UKT Batal Naik, Sekadar Omon-Omon Belaka?
Rencana kenaikan Uang Kuliah Tunggal menuai protes massal dari mahasiswa. Tak terkecuali di Bandung. Pemerintah kemudian menunda kebijakan tidak populis ini.
Penulis Linda Lestari1 Juni 2024
BandungBergerak.id - Rencana Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) menimbulkan kegaduhan di dunia pendidikan. Mahasiswa di berbagai kampus melakukan protes dan demonstrasi menolak kenaikan UKT. Penundaan kenaikan tarif kuliah disinyalir hanya pernyataan populis untuk meredam kegaduhan.
Bagaimana respons mahasiswa terhadap kebijakan kenaikan UKT? BandungBergerak berkolaborasi dengan komunitas KawanBergerak menggelar live Instagram “UKT Nggak Jadi Naik, Beneran atau Sekadar Omon-omon?”. Live Instagram ini menghadirkan mahasiswa dari beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Bandung, antara lain Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis (LPPMD) Unpad Cindy Veronica, perwakilan dari KM ITB Niki, dan aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung M. Rafi Saiful Islam.
Diketahui, kebijakan UKT tidak lepas dari status yang disandang Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yaitu Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Dengan status ini, PTN memiliki otonomi penuh dalam mengelola keuangan dan sumber daya, termasuk dosen dan tenaga kependidikan (tendik). Laman Kemendikbud menjelaskan, status PTN BH mirip perusahaan BUMN yang memiliki kontrol penuh atas aset dan keuangan mereka sendiri, seperti menentukan kuota jalur mandiri atau jalur komersil.
Universitas Padjadjaran (Unpad) merupakan salah satu PTN dengan status PTN BH sejak 2014. Penetapan kampus negeri sebagai PTN BH dinilai sebagai bentuk lepas tangan pemerintah untuk memberikan otonomi akademik dan nonakademik, termasuk dalam menetapkan uang kuliah.
Cindy Veronica menjelaskan, penetapan UKT Unpad masih mengacu pada Keputusan Rektor tahun lalu, artinya belum ada penetapan mengenai tarif UKT pada tahun ajaran yang akan datang. Tarif UKT tertinggi ditempati oleh Program Studi Kedokteran, yakni sebesar 24 juta rupiah untuk jalur SNBP dan SNBT serta 20,5 juta rupiah untuk jalur mandiri dengan Iuran Pengembangan Institusi paling sedikit 195 juta rupiah.
Di samping itu, Cindy menjelaskan permasalahan kuota jalur mandiri Unpad yang semakin meningkat dari tahun 2019-2022. Dari sebanyak 18 persen pada 2019 meningkat pesat menjadi 40 persen pada 2022. Peningkatan ini menunjukkan bagaimana pihak universitas berusaha mencari dana sebanyak-banyaknya melalui jalur mandiri karena memiliki tarif UKT paling tinggi dan juga tambahan biaya IPI yang fantastis.
Permasalahan serupa terjadi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Perwakilan Keluarga Mahasiswa ITB Niki menyebut terdapat kenaikan UKT namun tidak begitu drastis. Niki mengatakan, pihaknya saat ini juga menyoroti pembayaran UKT ITB yang harus dilunasi pada saat pendaftaran ulang. Pada tahun-tahun sebelumnya ITB tidak pernah dilakukan kebijakan seperti ini.
Menurut Niki, tahun lalu mahasiswa baru ITB diperbolehkan untuk membayar UKT minimal 5 juta pada saat pendaftaran ulang, sedangkan pada tahun ini mahasiswa baru diwajibkan untuk melunasi UKT pada pembayaran pertama.
Kebijakan ini ditetapkan sebelum rilisnya Surat Dirjen mengenai pencabutan rekomendasi kenaikan UKT. Melalui survei yang dilakukan oleh KM ITB, terdapat banyak keluhan dari mahasiswa baru ITB angkatan 2024 terkait permasalahan pembayaran UKT ini. Sementara itu, pihak rektorat ITB masih belum memberikan pernyataan resmi terkait pembatalan kenaikan UKT tersebut.
“Dari ITB sendiri belum ada statement resmi, mau digimanain, apakah di-reimburse, atau gimana, tapi dari kami kabinet atau dalam waktu dekat akan melakukan tuntutan kepada ITB untuk statemen resmi terkait pembatalan kenaikan UKT,” tutur Niki.
Ia berharap pihak kampus dapat memberikan mekanisme pembayaran yang lebih jelas dan tidak memberatkan. ITB diharapkan lebih transparan dalam merumuskan kebijakan UKT. Kampus berlambang patung dewa ilmu pengetahuan ini juga diharapkan mempertimbangkan nasib mahasiswa baru agar bisa tetap melanjutkan kuliah.
Baca Juga: Menaikkan Uang Kuliah Tunggal, Melupakan Amanat Undang-undang
Cerita Barista Paruh Waktu Mahasiswa Bandung, Mandi Keringat Demi Tambahan Uang Kuliah
Haruskah Mahasiswa Indonesia Terjerat Pinjol Uang Kuliah seperti di Amerika Serikat?
Komersialisasi Pendidikan
Perwakilan dari LBH Bandung M Rafi Saiful Islam menyebut pembentukan PTN menjadi PTN BH adalah rangkaian dari kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan nasib rakyatnya. Status PTN BH menimbulkan implikasi kepada PTN untuk secara perlahan tidak mendapat dukungan pendanaan dari pemerintah. Implikasi lainnya adalah mereduksi kewajiban negara tentang memberikan akses pendidikan seluas-luasnya pada warga negara.
Dengan kata lain, status PTN BH mendorong kampus-kampus negeri melakukan komersialisasi pendidikan. Padahal anggaran pendidikan sudah tercantum dalam Anggaran Perencanaan Belanja Negara (APBN) sebesar 20 persen.
Rafi menyebut kenaikan UKT adalah kebijakan satu arah yang ditujukan untuk target pasar. Pencabutan kenaikan UKT juga disinyalir hanya pernyataan populis untuk meredam kegaduhan. Komersialisasi pendidikan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan pada Undang-Undang Dasar.
Rafi menegaskan, pendidikan tidak bisa dilepaskan pada mekanisme pasar. Jika hal ini dibiarkan, pendidikan ke depan akan terus bermasalah. “Ke depannya mungkin hanya beda presiden dan beda menteri pendidikannya saja, kebijakannya sama,” ucap Rafi.
Menimpali pernyataan tersebut, Cindy menyatakan idealnya PTN BH mencari dana sendiri dan tidak menggalang dana melalui mahasiswa. Namun realita berkata lain, orientasi perguruan tinggi kini tak jauh beda layaknya sebuah korporasi. Pemberian otonomi kepada kampus untuk mengelola keuangan sendiri mencerminkan sikap negara yang lepas tangan atas pendidikan di Indonesia. Ia juga menyebut adanya praktik kepentingan ekonomi politik yang lebih besar.
“Masuknya gelombang neoliberalisme ke Indonesia menyebabkan tanggung jawab negara berkurang di berbagai sektor layanan publik. Di sini masuknya pada bidang pendidikan, selain dari UKT, hal ini juga menyasar pada kualitas pendidikan,” timpal Cindy.
Sebelumnya, Senin, 27 Mei 2024 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikburistek) merilis Surat Dirjen Diktiristek Nomor 0511/E/PR.07.04/2024. Surat ini berisikan lima poin utama, pertama pembatalan dan pencabutan surat rekomendasi tarif UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) dan surat persetujuan tarif UKT dan IPI PTN tahun akademik 2024/2025.
Kedua, Surat Dirjen meminta Rektor PTN dan PTN BH untuk mengajukan kembali tarif UKT dan IPI tanpa kenaikan dari tarif tahun akademik sebelumnya dan sesuai dengan ketentuan batas maksimal dalam Peraturan Mendikbudristek (Permendikbudristek) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbudristek.
Poin ketiga, revisi Keputusan Rektor mengenai tarif UKT dan IPI tahun akademik 2024/2025 setelah mendapat surat rekomendasi atau persetujuan dari Dirjen Disistik. Keempat, memastikan tidak ada mahasiswa baru tahun akademik 2024/2025 yang membayar UKT lebih tinggi akibat dilakukannya revisi Keputusan Rektor tersebut. Kelima, kewajiban PTN dan PTN BH untuk menginformasikan mahasiswa baru sebelum melakukan pendaftaran ulang.
Dengan diterbitkannya Surat Dirjen ini, apakah kemudian sudah menjadi kemenangan bagi pendidikan di Indonesia? Nyatanya Presiden Joko Widodo menyebutkan kemungkinan kenaikan UKT akan direalisasikan tahun depan.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Linda Lestari, atau artikel-artikel lain tentang Uang Kuliah Tunggal