Birokrasi Pemkot Bandung dan Pemprov Jabar Direpotkan oleh Ratusan Aplikasi Bikinan Sendiri?
Demam digitalisasi memacu birokrasi membikin banyak aplikasi. Pemkot Bandung dan Pemprov Jabar tak mau ketinggalan. Semakin banyak aplikasi semakin inovatif?
Penulis Iman Herdiana16 Mei 2023
BandungBergerak.id - “Kalau bisa susah, kenapa harus dipermudah?” Pertanyaan ini bisa kita temukan dengan berbagai variasi, tetapi intinya sama-sama menyindir. Bisa menyindir birokrasi yang tidak efisien, bisa juga menyindir orang yang suka memperumit segala urusan yang sebenarnya sederhana.
Pertanyaan tersebut juga berlaku di zaman digital ini, dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah berlomba membuat aplikasi untuk segala urusan. Hasilnya, ribuan aplikasi dengan dana ratusan juta tercipta. Entah berguna atau tidak. Entah mempermudah urusan atau tidak.
Yang jelas menumpuknya aplikasi ini pernah dikeluhkan Menteri Keuangan Sri Mulyani. "Bayangkan kita punya lebih dari 400.000 aplikasi ya Pak. Dan juga 24.000 (K/L) kemudian setiap Kementerian lembaga itu punya 2.700 punya database sendiri-sendiri," kata Sri Mulyani dalam acara Festival Ekonomi dan Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) 2022 di Bali, 11 Juli 2022 lalu.
Bayangkan, jika di level pusat saja ada ratusan ribu aplikasi yang berjalan sendiri-sendiri, bagaimana di level-level pemerintah daerah di Indonesia? Berapa aplikasi yang betul-betul bermanfaat bagi publik, berapa aplikasi kemudian mati karena tidak dipakai?
Indikasi dari banyaknya aplikasi yang merepotkan, bukan mempermudah urusan, memunculkan gagasan pengintegrasian aplikasi supaya tidak jalan sendiri-sendiri, seperti yang diusulkan Sri Mulyani. Jadi, mengatasi aplikasi dengan aplikasi.
Hal serupa juga dialami Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung yang ingin mengintegrasikan aplikasi-aplikasi yang telah mereka dibikin. Kepala Bidang Persandian dan Aplikasi Diskominfo Kota Bandung Ayi Mamat Rochmat mengatakan, saat ini Kota Bandung tengah berbenah untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan teknologi informasi, termasuk pengintegrasian sistem informasi.
Ayi mengungkapkan, jumlah aplikasi di Kota Bandung yang aktif sebanyak 236 aplikasi, terdiri dari 148 aplikasi layanan publik dan 88 aplikasi administrasi pemerintahan. Dari 148 aplikasi layanan publik telah diintegrasikan 50 aplikasi. Sedangkan dari 88 aplikasi administrasi pemerintahan telah terintegrasi 36 aplikasi.
Tidak disebutkan berapa aplikasi di kota yang mengklaim smart city yang tidak aktif. Proses integrasi aplikasi-aplikasi pun mengalami perubahan dari satu aplikasi ke aplikasi lain. Semula, dari tahun 2018 sampai dengan tahun 2022 integrasi manajemen pertukaran data dengan menggunakan aplikasi Mantra. Namun, sejak tahun 2023, pertukaran data yang semula menggunakan Mantra harus beralih ke sistem yang baru yaitu Sistem Penghubung Layanan Pemerintah (SPLP) yang masih dikembangkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Sistem tersebut diklaim telah menggunakan teknologi terbaru, dan server dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Infomatika Republik Indonesia.
"Dengan beralihnya teknologi dari Mantra ke SPLP maka seluruh integrasi sistem yang ada di Kota Bandung baik internal perangkat daerah, antarperangkat daerah maupun dengan lembaga vertikal wajib menggunakan Sistem Layanan Penghubung Pemerintah (SPLP)," terang Ayi, dikutip dari siaran pers, Senin (15/5/2023).
Ia berharap seluruh aplikasi di perangkat daerah dapat segera diintegrasikan untuk mempermudah layanan kepada masyarakat salah satunya melalui superapps yang dikembangkan Diskominfo.
"Ke depan tantangan kita yakni pengembangan data warehouse dan aplikasi superapps yang sedang dikerjakan oleh Diskominfo menjadi tanggung jawab bersama terutama dalam penyediaan data yang dibutuhkan dari seluruh perangkat daerah," ujarnya.
Setali Tiga Uang dengan Pemprov Jabar
Sama dengan Pemkot Bandung, Pemprov Jabar memiliki banyak aplikasi. Sebagai contoh, pada 2021 lalu Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil meluncurkan tujuh aplikasi guna meningkatkan performa birokrasi Pemda Provinsi Jawa Barat, yakni e-Kartu, e-Pensiun, e-Pangkat, e-Mutasi, e-KGB, e-Fungsional, e-Cuti.
Ketujuh aplikasi tersebut melengkapi 26 aplikasi digital lain yang menunjang kerja aparatur sipil negara (ASN). Dengan demikian, Pemda Provinsi Jabar memiliki 33 aplikasi dengan lebih dari 1.000 fitur yang masuk dalam ekosistem Jabar SMART Birokrasi yang merupakan sistem informasi manajemen ASN terintegrasi dengan birokrasi berbasis digital.
"Jadi hari ini ada tujuh aplikasi layanan kepegawaian melengkapi 26 yang sudah duluan. Ini menandakan satu tantangan satu aplikasi. Ini komitmen kita menjadikan ASN Jabar juara yang terwujud oleh sebuah revolusi digital," ujar Ridwan Kamil, dikutip dari laman resmi.
Aplikasi digital diharapkan bisa menjawab persoalan yang dihadapi pemerintahan daerah. Setiap satu persoalan dijawab dengan satu aplikasi. Masalah baru muncul jika masing-masing aplikasi tersebut tidak terintegrasi sehingga nantinya dibutuhkan superaplikasi untuk mewadahi aplikasi-aplikasi yang jalan sendiri-sendiri, seperti yang ingin dilakukan Sri Mulyani, Pemkot Bandung, dan mungkin juga Provinsi Jawa Barat.
Sementara pembuatan aplikasi tentu tidaklah gratis, semuanya butuh biaya. Sebagai gambaran, pada 2018 dan 2017 lelang terkait aplikasi yang dilakukan Pemkot Bandung di laman LPSE Kota Bandung terdapat 18 jenis lelang baik yang selesai maupun gagal. Nilai pagu masing-masing lelang pengadaan dan konsultasi aplikasi tersebut mencapai ratusan juta rupiah yang bersumber dari APBD.
Baca Juga: Bandung Lautan Reklame, Pajaknya Nyangkut ke Mana?
Buntut dari Kasus Sel Nyaman, Ombudsman Jawa Barat Mendorong Rutan dan Lapas di Jawa Barat Memperkuat Pengawasan Internal
Taman-taman di Kota Bandung Memerlukan Perawatan secara Profesional
Banyak Aplikasi tidak semakin Bagus
Asisisten Profesor Studi Organisasi Universitas Indonesia Kanti Pertiwi dalam artikel “Riset Ungkap Mengapa Birokrat Ciptakan Aplikasi Layanan Publik yang Dianggap Boros dan Nirfaedah” menganalisa fenomena latahnya pemerintah dan birokrasi membikin aplikasi.
Menurut Kanti, fenomena tersebut tidak lepas dari tuntutan reformasi birokrasi yang berorientasi pada new public management, yakni menjadikan sektor publik lebih efektif dan efisien dengan mengadopsi berbagai konsep dan praktik dari sektor swasta.
Salah satu inisiatif yang lahir dari prinsip new public management, tulis Kanti, adalah “satu institusi, satu inovasi” yang diluncurkan pada tahun 2013 oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) sebagai langkah peningkatan kualitas pelayanan publik.
Namun Kanti melihat ada pemahaman yang sempit terhadap konseptualisasi inovasi. Para birokrat memaknai inovasi sebagai ‘aplikasi digital’, karena dalam panduan reformasi birokrasi memang terdapat penekanan pada tujuan “mempermurah, mempermudah, dan mempercepat layanan publik”.
Gagasan tersebut lalu menyebar melalui berbagai medium dan forum pelatihan. Kanti mencatat setiap tahun, setidaknya ada 112 ribu peserta pelatihan dasar dan 2.000 peserta diklatpim dari instansi pemerintahan di seluruh Indonesia. Laporan aktualisasi CPNS dan diklatpim tidak lepas dari nuansa dorongan adanya perubahan yang mengedepankan teknologi informasi.
“Konsekuensinya, para CPNS dan PNS terdorong memproduksi aplikasi-aplikasi digital hanya demi memenuhi syarat kelulusan pelatihan-pelatihan di atas,” tulis Kanti, dikutip dari theconversation.com.
Kanti menyatakan, sempitnya pemaknaan inovasi seperti ini kemudian memunculkan paradoks. Di satu sisi, inovasi melalui penciptaan aplikasi digital bertujuan memberikan pelayanan yang mudah dan murah. Di sisi lain, ribuan aplikasi yang diciptakan telah menimbulkan pemborosan keuangan negara, ini yang menjadi keluhan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Di samping itu, Kanti juga menyoroti layanan publik kerap diukur dengan kriteria kaku dan bersifat kuantitatif. Ketika berbicara layanan publik, birokrasi seakan didorong untuk menciptakan sesuatu yang bisa dihitung, disajikan secara visual dan diseremonikan, seperti membuat aplikasi-aplikasi digital.
Kementerian yang menaungi reformasi birokrasi pun senang merayakan kenaikan kuantitatif jumlah inovasi yang diproduksi oleh para birokrat setiap tahunnya dengan menggelar acara tahunan kompetisi inovasi pelayanan publik.
“Jarang ada yang mengkritisi apakah inovasi yang mereka ciptakan itu sesuai dengan kebutuhan nyata institusi dan masyarakat, serta bagaimana kebermanfaatan dan kesinambungannya,” tulis Kanti.
Jadi, masih berpikir banyak aplikasi semakin bagus?