Kecelakaan Maut di Jalan Tol Jadi Perhatian UGM dan ITB
Empat faktor yang menjadi penyebab kecelakaan maut di jalan tol, yaitu pengemudi, kendaraan, lingkungan jalan, dan cuaca.
Penulis Iman Herdiana8 November 2021
BandungBergerak.id - Perhatian publik tanah air akhir-akhir ini tersita pada kasus kecelakaan yang terjadi jalan tol. Kasus kecelakaan ini juga menjadi perhatian perguruan tinggi, antara lain, Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Dari pendapat para pakar di kedua kampus ini, bisa dipelajari bagaimana kecelakaan terjadi dan cara-cara menghindarinya.
Perlu diketahui, kecelakaan maut menewaskan suami istri Vanessa Angel dan Bibi Andriansyah di Tol Nganjuk Surabaya, Jawa Timur, Kamis (4/11/2021) siang. Masih di hari yang sama, Dekan Fakultas Universitas Gajah Mada (UGM), I Gede Suparta Budisatria, juga mengalami kecelakaan maut di Tol Cipali.
Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Iwan Puja Riyadi, menyebut empat faktor yang menjadi penyebab kecelakaan di jalan bebas hambatan, yaitu faktor pengemudi, faktor kendaraan, faktor lingkungan jalan, dan faktor cuaca. Ada kalanya kecelakaan di jalan tol terjadi karena gabungan dari berbagai faktor ini.
“Kecelakaan yang terjadi pada umumnya tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan hasil interaksi antarfaktor,” jelas Iwan Puja Riyadi, seperti dikutip dari laman resmi UGM, Senin (8/11/2021).
Faktor pengemudi yang bisa menjadi penyebab kecelakaan misalnya kondisi pengemudi yang mengantuk, tidak fokus, atau kelelahan, menyetir di bawah pengaruh obat-obatan, narkotika, atau alkohol, atau menyetir sambil melihat gawai baik handphone atau tablet.
Kesalahan juga bisa terletak pada pengemudi yang belum fasih atau bahkan belum bisa menyetir, ataupun melakukan kesalahan bereaksi saat menyetir, baik panik atau reaksi yang terlalu lambat.
“Hal yang penting adalah mengutamakan konsentrasi penuh sang pengemudi sebelum berkendara,” kata Iwan.
Seorang pengemudi yang berkendara di jalan bebas hambatan harus mampu mengontrol laju kendaraan, sebab selama ini banyak kecelakaan terjadi lantaran pengemudi melajukan mobilnya melebihi batas kecepatan yang diperbolehkan sehingga kehilangan kendali.
Meski melaju di jalan bebas hambatan, bukan berarti seorang pengemudi bisa bebas melajukan kendaraannya melampaui batas kecepatan yang telah ditentukan.
“Batasan tersebut tentunya sudah melalui diperhitungkan agar aman saat dilintasi kendaraan. Jalan tol merupakan jalan bebas hambatan dan bukan jalan di mana pengemudi dengan bebas memacu kecepatan,” ucapnya.
Pengemudi harus menyesuaikan kecepatan kendaraan dengan lajur yang dipilih, dan menggunakan lajur sesuai peruntukannya. Pengendara juga harus bisa memperkirakan dan menjaga jarak aman dengan kendaraan lain agar bisa menghindar jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan di depannya.
Iwan mengingatkan bahwa bahu jalan di jalan tol tidak diperuntukkan sebagai tempat berhenti atau bahkan beristirahat. Pengemudi tidak seharusnya menepikan kendaraan atau berhenti di bahu jalan jika memang tidak sedang dalam kondisi darurat.
Selain faktor pengemudi, faktor kendaraan seperti kondisi mesin, rem, lampu, ban, dan muatan bisa menjadi penyebab kecelakaan, demikian halnya faktor cuaca berupa kondisi hujan, kabut, atau asap.
Faktor lainnya, kata Iwan, adalah lingkungan jalan yang di antaranya berupa desain jalan seperti median, gradien, alinyemen, dan jenis permukaan, ataupun kontrol lalu lintas seperti marka, rambu, dan lampu lalu lintas.
Pembangunan jalan tol, terangnya, mengacu pada ketentuan yang telah ditetapkan, dan memenuhi kaidah jalan berkeselamatan.
“Konsep desain jalan berkeselamatan adalah bahwa seluruh sistem lalu lintas jalan disesuaikan dengan keterbatasan atau kemampuan manusia sebagai pengguna jalan, tujuannya untuk mencegah terjadinya tabrakan yang melibatkan elemen infrastruktur jalan,” papar Iwan.
Pencegahan Kecelakaan di Jalan Tol
Untuk mengurangi kejadian kecelakaan, pencegahan dan keselamatan lalu lintas dapat dilakukan melalui beberapa aspek, baik berupa aspek rekayasa, aspek pendidikan, dan aspek hukum.
Pada aspek rekayasa, hal yang bisa dilakukan antara lain penyediaan dan pengembangan tempat istirahat, pemeliharaan jalan dan prasarananya, pemasangan rumble stripe, merapatkan jarak antar guide post, pemasangan marka, pemasangan warning light atau lampu flip flop, pemasangan rambu, dan pembatasan kecepatan.
Namun, menurut Iwan, penyebab utama kecelakaan adalah manusia. Sehingga aspek memperbaiki perilaku pengendara sangat penting, yang dapat dimulai dari pendidikan di sekolah, melalui himbauan, dan juga pelatihan.
“Ujian keterampilan harus dilakukan di lapangan dan mengerti arti dari rambu-rambu lalu lintas. Surat Izin mengemudi (SIM) hanya diberikan kepada orang yang benar-benar mampu dan terampil serta santun dalam mengendarai kendaraan, umur sesuai dengan ketentuan, dan kesehatan yang prima,” terangnya.
Diperlukan pula sosialisasi peraturan yang ada dan diberlakukan dengan arif serta seksana sehingga tidak terjadi pelanggaran lalu lintas. Masyarakat taat pada hukum bukan karena ada polisi tetapi atas kesadaran sendiri demi keselamatan, penegakan hukum juga harus dilakukan agar ada efek bagi pelanggar lalu lintas.
Baca Juga: DAMRI Bandung Berhenti, Kepentingan Umum Tercederai
DAMRI Bandung, Harapan Tinggal Kenangan
Di DAMRI Kenangan itu Terpatri
Pemkot Bandung tak bisa Mengisi semua Rute DAMRI
Pengembangan Transportasi Publik di Bandung Membutuhkan Konsistensi
Kegagalan Mengidentifikasi Penyebab Kecelakaan di Indonesia
Analisa Iwan Puja Riyadi dari UGM senada dengan ulasan anggota Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Achmad Wildan, dalam kuliah umum tentang “Isu Keselamatan pada Aspek Geometrik Jalan”, Senin (11/1/2021).
Pada kuliah umum yang diselenggrakan oleh Prodi Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) itu terungkap bahwa ada tiga poin penting mengapa suatu kecelakaan bisa terjadi. Pertama, pengemudi tidak mampu mengendalikan kendaraannya. Kedua, pengemudi tidak mampu memahami jalan dan lingkungannya, dan ketiga, pengemudi tidak mampu memahami gerakan pengguna jalan lain.
Achmad mengulas konsep keselamatan berkendara yang artinya terhindarnya pengemudi dari risiko dan bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan. Untuk memastikan keselamatan berkendara tercapai, pihak pembuat program keselamatan haruslah mampu mengidentifikasi risiko dan hazard yang ada untuk menghindarkan pengemudi dari bahaya yang dapat menimbulkan kecelakaan.
“Kita harus mampu memetakan apa itu hazard-nya? Bagaimana risikonya? Kemudian menentukan metode yang paling tepat untuk menghilangkan hazard dan risiko,” ucap Achmad Wildan.
Namun masalah terbesar dari isu keselamatan jalan di Indonesia adalah tidak diketahuinya risiko yang dihadapi di jalan. Menurutnya, program keselamatan jalan di Indonesia (RUNK, dll) belum berfokus pada penyelesaian hazard yang ada. Selama ini tindakan pencegahan kecelakaan di Indonesia terlalu berpatok pada intensitas terjadinya kecelakaan, namun gagal mengidentifikasi penyebab kecelakaan tersebut.
Pengurangan risiko kecelakaan dan pencegahan hazard dapat dilakukan dengan menerapkan konsep Jalan Berkeselamatan. Ada tiga sekuensi dari Jalan Berkeselamatan, yaitu Regulating Road, Self-Explaining Road, dan Forgiving Road.
Regulating Road berarti jalan memenuhi kaidah dan norma geometrik, seperti penampang melintang jalan, alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal. Hal ini dilakukan untuk sebisa mungkin menghilangkan hazard yang dihadapi oleh pengendara. Jalan yang sudah memenuhi regulasi tersebut memanglah masih memiliki hazard, tetapi risiko terjadinya kecelakaan telah sangat diminimalisir.
Self-Explaining Road berarti jalan yang mampu menjelaskan kondisi jalan terhadap pengemudi dengan bantuan rambu-rambu peringatan sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya kecelakaan. Hal ini dilakukan dengan menyiapkan pengemudi dengan hazard yang mungkin akan ditemui karena kondisi jalan yang sub-standard. Rambu yang dipasang haruslah mampu menyampaikan kepada pengemudi hazard ada dan apa yang harus dilakukan oleh pengemudi.
Forgiving Road berarti jalan mampu “memaafkan” pengguna jalan yang mengalami kecelakaan sehingga tingkat fatalitas yang dihasilkan akan lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan menambahkan jalur penyelamat dan palang pembatas jalan.