MAHASISWA BERSUARA: Miskonsepsi Jalan Tol di Indonesia
Jalan tol yang dibangun guna mempercepat perjalanan pada kenyataannya sering terjadi kecelakaan dan kemacetan yang justru menghambat mobilitas. Ada yang salah?
Thedrick Limindinata
Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
30 Mei 2024
BandungBergerak.id – Pembangunan jalan tol adalah proses pembangunan infrastruktur jalan raya yang dirancang khusus untuk menghubungkan dua atau lebih titik secara cepat dan efisien. Menurut Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005, jalan tol merupakan jalan umum yang menjadi bagian sistem jaringan jalan dan juga sebagai jalan nasional yang penggunaannya diwajibkan membayar tol. Tarif tol berbeda-beda untuk setiap jenis kendaraan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Jalan tol yang dikenal dengan jalan bebas hambatan memiliki beberapa kelebihan dibandingkan jalan biasa atau non-tol. Jalan tol, yang juga dikenal sebagai jalan bebas hambatan, memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan jalan biasa atau non-tol. Dibandingkan dengan jalan biasa, jalan tol dapat mengurangi waktu tempuh karena minimnya kebutuhan untuk berhenti dan menunggu saat melewati persimpangan yang menyebabkan banyak waktu terbuang. Selain itu, Jalan tol memungkinkan arus kendaraan bergerak tanpa hambatan karena tidak ada persimpangan atau perpotongan yang mengganggu.
Dalam konteks transportasi darat, jalan bebas hambatan berperan penting dalam meningkatkan mobilitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan perekonomian. Hal ini disebabkan oleh kelancaran arus kendaraan yang keluar masuk dari suatu daerah ke daerah lain harus memenuhi semua kebutuhan barang dan jasa antar wilayah. Oleh karena itu, pemerintah membangun jalan tol guna memberikan pelayanan berupa kelancaran arus kendaraan tanpa ada hambatan.
Baca Juga: Kecelakaan Maut di Jalan Tol Jadi Perhatian UGM dan ITB
Kemacetan dan Krisis Lingkungan di Balik Pembangunan Tol Gedebage (Cigatas)
Membangun Tol Dalam Kota Bandung, Mundur Dua Dekade
Apa Kata Data?
Pengemudi, kendaraan, dan jalan merupakan tiga elemen yang saling berhubungan dengan operasi lalu lintas untuk meningkatkan keamanan lalu lintas. Di tengah tujuan dibangunnya jalan tol untuk menyediakan jalur bebas hambatan guna mempercepat perjalanan, kenyataannya sering kali justru terjadi kecelakaan dan kemacetan yang menghambat mobilitas. Yang menarik, akar permasalahan ini tidak terletak pada desain jalan tol itu sendiri, melainkan pada perilaku pengguna jalan tol. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat data yang dikeluarkan oleh PT Jasa Marga dari tahun ke tahun.
Kecelakaan lalu lintas tidak terjadi secara kebetulan, namun beberapa faktor penyebab kecelakaan penting untuk dikaji agar upaya preventif dapat dilakukan. Sehingga, diketahui sebagian besar kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh kesalahan manusia, yakni pengemudi. Tercatat dari tahun 2019 hingga tahun 2021, sebanyak 1.922 kecelakaan terjadi di Ruas Jalan Tol Jagorawi, Jakarta-Cikampek, dan Cawang-Tomang-Cengkareng dengan 1.655 kecelakaan di antaranya disebabkan oleh pengemudi. Selama tiga tahun telah terjadi setidaknya satu hingga dua kecelakaan yang di mana 86% penyebabnya adalah kesalahan pengemudi.
Meskipun jalan tol dirancang sebagai jalan bebas hambatan untuk memperlancar arus lalu lintas, bukan berarti pengemudi dapat mengabaikan peraturan yang telah ditentukan. Miskonsepsi umum yang sering terjadi adalah jalan tol dapat digunakan tanpa perlu memperhatikan batas kecepatan, aturan penggunaan lajur, dan aturan keselamatan lainnya. Setiap aturan yang diberlakukan bertujuan untuk melindungi setiap pengguna jalan tol. Pengemudi harus mematuhi peraturan yang berlaku karena mengemudi di jalan tol memiliki perbedaan tertentu dibandingkan dengan mengemudi di jalan raya biasa. Banyak pengemudi yang tidak memperhatikan aturan, sehingga perilaku mereka di jalan tol dapat meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas. Mengurangi kesalahan pengemudi di jalan tol, risiko kecelakaan dapat ditekan seminimal mungkin.
Menggali Akar Permasalahannya
Tingkat kecelakaan yang disebabkan oleh kesalahan pengemudi menyoroti adanya miskonsepsi yang masih bertahan. Undang-undang, bersama dengan peraturan pemerintah dan peraturan menteri, mengatur etika berkendara yang baik di jalan tol. Sebagai contoh, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah menetapkan batasan kecepatan yang harus diikuti, yang diperinci lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 111 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Batas Kecepatan. Batas kecepatan minimal yang diperbolehkan di jalan tol dalam kota adalah 60 kilometer per jam dengan maksimum kecepatannya adalah 80 kilometer per jam, sedangkan di jalan tol pada umumnya batas kecepatan minimal yang diperbolehkan adalah 60 kilometer per jam dengan maksimum kecepatannya adalah 100 kilometer per jam. Saat berkendara di tol dalam kota, batas kecepatan yang diberlakukan biasanya lebih rendah karena keterbatasan ruang terbuka.
Memacu mobil dengan kecepatan tinggi sangat berisiko karena dapat menyebabkan kehilangan kendali dan meningkatkan potensi kecelakaan. Pengaturan batas kecepatan pada jalan tol telah melalui analisa lalu lintas dan desain geometrik jalan. Sehingga ketika suatu melaju melebihi kapasitas desain, maka kerusakan baik pada lapisan aspal ataupun pada kendaraannya sendiri akan lebih cepat terjadi.
Kesalahan lain yang sering dilakukan oleh pengemudi adalah menyalip melalui bahu jalan saat terjadi kemacetan. Jalan tol memang dirancang sebagai jalan bebas hambatan, tetapi menyalip melalui bahu jalan adalah tindakan yang tidak benar. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005, bahu jalan seharusnya digunakan hanya untuk keadaan darurat, seperti kendaraan yang mengalami kerusakan atau untuk kendaraan darurat seperti ambulans. Menyalip melalui bahu jalan tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga berbahaya karena bahu jalan secara teknis tidak dirancang untuk menampung kecepatan dan volume beban yang tinggi.
Banyak yang mengira bahwa larangan penggunaan bahu jalan hanya sebatas peraturan saja, namun pada kenyataannya, bahu jalan memang dirancang menggunakan spesifikasi atau material yang berbeda dengan lajur utama. Sebagai contoh, bahu jalan umumnya memiliki perkerasan yang lebih rendah dibanding dengan lajur utama. Hal ini membuat bahu jalan cenderung lebih licin dibanding lajur utama. Selain itu, walau tidak terlihat secara langsung, jalan tol didesain dengan kemiringan tertentu untuk mengalirkan air dari lajur utama menuju bahu jalan. Desain ini berpotensi menyebabkan hilangnya kendali pada kendaraan, terutama dalam kondisi cuaca buruk. Oleh karena itu, penggunaan bahu jalan untuk menyalip sangat berisiko dan dapat mengakibatkan kecelakaan.
Selain itu, masih ada kesalahan-kesalahan yang digolongkan sebagai faktor internal. Faktor internal dianggap berasal dari dalam diri pengemudi yang mempengaruhi perilaku mereka saat mengemudi. Contohnya meliputi keterampilan dalam mengemudi, kepribadian, sikap, dan tingkat kelelahan. Jalan tol memungkinkan pengemudi untuk berkendara dengan lebih cepat dan lancar. Namun, hal ini tidak berarti pengemudi bisa mengabaikan keselamatan yang datang dari dirinya sendiri dan dapat berdampak bagi pengemudi lainnya. Kelelahan dan rasa kantuk pada pengemudi dapat menyebabkan penurunan kesiagaan dan perhatian, gangguan persepsi, serta waktu reaksi yang lebih lambat, yang dapat membuat pengemudi mengantuk dan kehilangan kewaspadaan. Pentingnya kesadaran akan kelelahan ini diperkuat oleh fakta bahwa jalan tol sendiri telah dilengkapi dengan rest area yang bertujuan untuk memberikan pengemudi kesempatan untuk beristirahat.
Edukasi Melawan Miskonsepsi Jalan Tol
Akhir kata, jalan tol pada hakikatnya dibangun untuk mempercepat waktu perjalanan dan meningkatkan mobilitas masyarakat dengan menyediakan jalur khusus yang bebas dari hambatan. Namun, tingginya jumlah kecelakaan yang terjadi mengindikasikan adanya miskonsepsi di masyarakat tentang penggunaan jalan tol. Meskipun jalan tol dibangun untuk menjadi solusi, masih ada tantangan yang harus dihadapi, terutama dengan keselamatan pengguna jalan. Kecelakaan yang sering terjadi di jalan tol menunjukkan perlunya kesadaran akan pentingnya mematuhi aturan lalu lintas dan menghindari perilaku berisiko. Keleluasaan dalam berkendara yang disediakan tetap harus membuat pengemudi mematuhi aturan-aturan keselamatan yang telah ditetapkan.
Kecelakaan yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh kesalahan pengemudi. Faktor- faktor seperti kesadaran pengemudi dan kepatuhan terhadap aturan lalu lintas berperan dalam menyebabkan kecelakaan. Dengan demikian, peran pengemudi dalam menjaga keselamatan di jalan tol menjadi sangat penting untuk mengurangi risiko kecelakaan dan kemacetan yang dapat mengganggu kelancaran arus lalu lintas. Selain itu, diperlukan pendekatan yang komprehensif yang melibatkan edukasi, penegakan hukum yang ketat, serta upaya untuk meningkatkan infrastruktur dan keselamatan di jalan tol. Jalan tol dapat menjadi apa yang seharusnya: sebuah jalur yang aman, efisien, dan nyaman bagi semua pengguna jalan.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel lain tentang Mahasiswa Bersuara