PILGUB JABAR 2024: Jalan Terjal Calon Independen di Panggung Politik Jawa Barat
Pendaftaran calon independen Pilgub Jabar 2024 sepi peminat. KPU Jabar menyatakan tidak ada satu pun calon persoarangan yang mendaftar.
Penulis Emi La Palau30 Mei 2024
BandungBergerak.id - Pencalonan kepala daerah melalui jalur independen dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 nampaknya menenumi jalan terjal. Di Jawa Barat, pendaftaran Pilgub Jabar 2024 untuk pasangan calon dari nonpartai ini sepi peminat, bahkan nihil. Hal ini disebabkan karena mepetnya waktu persiapan dan beratnya persyaratan yang dibebankan kepada calon perorangan dari jalur independen.
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota tahun 2024, pemenuhan persyaratan dukungan pasangan calon perseorangan dimulai pada Minggu, 5 Mei 2024 dan dijadwalkan berakhir pada Senin, 19 Agustus 2024.
Sementara pengumpulan berkas syarat dukugan bakal calon perseorangan dijadwalkan pada 8 sampai dengan 12 Mei 2024 pukul 23.59 WIB. Selanjutnya verifikasi administrasi dokumen persyaratan calon perseorangan akan diselenggarakan pada 13 sampai 29 Mei 2024.
Divisi Teknis KPU Jawa Barat Adi Saputro mengungkapkan, hingga batas waktu pengumpulan berkas dukungan bakal calon perseorangan tak ada satu pun pasangan calon yang mendaftarkan diri. Sebelumnya, KPU Jabar menjadwalkan penerimaan berkas syarat dukungan bakal calon perseorangan dari tanggal 8-12 Mei 2024 pukul 23.59 WIB.
“Tidak ada bakal pasangan calon gubernur wakil gubernur perseorangan yang menyerahkan dukungan (nihil) ke KPU Jabar,” kata Adi, kepada Bandungbergerak.id, melalui pesan singkat.
Sebagai daerah dengan penduduk terbanyak di Indonesia dan memiliki daftar pemilih tetap di atas 12 juta, maka calon yang maju melalui jalur independen menurut KPU Jabar wajib mengantongi syarat dukungannya sebesar 2,3 juta dukungan yang tersebar di 14 kabupaten dan kota di Jawa Barat.
Calon Independen Menghadapi Tantangan Regulasi dan Struktural
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nurhayati membeberkan beberapa hal yang memberatkan calon pasangan yang akan maju melalui jalur independen, yakni persyaratan dukungan calon perseorangan yang dinilai cukup tinggi. Pasalnya, mereka yang akan maju melalui jalur independen harus mengumpulkan 6,5 sampai 10 persen dukungan dari total jumlah daftar pemilih tetap. Hal ini tidak mudah. Apalagi ditambah dengan waktu yang sempit.
Selain itu, DEEP Indonesia sendiri banyak menemukan pasangan calon yang mengeluhkan mengakses Sistem Informasi Pencalonan (SILON). Dari total se-Indonesia sektiar 269 bakal pasangan calon yang meminta akses SILON kepada KPU, banyak yang menemui kendala dalam pemberkasan persyaratan.
“Itu baru di tahap administrasi, belum pada tahap verifikasi faktual. Nah, tantangan lain juga adalah sebetulnya yang paling memberatkan itu di verifikasi faktual,” terang Neni, kepada Bandungbergerak.id, Selasa, 28 Mei 2024.
Menurut Neni, verifikasi faktual akan sama dengan Pilkada 2020 yang menggunakan mentode sensus. Hal ini sangat memberatkan bagi kandidat calon perseorangan. Selain itu, calon yang maju jalur independen tidak memiliki basis massa yang jelas, berbeda dengan calon dari partai politik. Calon independen membutuhkan tim yang solid dan modal sosial yang kuat.
Di sisi lain, para calon independen akan kesulitan berkompetisi dengan calon dari partai politik. Mereka tidak memiliki kekuatan struktural seperti partai politik yang mempunyai mesin yang telah melembaga sampai kepada akar rumput, ke tingkat desa. Bagaimana mereka membentuk tim yang terstruktur tanpa harus berbiaya mahal dan gemuk?
Jika dilihat pada catatan Pilkada sejak 2015 hingga terakhir 2020, paslon yang maju melalui jalur independen menurut Neni cukup fluktuatif. Pada 2015 ada sebanyak 135 paslon, kemudian turun di tahun 2017 ada sebanyak 68 paslon, dan naik pada 2018 ada 69 paslon, dan terakhir di 2020 juga mengalami kenaikan ada 98 paslon. Namun, di tahun 2024 ini semakin menurun dan sepi peminat. Hal itu tak terlepas dari beratnya persyaratan bagi paslon yang maju jalur independen.
“Nah, tapikan, presentasi kemenangannya itukan cuman 8-10 persen, presentase kemenangannya itu, jadi kenapa jumlahnya turun, dibandingkan dengan di pilkada sebelumnya karena untuk probalitas kemenangannya itu sendiri juga sangat kecil,” ungkapnya.
Tak hanya itu, Neni juga menjelaskan bahwa problem terberat terkait regulasi hukum yang belum jelas tersedia sejak awal. Hal itu menjadi problem tersendiri. Belum lagi dengan ongkos politik untuk mengumpulkan dukungan yang amat memberatkan calon perseorangan.
Neni menggarisbawahi sosialisasi yang dilakukan KPU mengenai pencalonan ini tidak masif. Peraturan KPU (PKPU) tentang pelaksanaan teknis pencalonan juga terlambat diterbitkan.
“Itu bukan terlambat lagi, itu benar-benar ini kan udah masuk tahapan pencalonan sampai sekarang PKPU itu belum rilis, belum keluar. Jadi seolah memang penyelenggara pemilu juga tidak siap begitu, untuk menghadapi pilkada ini,” ungkapnya.
Peraturan KPU sangat dibutuhkan di lapangan. Menurutnya, penyelenggaraan pemilu yang berlindung pada surat edaran (SE) kekuatan hukumnya sangat lemah. SE tidak bisa dijadikan sebagai rujukan utama dalam proses pelaksanaan penyelenggaraan Pilkada. Selain itu, keterbukaan informasi kepada publik ataupun kepada pengawas pemilu sangat minim sekali.
“Jadi jangankan ke masyarakt, ke sesama penyelenggara pemilu pun, itu cenderung mereka itu tertutup,” ungkapnya.
Jalan terjal lainnya yang mesti dihadapi paslon jalur nonpartai yakni ada kesenjangan dengan waktu pendaftaran yang sempit. Penyelenggara pilkada tidak memberikan keleluasaan sehingga calon tidak bisa menyiapkan secara optimal dengan jangka waktu yang pendek. Kesiapan calon tidak memadai.
Baca Juga:Birokrasi Pemkot Bandung dan Pemprov Jabar Direpotkan oleh Ratusan Aplikasi Bikinan Sendiri?
Data Tingkat Partisipasi Warga Difabel di Kota Bandung dalam Pilgub Jabar 2018: Tingkat Partisipasinya Lebih Rendah Dibanding pada Pilwalkot 2018
BUKU BANDUNG #51: Kisah Jin dalam Botol dan Pilgub Jabar Pascaruntuhnya Orde Baru
Persaingan dengan Partai Politik
Di ranah masyarakat, mereka lebih mempercayai partai politik daripada calon nonpartai. Masyarakat masih belum familiar dengan calon perseorangan. Padahal dukungan masyarakat menjadi hal yang sangat krusial untuk pasangan calon.
“Jadi masyarakatnya juga, masyarakat kadang-kadang lebih percaya kepada calon di partai politik dibandingkan dengan ke calon perseoranganm,” ungkap Neni.
Belum lagi dengan fenomena penolakan calon perseorangan oleh KPU karena tidak memenuhi persyaratan. Hal ini pada akhirnya membuat calon lainnya mengurungkan niat untuk maju. “Ah, gak jadi ah. Karena kan banyak juga tuh yang ditolak sama KPU. karena persyaratan administratifnya tidak memenuhi syarat,” kata Neni.
Jika melihat kondisi di Jawa Barat sendiri, Neni mengungkapkan masih banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Menurutnya, Jawa Barat termasuk provinsi dengan potensi tinggi pelanggaran pemilu.
“Terutama di pemilihan serentak 2024 ini, paling tidak Bawaslu bisa melakukan banyak himbauan untuk mengantisipasi dugaan-dugaan pelanggaran yang terjadi,” katanya.
Kultur pemilu di Jabar juga masih lekat dengan pengaruh partai politik daripada jalur independen. Sementara jalur independen amat tergantung pada ketokohan yang kuat. Masalah tokoh inilah yang belum ditemukan di Jawa Barat.
Situasi politik di Jawa Barat tersebut membuat para calon perseorangan berpikir ulang untuk maju ke dalam kontestasi.
“Ngapain gua buang-buang duit. Semenetara misalnya tidak ada penyokong dana, beda kan dengan partai politik. Partai politik itu pasti bakal banyak yang menyokong dana untuk bakal pasangan calon. Apalagi ketika kemudian merka juga popularitas dan elektabilitas tinggi. Atau sekarang kan trendnya oligarki dan pebisnis itu ya masuk gitu ke situ,” papar Neni.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Emi La Palau, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Pilgub Jabar