PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #2: Keraton Pakwan-Pajajaran
Beberapa sejarawan dan budayawan Sunda berusaha mencari wujud ataupun bentuk (design) iIstana Pakuan Pajajaran dengan sumber dan metodenya masing-masing.
Topik Mulyana
Dosen dan peneliti Lembaga Pengembangan Humaniora, Pusat Studi Nitiganda, Fakultas Filsafat Unpar, Ketua Padepokan Bumi Ageung Saketi
25 Mei 2024
BandungBergerak.id – Di antara kerajaan-kerajaan lain di Pulau Jawa, kerajaan di Tatar Sunda –khususnya Pajajaran (abad ke-14 s.d. 15)– memiliki peninggalan artefak yang bisa dikatakan sangat minim. Sejauh yang diketahui, artefak-artefak zaman Pajajaran yang mengandung inskripsi ada tiga, yaitu Prasasti Kebantenan (Bekasi), Prasasti Batutulis (Bogor), dan Prasasti Huludayeuh (Cirebon). Adapun artefak-artefak non-inskripsi, di antaranya batu penobatan raja yang dikenal dengan sebutan watu gilang atau yang dalam naskah Carita Parahyangan disebut palangka sriman sriwacana (Banten), arca perwakalih/purwagalih (Bogor), dan mahkota Binokasih Sanghyang Pake (Sumedang), padrao atau tugu penanda perjanjian bilateral dengan Portugis (Jakarta). Adapun artefak yang berupa bangunan, sama sekali tidak ada.
Kemegahan dan kemasyhuran Pajajaran dan Prabu Siliwangi –raja Pajajaran paling terkenal– tergambar dalam kebudayaan rakyat (folklore) Sunda, terutama dalam carita pantun, sebagai salah satu bentuk narasi rakyat (folktale) yang pada masa lalu amat digemari masyarakat Sunda. Ketika pagelaran carita pantun surut, kisah-kisah Pajajaran masih eksis secara puitik dalam lagu-lagu rakyat Sunda, terutama tembang-tembang Cianjuran, kidung-kidung buhun, dan lagu-lagu pengiring tari jaipong. Saat lagu-lagu itu pun surut, kita masih mendapati kisah Pajajaran dan Siliwangi dalam lagu-lagu Sunda modern, semisal kawih-kawih Mang Koko dan kawih kekinian karya Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta cum budayawan Sunda. Secara prosaik, kita mendapati narasi-narasi Pajajaran dalam karya-karya roman, baik yang berbahasa Sunda, seperti karya-karya Yoseph Iskandar dan Aan Merdeka Permana, maupun yang berbahasa Indonesia, seperti karya-karya E. Rokajat Asura.
Sebagai folktale yang mengisahkan kronik Pajajaran sejak berdiri hingga keruntuhannya, Pantun Bogor pun menggambarkan istana, atau secara umum tata wilayah, Pajajaran. Dalam bagian kedua buku Pamarentahan Nagara Pajajaran Tengah, Ki Komara menggambarkan tata letak Keraton Pakuan dan tata wilayah Pajajaran berdasarkan episode “Ngadegna Pajajaran (Berdirinya Pajajaran)”. Disebutkan bahwa secara keseluruhan, Pajajaran terdiri atas lima “Nagara” (sebutan untuk permukiman atau wilayah kekuasaan pada masa itu). Kelimanya didirikan pada zaman yang sama, namun berbeda harinya. Keberadaan lima nagara itu menggambarkan filosofi ruang (tata wilayah) masyarakat Sunda (juga Jawa), yakni papat kalima pancer (empat arah mata angin ditambah yang kelima sebagai pusat) atau yang dalam istilah Melayu disebut panca persada.
Berikut urutan secara kronologis kelima nagara tersebut. Yang pertama berdiri adalah Pajajaran Bantar Sagara (Banten Utara), disusul dengan berdirinya Pajajaran Jati Purwa (Cirebon). Yang tiga lagi didirikan pada hari yang sama, yaitu Pajajaran Barat (Banten Girang), Pajajaran Tengah (Bogor), dan Pajajaran Girang (sekarang disebut Priangan).
Si penyusun tidak menyebutkan hari apa saja. Demikian juga dengan zaman, tidak disebutkan zaman apa yang dimaksud. Apakah zaman dan hari yang dimaksud mengacu pada waktu historis ataukah waktu mitis/sakral (seperti ungkapan-ungkapan waktu dalam kitab suci). Waktu historis artinya waktu yang mengacu pada kronometer (detik, menit, jam, hari, bulan, dst.) atau waktu faktual yang kita alami, sedangkan waktu mitis/sakral bersifat ahistoris (bisa jadi sebutan satu hari itu sama dengan puluhan atau ratusan tahun). Pemikiran ini saya ajukan mengingat kutipan dari “Ngadegna Pajajaran” bahwa setiap nagara didirikan berbeda hari yang secara nalar tidak mungkin suatu nagara didirikan hanya dalam satu hari.
Berikutnya, terkait judul buku tersebut, Pamarentahan Nagara Pajajaran Tengah, maka pembahasan mengenai deskripsi tempat, khususnya istana, berfokus pada Pajajaran Tengah. Sangat mungkin kata “Tengah” mengacu pada makna ‘pusat’ mengingat bahwa pusat Kerajaan Pajajaran terletak di Bogor sekarang, seperti yang diungkapkan para sejarawan berdasarkan sumber-sumber, baik sumber primer maupun sekunder.
Meski nama kerajaan/nagara Pajajaran sangat terkenal dan akrab dengan perikehidupan batin masyarakat Sunda, kita tidak menemukan artefak berupa bangunan istana. Ada dua jenis penjelasan, yakni penjelasan historis dan penjelasan mitis. Berdasarkan penjelasan historis, Pajajaran sirna karena serangan pasukan Banten di bawah pimpinan Panembahan Maulana Yusuf yang memerintahkan pembumihangusan ibukota Pakuan. Sementara, penjelasan mitis mengacu pada carita-carita pantun, yakni berpindah ke alam lain (ngahiang/tilem).
Terlepas dari musababnya apa, tiadanya artefak berupa sisa bangunan istana Pakuan sudah pasti menimbulkan rasa ingin tahu para sejarawan dan para pecinta kebudayaan Sunda. Beberapa sejarawan dan budayawan Sunda sudah berusaha mencari wujud ataupun bentuk (design) istana Pakuan, dengan sumber dan metodenya masing-masing. Berikut di antaranya.
Baca Juga: Kesurupan, Proses Menuju Kemanusiaan
PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #1: Pemisahan Negara dan Agama, Sekularisme ala Sunda Kuna?
Istana Pajajaran
Saleh Danasasmita, sejarawan paling otoritatif mengenai Pajajaran dan Siliwangi, menelusuri catatan-catatan VOC mengenai bekas-bekas berbagai infrastruktur Kota Pakuan. Melalui bukunya yang berjudul Mencari Gerbang Pakuan, Saleh menelusuri bekas-bekas Keraton Pakuan melalui catatan-catatan orang-orang VOC yang melakukan ekspedisi penentuan batas wilayah pasca-perjanjian dengan pihak Kesultanan Banten dan juga penelusuran lapangan yang dilakukan pada masa kini. Hasilnya, bekas istana Pakuan berada pada wilayah yang kini dibatasi oleh Jl. Batu Tulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang kini dipenuhi perumahan (sisi timur), dan tempat terdapatnya prasasti batu tulis (sisi utara). Kesimpulannya, bekas-bekas bangunan fisik istana Pakuan sudah tidak ada sama sekali.
Pada ekspedisi tentara pekerja (werktroep) VOC pertama yang dipimpin Sersan Scipio, Pakuan hanya menyisakan jalanan batu (balay), bekas parit, bekas kebun kerajaan, dan yang paling mencolok di antara semua itu adalah batu bertuliskan huruf Sunda kuna yang kini dikenal sebagai Prasasti Batu Tulis. Padahal, ekspedisi itu dilakukan “hanya” seabad setelah Pajajaran runtuh. Ekspedisi yang dilakukan pihak VOC sejak 1687 (Sersan Scipio) hingga 1709 (van Riebeek) hanya menemukan bekas sarana dan prasarananya saja, sedangkan bangunan keraton, sebagai central point, sama sekali tidak ada, kecuali namanya saja: Paseban Ageung, beberapa meter dari lokasi Batu Tulis.
Beruntung, Tome Pires, seorang Portugis yang pernah berkunjung ke Pakuan Pajajaran, mencatatnya dalam bukunya yang amat terkenal itu, The Suma Oriental. Dalam bukunya itu, pada bagian yang menggambarkan Kerajaan Sunda, Pires mendeskripsikan kemegahan Keraton Pakuan sebagai berikut: the king’s house has three hundred and thirty wooden pillars as tick as a wine cask, and five fathoms hugh, and beautiful timberwork on the top of the pillars, and a very built well-house. Dapatlah tergambar kemegahan macam apa yang dimiliki Keraton Pakuan itu; bangunan yang dibangun dengan sangat baik, disangga dengan 330 pilar kayu setinggi 5 kaki (9 meter) yang diameternya sebesar drum anggur (Eropa) dengan hiasan-hiasan indah di bagian atasnya. Megahnya bangunan tempat tinggal raja berbanding lurus dengan keadaan Kerajaan Sunda saat itu yang memang sedang berada di puncak kejayaannya.
Pires menggambarkan padatnya Kota Pakuan oleh rumah-rumah yang terbuat dari bahan kayu dan daun pohon palma (pakuhaji) dan tersusun dengan rapi. Hasil-hasil pertanian melimpah, seperti beras, rempah-rempah, katun, dan buah-buahan. Sunda pun memiliki enam pelabuhan yang ramai untuk menunjang kegiatan perekonomiannya yang terbilang maju karena menjalin kerja sama dagang dengan banyak kerajaan, baik di Nusantara maupun asing. Situasi inilah yang dalam ungkapan-ungkapan orang Sunda dikenal sebagai Gemah Ripah Loh Jinawi atau yang dalam bahasa naskah kuna disebut kretayuga, ‘zaman kemakmuran’. Meski sangat sepintas, gambaran Pires tersebut bisa dikatakan yang paling autentik karena merupakan sumber sezaman dan digambarkan dengan cara deskriptif, sebagaimana kebiasaan bangsa Barat.
Sementara, Jakob Sumardjo dalam bukunya Hermeneutika Sunda, menyebutkan bahwa dalam setiap carita pantun dan babad, Keraton Pakuan selalu disebutkan. Tentunya secara puitik, tidak deskriptif seperti Pires. Termasuk dalam Babad Guru Gantangan atau Babad Pakuan. Berdasarkan tafsir hermeneutis terhadap babad tersebut, Jakob menggambarkan Keraton Pakuan secara rinci, baik Pakuan sebagai kompleks istana maupun Pakuan sebagai kota. Menariknya, denah Pakuan sebagai kota (Jakob menyebutnya Kuta Pakuan) sangat mirip dengan denah yang dibuat oleh C.M. Pleyte pada tahun 1911 dan juga denah yang dibuat Saleh Danasasmita berdasarkan keterangan VOC ditambah penelusuran lapangan. Perhatikan ketiga denah berikut.
Memang, Jakob pun mengakui bahwa ia menggunakan sumber-sumber VOC seperti yang diuraikan Saleh dan juga Suma Oriental Pires. Namun, ia tidak begitu saja menampilkan sumber-sumber tersebut yang bersifat deskriptif, tetapi juga memadukannya dengan carita pantun dan babad yang bersifat puitik, sumber luar dan sumber internal.
Denah Pakuan sebagai kompleks hasil rekaan Jakob juga tidak kalah menarik. Denah inilah yang direkanya berdasarkan sumber puitik, dalam hal ini Babad Pakuan. Dalam sumber, Pajajaran atau Pakuan selalu disebutkan memiliki lulurung tujuh (lorong tujuh). Jakob menafsirkan lulurung tujuh ini sebagai tujuh kaveling yang menyusun istana Pakuan. Berikut denah dan nama-nama tidap kaveling dan bangunannya.
Keraton Pakwan-Pajajaran
Dalam Pantun Bogor sendiri, Keraton Pakuan digambarkan sebagaimana halnya dalam pantun lain, yaitu mengikuti gerak-gerik tokoh cerita. Dalam episode “Pakujajar di Lawang Gintung”, disebutkan
Hanya satu orang yang belum berkunjung ke penjagaan! Beliau adalah Guru Sekar yang bernama Aki Santarupa, yang tinggal di Taman Milakancana, sebelah utara Gintung yang Tujuh, sebelah timur Keraton. Agak jauh di bagian atas Telaga Ki Pata Unan yang sekarang disebut Sipatahunan, yang berada di telaga panjang Telaga Kamala Wijaya … !
Berdasarkan gambaran tersebut, Ki Komara mengkritik denah Pleyte bahwa Lawang Gintung yang ada dalam denah tersebut baru didirikan tahun 1860, artinya permukiman baru, jauh setelah Pajajaran runtuh. Demikian juga pemandian (zwembad) yang ada dalam denah Pleyte bukanlah pemandian masa Pajajaran, melainkan pemandian yang baru.
Meski demikian, lorong yang tujuh tetap disebutkan, namun dengan penamaan yang agak berbeda, yakni gintung anu tujuh, bukan lulurung tujuh. Keduanya memiliki pengertian yang sama. Satu lagi tempat yang selalu disebut-sebut dalam pantun lain ataupun rajah-rajah Sunda dan tembang Cianjuran (wanda papantunan) adalah Telaga Sipatahunan. Rupanya, nama Sipatahunan merupakan nama populer untuk Telaga Rena Maha Wijaya yang disebutkan dalam Prasasti batu Tulis atau carita pantun disebut Talaga Kamala Wijaya.
Kemudian, Ki Komara juga menegaskan bahwa Aki Uyut Baju Rambeng sang juru Pantun Bogor menyebutkan bahwa yang benar adalah pakwan, bukan pakuan. Pa- merupakan imbuhan yang menunjukkan makna ‘tempat’ dan kwan berarti ‘perintah’. Pakwan adalah tempat memerintah, tegasnya berarti kompleks keraton. Sementara, tempat bersemayamnya raja adalah kadatwan. Hal itu berdasarkan keterangan yang terdapat dalam naskah Carita Parahyangan: ratu haji di Pakwan Pajajaran anu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.
Ternyata, Keraton Pakwan-Pajajaran pun merupakan nama populer. Nama resminya adalah Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Artinya, kompleks Keraton Pakwan-Pajajaran memiliki lima bangunan utama, bukan satu. Menurut Poerbatjaraka dalam tulisannya “De Batoe-Toelis bij Buitenzorg”, Pakwan-Pajajaran berarti ‘istana yang berjajar’.
Sayang sekali, keraton semegah dan seindah itu harus lenyap bak ditelan bumi. Barangkali, inilah makna dari berbagai frasa dalam carita pantun, rajah, dan tembang Cianjuran, dan kawih Mang Koko: Pajajaran kari ngaran (Pajajaran tinggal nama), Pajajaran ngahiang (Pajajaran menghilang), dayeuh ngajadi leuweung (kota menjadi hutan), Pakuan gening geus leungit (pakuan sudah hilang), pakuan gening geus sirna (Pakuan sudah sirna).
*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain mengenai sejarah