuk unsur emosi di dalamnya.

“Yang paling penting dari pameran ini, yang jelas untuk saya sendiri, seperti melihat 16 judul pertunjukan teater,” terang Fathul.

Tidak hanya itu, karena Diyanto memilih untuk mendobrak batasan realisme, Fathul juga menyebutkan bahwa berbagai karya Diyanto memiliki simbol-simbol yang tersirat maknanya. Berkaitan dengan hal tersebut, Diyanto menyatakan bahwa simbol atau metafora yang dilukisnya memiliki hubungan dengan pengalaman pribadinya dan narasi-narasi yang ingin disampaikannya.

Gimana kalau hujan itu yang menetes bukan air tapi sendok dan garpu?” ujar Diyanto, ketika saya mewawancarainya mengenai makna tersirat dari simbol di salah satu lukisannya.

Suasana diskusi pameran lukisan karya seniman Diyanto dalam pameran tunggal Simfoni Patetik Diyanto, di Lawangwangi Creative Space, Jalan Dago Giri, Bandung, Rabu (12/7/2023). (Foto: Fitri Amanda/mahasiswa Telkom University)
Suasana diskusi pameran lukisan karya seniman Diyanto dalam pameran tunggal Simfoni Patetik Diyanto, di Lawangwangi Creative Space, Jalan Dago Giri, Bandung, Rabu (12/7/2023). (Foto: Fitri Amanda/mahasiswa Telkom University)

Baca Juga: Pameran Lukisan Mengenang Ropih
Perubahan Pelukis Jelekong setelah Pagebluk
Pameran Lukisan Tisna Sanjaya di antara Timbunan Limbah Plastik

Seni kontemporer Versus Modern

Seni lukis di era seni rupa kontemporer memiliki masalah besar dan potensi yang berbeda dengan era seni rupa modern. Seni rupa kontemporer tidak memiliki dialektika seni lukis karena siapa pun dapat melukis apa pun.

Asmudjo Irianto menilai, Diyanto merupakan pelukis yang dapat mempertahankan dialektika seni lukis sehingga karya-karyanya berdampak terhadap para pengunjung pameran. Selama diskusi, para pengunjung memang tampak antusias. Beberapa pengunjung mengaku mendapatkan perspektif baru dari pameran ini.

“Sebagai orang yang awam tentang seni, khususnya seni lukis, menurutku pameran ini menunjukkan sesuatu yang baru. Apalagi, lukisan-lukisan ini baru pertama kali aku liat,” ujar Laila, salah satu pengunjung pameran.

Berbagai lukisan Diyanto yang dipamerkan juga menimbulkan suatu perasaan tertentu. “Aku, sih, ngeliatnya ada rasa takut dari wajah-wajahnya,” ujar Mevie dan Zahra, salah dua pengunjung pameran ini.

Panitia pameran dari Gallery Manager ArtSociates, Bagus, tidak menyangka pameran ini akan dikunjungi oleh banyak pengunjung. Mereka terutama berasal dari Unpar yang ingin mengapresiasi karya Diyanto.  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//