Pesan Damai Waisak dari Vihara Satya Budi
Bandung merupakan kota yang beragam, terdiri dari berbagai umat penganut agama-agama yang berbeda-beda. Umat Buddha di kota ini sebanyak 11.037 orang.
Penulis Raja Ilham 25 Mei 2024
BandungBergerak.id - Semerbak aroma dupa yang terbakar menyelimuti Vihara Satya Budi pada perayaan Hari Raya Tri Suci Waisak 2568 BE, Kamis, 23 Mei 2024. Ratusan umat Buddha dari seluruh kalangan umur berdatangan ke vihara di tengah Kota Bandung ini untuk mengalunan doa-doa. Mereka saling menukar senyum saat berpapasan. “Sedetikpun Tidak Akan Terulang, Hargai Setiap Detikmu”, demikian tema Waisak di vihara di tengah Kota Bandung ini.
Vihara Satya Budi merupakan salah satu dari tiga vihara yang berada di Jalan Kelenteng. Dua vihara lainya terletak di kedua sisi Vihara Satya Budi, yaitu Vihara Budagaya dan Vihara Samudera Bhakti. Dilansir dari website Pemerintahan Kota Bandung Vihara Satya Budi merupakan kelenteng tertua yang ada di Bandung.
Vihara dan kelenteng meski sama-sama rumah ibadah, tetapi maknanya berbeda. Vihara merupakan rumah ibadah umat Buddha, sementara kelenteng merupakan tempat ibadah umat Konghucu dan Tao.
Vihara Satya Budi awalnya bernama Kelenteng Hiap Thian Kong yang berarti Istana Dewa. Ketika penggunaan nama Tionghoa dilarang pada tahun 1965, nama kelenteng ini berubah nama menjadi Vihara Satya Budi. Penggunaan kelenteng diubah menjadi vihara akibat kebijakan pemerintah saat itu yang tidak mengakui agama Konghucu. Vihara Satya Budi ini sekarang menjadi tempat ibadah tiga agama, yaitu Tao, Konghucu, dan Buddha.
Kristanto Kurniawan, atau kerap dipanggil Tanto, edukator Vihara Satya Budi, menjelaskan perayaan Hari Raya Tri Suci Waisak ini memiliki dua rangkaian acara. Pada rangkaian awal terdapat kegiatan acara yang bernama “San Bu Yi Bhai” yang berarti tiga langkah dan satu sujud.
Uniknya, Vihara Satya Budi adalah satu-satunya vihara yang mengadakan “San Bu Yi Bhai” di Kota Bandung. Kegiatan ini memiliki nilai-nilai filosofis di dalam agama Buddha. Nilai pertama adalah bertekad untuk menjadi lebih baik; dan yang kedua adalah proses “San Bu Yi Bhai” dipercaya untuk membangun karma baik atau istilah umumnya adalah “pertobatan”.
“Pada dasarnya itu kayak pengurangan karma buruklah, untuk meningkatkan karma baik” ujar Tanto.
Kegiatan “San Bu Yi Bhai” dimulai dari jam setengah tujuh dan berakhir di jam sembilan pagi. Lalu dilanjutkan dengan transisi dari kegiatan pertama ke kegiatan kedua. Selama satu jam, para panitia harus bekerja keras untuk membersihkan dan menyiapkan kegiatan acara sesi kedua dari perayaan Hari Raya Tri Suci Waisak tahun ini yaitu kegiatan kebaktian dan ceramah.
Kebaktian dan ceramah dimulai pada jam sepuluh dan berakhir pada jam dua belas siang. Kegiatan ini diisi dengan pembacaan doa-doa, khotbah dari suhu atau biksu yang bertugas, lalu diakhiri dengan seremonial penutup.
Pada saat terakhir, Tanto mengharapkan dengan adanya perayaan Hari Raya Tri Suci Waisak tahun ini dapat menjadikan umat Buddha lebih merenungi dan lebih mengaplikasikan ajaran-ajaran dari sang guru Buddha. Tanto juga berpesan untuk saling memaafkan dan jangan terlalu keras akan diri sendiri dan orang lain.
“Intinya seperti tagline dari Buddha itu sendiri ya, Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta yang artinya semoga semua mahluk berbahagia. Kita bisa berbahagia ketika kita bisa memaafkan diri terlebih dahulu, kita bisa berbahagia ketika bisa memaafkan orang lain. Jadi intinya adalah ketika kita mau berbahagia ya kita harus melepaskan dendam, amarah, dan kebencian,” ujar Tanto.
Setelah vakum akibat pandemi yang terjadi pada tahun 2020, seremonial “San Bu Yi Bhai” kembali dilangsungkan pada Hari Raya Tri Suci Waisak tahun ini. Namun, perjalanan menghidupkan kembali tradisi ini tidak tanpa tantangan.
Tanto mengungkapkan, salah satu kesulitan terbesar adalah mengingat kembali detail prosesi yang telah lama tidak dipraktikkan. "Kami harus me refresh lagi ingatan zaman dulu," ujar Tanto, menandakan bahwa memori tentang prosesi ini telah pudar sejak terakhir kali dilakukan pada tahun 2020.
Selain itu, ada tantangan tambahan dalam mengajarkan tradisi ini kepada angkatan yang lebih muda, yang belum pernah mengalami prosesi tersebut sebelumnya.
"Pasti ada kesulitan dalam menurunkan ilmu," tambah Tanto, menunjukkan bahwa meskipun prosesnya tidak terlalu sulit, tetap ada upaya yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa seremonial ini dapat terus berlanjut dengan semangat yang sama seperti ketika sebelum pandemi.
Baca Juga: Keberagaman Indonesia dalam Menu Kuliner
Data Keberagaman Jenis Kesenian di Kota Bandung 2021: Seni Tradisional Sunda Terbanyak
Media Massa Diingatkan agar Menghindari Politisasi Agama dengan Menerapkan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman
Keberadaan umat Buddha menunjukkan bahwa Bandung merupakan kota yang beragam, terdiri dari berbagai umat penganut agama-agama yang berbeda-beda. Berdasarkan data.bandung.go.id 2022, umat Buddha di Kota Bandung sebanyak Buddha 11.037 orang.
Bandung dihuni oleh umat 7 agama termasuk Buddha. Umat Islam merupakan mayoritas, yakni 2.346.818 jiwa, disusul umat Protestan 130.944 jiwa, Katolik 54.279 jiwa, Hindu 1.616 jiwa, Konghuchu 168 jiwa, dan Kepercayaan Tuhan YME 143 jiwa.
Menurut Novi, penulis di Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub) Bandung menjadi kota sejuta warna dan rasa yang di dalamnya terdapat banyak orang yang berbeda dari mulai cara pandang sampai perilaku. Tak dipungkiri, beragamnya agama dan etnis di Kota Bandung juga akan menambah warna dalam keanekaragaman yang ada.
“Keanekaragaman tersebut tak serta merta memisahkan satu pihak dengan pihak yang lain. Namun, justu akan semakin saling menguatkan,” tulis Novi.
*Kawan-kawan dapar membaca tulisan-tulisan lain dari Raja Ilham Maulidani Gumelar atau artikel-artikel lain tentang Keberagaman Kota Bandung