Bandung Butuh Pemimpin Seperti Apa?
Pengalaman memiliki pemimpin yang koruptif membuat warga Bandung harus lebih kritis-analitis dalam menilai sepak terjang calon wali kotanya.
Akbar Malik
Penulis dan warga Bandung
30 Mei 2024
BandungBergerak.id – Pilkada serentak akan dihelat November 2024. Artinya, kurang lebih enam bulan lagi. Bukan waktu yang lama untuk mempersiapkan pagelaran demokrasi akbar di masing-masing daerah.
Ikat pinggang sudah mulai dikencangkan oleh mereka yang hendak maju berkontestasi di Pilwalkot Bandung. Nama-nama sudah bermunculan. Baliho, poster, dan pernak-pernik kampanye “cek ombak” sudah tayang di banyak ruas jalan di Bandung.
Silakan sebut saja nama partai secara sembarang. Hampir setiap partai sudah menyiapkan nama kadernya untuk bertarung di Pilwalkot Bandung. Belum lagi mereka yang berniat maju dari jalur independen, beberapa nama sudah berani mendeklarasikan diri sebagai bakal calon wali kota Bandung.
Menarik untuk dinantikan. Apa gagasan yang hendak mereka bawa dan gaungkan di Bandung?
Baca Juga: Data Tingkat Partisipasi Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandung 2008-2024: Terendah Tahun 2013
Darurat Sampah Menjadi Pekerjaan Rumah Besar Penjabat Wali Kota Bandung
Menakar Sosok Wali Kota Bandung 2024-2029
Kota Romantis yang Problematis
Sebagai masyarakat, kita perlu lebih kritis mempelajari apa yang mereka tawarkan. Pasalnya kita mafhum, kalau Bandung adalah kota kita semua. Kota kita tumbuh besar dengan segala atribusi pada Bandung: kota kreatif, fesyen, pendidikan, kuliner, pariwisata, komunitas anak muda, dan semacamnya.
Berbagai stempel baik menempel pada Bandung. Namun, jika hendak diselisik lebih dalam pada realitas kota hari ini, apakah semua “branding” itu benar-benar kita rasakan?
Dengan lugas, saya menyatakan tidak. Bandung barangkali memang selalu cocok untuk diromantisasi, dibuat konten uwu-uwu ala anak muda. Satu sisi, itu baik, untuk meningkatkan citra Bandung sebagai kota yang ramah, asyik, teduh, dan menenangkan.
Tapi, jangan sampai konten-konten itu menenggelamkan masalah-masalah yang ada. Sehingga masyarakat kota seolah-olah dininabobokan oleh konten romantisasi, tapi lupa pada esensi pembangunan kota.
Di balik Bandung yang romantis, kota ini juga memiliki sejumlah masalah yang amat problematis. Sebut saja transportasi publik, premanisme dan tagihan parkir ilegal yang mahal, ekonomi kreatif yang belum di mana dengan optimal, dan lain sebagainya.
Dengan segudang masalah yang dimiliki, Bandung membutuhkan pemimpin dengan visi kuat, gagasan cemerlang, berani, kreatif, dan action-oriented. Semua transformasi kota perlu dibangun oleh pemimpin yang “extraordinary”, tidak sekadar memimpin hanya karena menjalankan amanah politik.
Kita punya pengalaman pemimpin yang koruptif. Dan dampaknya sangat terasa pada bagaimana kota dijalankan. Awut-awutan. Serampangan. Tidak responsif. Banyak masalah publik yang dibiarkan.
Saya punya rumus sederhana untuk menilai kepemimpinan kota: bila kota acak-acakan dan amat terasa tidak ada leadership-nya, periksa saja jajaran pejabatnya; pasti ada sesuatu yang bocor. Dan ternyata terbukti.
Beberapa waktu lalu, Bandung “digoyang” oleh sejumlah masalah yang itu-itu saja, mulai dari jalan berlubang hingga sejumlah lampu jalan yang mati dan membuat gelap. Padahal itu persoalan fisik yang relatif bisa diselesaikan dengan taktis, tapi nihil respons. Akhirnya, pemimpin kita ditangkap dan harus mengenakan rompi oranye.
Pengalaman memiliki pemimpin yang koruptif membuat kita harus lebih kritis-analitis dalam menilai sepak terjang cawalkot Bandung. Partainya apa, karyanya di masa lalu apa, bagaimana bentuk kepeduliannya kepada Bandung jauh sebelum ia mencalonkan, hingga apa tawaran gagasannya untuk masa depan Bandung.
Lantas, Bandung butuh pemimpin seperti apa?
Bandung butuh pemimpin yang berani menerobos batas-batas kekakuan dalam kepemimpinan. Artinya, Bandung tidak boleh dipimpin oleh wali kota yang hanya memahami persoalan teknis dan administratif, tapi lebih dari itu harus kreatif menata kota dengan pendekatan seni dan kebudayaan.
Pasalnya Bandung kota kreatif. Dan mungkin belakangan kita mulai kehilangan sentuhan kreativitas itu. Maka, mari kita coba embuskan kembali napas tersebut, bahwa Bandung benar-benar kota kreatif yang harus dipimpin oleh wali kota kreatif.
Pertama, kreatif. Begitu banyak anak muda kritis dan kreatif, belum lagi mereka para seniman dan budayawan yang terus berkegiatan. Tapi, kalau kita bertanya sedikit saja: sekarang, bila hendak menyaksikan pertunjukkan seni, kita harus ke mana? Saung Angklung Udjo? Dago Tea House?
Tidak bermaksud menihilkan upaya seniman dan budayawan dalam upaya ngamumule budaya, tentu, saya hanya berusaha memaparkan realitas.
Saya yakin, pasti ada kegiatan seni yang rutin diadakan. Tapi, apakah kemudian hal itu jadi top of mind masyarakat Bandung khususnya anak muda? Saya rasa tidak. Anak muda lebih senang nangkring di kafe estetik sambil membicarakan berita-berita pop.
Apakah itu buruk? Tidak juga. Bagus untuk sirkulasi ekonomi kota, khususnya UMKM. Tapi, kemudian kita bertanya-tanya: kalau begitu, apa jati diri Bandung sekarang? Benarkah masih jadi kota kreatif?
Mencari Pemimpin untuk Bandung
Semoga tulisan ini bisa dibaca para cawalkot. Agar mereka punya gambaran dan grand design tentang rancangan branding Bandung di masa depan.
Kedua, berani. Barangkali Bandung “dipegang” banyak pihak. Banyak orang berkepentingan yang ingin turut melancarkan agendanya di kota ini. Bagaimana tidak? Bandung, bagaimanapun, adalah salah satu kota tercantik di Indonesia. Daya tarik Bandung masih jadi magnet bagi wisatawan lokal maupun internasional.
Oleh karena itu, tidak heran apabila banyak yang ingin mengambil kue di Bandung. Dan karena itulah barangkali banyak program yang seharusnya bisa langsung dirasakan masyarakat sedikit-banyak terganggu fokusnya karena “agenda-agenda” banyak tangan.
Saya tidak terlalu paham, tapi saya merasakannya betul. Maka, butuh pemimpin dengan political will yang kuat. Kehendak dan kuasa politik yang kuat untuk meredam dan membuat “para tangan” itu kikuk dan bisa dikontrol.
Ketiga, transformatif. Bandung merindukan perubahan. Barangkali perubahan tata letak kota sudah dilakukan oleh Kang Emil di masa kepemimpinannya pada 2013-2018. Tapi, apakah itu cukup dan bisa terpelihara dengan baik pasca beliau turun jabatan?
Saya agak ragu. Tapi, satu hal yang pasti, Bandung membutuhkan pemimpin transformatif yang punya visi dan gagasan yang jelas. Akan dibuat seperti apa Bandung di bawah kepemimpinannya? Dalam lima tahun masa jabatan, akan membuat program apa saja, siapa saja penerima manfaatnya, dan isu apa saja yang hendak disasar sebagai prioritas?
Apakah sistem transportasi publik, ekonomi kreatif, seni dan budaya, penataan ruang publik, atau apa? Saya paham, semuanya urgen. Tapi, dalam lima tahun, mustahil seluruh persoalan akan selesai. Maka dari itu, perlu ada rancangan prioritas, sehingga masyarakat paham dan tahu hendak diperlakukan seperti apa Bandung dalam kepemimpinan yang bersangkutan.
Keempat, kolaboratif. Alam demokrasi hari ini menuntut kepemimpinan kolaboratif. Gaya kepemimpinan dengan tangan besi sudah tidak relevan, begitu juga “kepala batu” yang segala kebijakan diputuskan sendiri tanpa mendengar aspirasi.
Kepemimpinan hari ini, khususnya di Bandung, harus kolaboratif. Kebijakan disusun setelah mendengarkan aspirasi, mempertimbangkan banyak aspek dan kepentingan, dan berusaha menautkan benang merah setiap persoalan.
Bandung kota yang relatif unik dibandingkan kota-kota lain di Jawa Barat. Pertama, tentu, ibu kota provinsi. Kedua, episentrum aktivitas ekonomi dan sosial budaya. Maka, berdiskusi dengan para usahawan, seniman, budayawan, dan anak muda harus rajin dilakukan.
Kreatif, berani, transformatif, dan kolaboratif. Saya rasa empat saja dulu sebagai nilai dan karakter dasar kepemimpinan di Bandung. Khawatir bila lebih dari itu berekspektasi terlalu tinggi dan nanti patah seperti yang sudah-sudah.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang pemilu