Menaikkan Uang Kuliah Tunggal, Melupakan Amanat Undang-undang
Biaya kuliah kian tak terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah. Dunia pendidikan menjauhi misi mencerdaskan kehidupan bangsa yang diamanatkan Undang-undang Dasar.
Penulis Iman Herdiana17 Mei 2024
BandungBergerak.id - Dunia pendidikan digaduhkan dengan kenaikan Uang Kuliah Tunggal di kampus-kampus Tanah Air. Sebelum kenaikan UKT pun biaya pendidikan sudah dikenal mahal, tak terakses oleh warga dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Pemenuhan amanat Undang-undang Dasar (UUD) kian jauh panggang dari api.
Di tengah biaya UKT yang memicu polemik, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengimbau perguruan tinggi agar bijak dan berkeadilan dalam menentukan UKT. Imbauan ini tentu sebatas imbauan karena masing-masing kampus memiliki otonomi untuk menentukan besaran ongkos kuliahnya.
Pelaksana tugas (Plt.) Sekretaris Ditjen Diktiristek Tjitjik Srie Tjahjandarie menjelaskan, penyelenggaraan pendidikan tinggi bersifat inklusif, artinya dapat diakses oleh berbagai lapisan masyarakat yang memiliki kemampuan akademis tinggi. Untuk itu dalam penetapan besaran UKT, pemerintah mewajibkan ada dua kelompok UKT yaitu UKT 1 dengan besaran lima ratus ribu rupiah dan UKT 2 dengan besaran satu juta rupiah.
Proporsi UKT 1 dan UKT 2 sebesar minimum dua puluh persen. Hal ini untuk menjamin masyarakat tidak mampu namun memiliki kemampuan akademik tinggi dapat mengakses pendidikan tinggi (tertiary education) yang berkualitas.
“Dalam penetapan UKT, wajib ada kelompok UKT 1 dan UKT 2 dengan proporsi minimum dua puluh persen. Ini untuk menjamin akses pendidikan tinggi berkualitas bagi masyarakat yang kurang mampu,” jelas Tjitjik dalam jumpa pers di Gedung D Kemendikbudristek, di Jakarta, Rabu, 15 Mei 2024.
Namun Tjitjik menjelaskan, perguruan tinggi memiliki kewenangan otonom untuk menetapkan UKT kelompok 3 dan seterusnya. Tjitjik mengingatkan bahwa penetapan besaran UKT tetap ada batasannya yaitu untuk UKT kelompok paling tinggi maksimal sama dengan besaran Biaya Kuliah Tunggal (BKT).
Selain itu, Tjitjik juga mendorong perguruan tinggi mengoptimalkan pengelolaan aset untuk menambah pendapatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) non-UKT dan IPI. Saat ini Ditjen Diktiristek terus berkoordinasi dengan para pimpinan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) agar penyesuaian UKT tidak melebihi batas standar pembiayaan yang telah ditentukan, harus sesuai aturan yang berlaku.
Asmirawanti Sulfasyah dan Jamaluddin Arifin dari Universitas Muhammadiyah Makassar mengungkap kondisi miris dunia pendidikan di Indonesia yang telah dirundung komersialisasi. Institusi-institusi penyelenggara pendidikan seakan berlomba memasang tarip tinggi sehingga sulit dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
“Pendidikan di saat ini telah terjebak dalam arus kapitalisasi yang dalam istilah lain bernama komersialisasi pendidikan,” tulis Asmirawanti Sulfasyah dan Jamaluddin Arifin dalam Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi Volume IV No. 2 November 2016, diakses Jumat, 17 Mei 2024.
Kedua penulis menyatakan, biaya pendidikan yang tidak murah berakibat pada banyaknya anak yang berasal dari kelas ekonomi bawah sulit mendapatkan akses pendidikan yang lebih bermutu. Sekolah menerapkan aturan seperti pasar yang berimplikasi pada visiologis pendidikan yang salah.
Keberhasilan pendidikan hanya didasari pada besarnya jumlah lulusan sekolah yang dapat diserap oleh sektor industri. Pendidikan semacam ini tidak untuk menjadikan manusia-manusia melek sosial, padahal sebetulnya tujuan pendidikan untuk mengembangkan intelektual yang ada pada siswa.
Kedua penulis juga menilai, dunia pendidikan Indonesia saat ini dianggap belum dapat mencapai titik keberhasilan yang diharapkan bersama. Permasalahan yang dihadapi oleh dunia pendidikan Indonesia begitu banyak dan rumit sehingga solusi yang dilakukan untuk keluar dari permasalahan tersebut tidaklah mudah
“Setiap jenjang pendidikan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan untuk tingkat sekolah dasar biaya pendidikan yang harus dikeluarkan hampir mendekati atau bahkan jauh lebih mahal daripada sekolah lanjutan sehingga menyaingi biaya pendidikan untuk perguruan tinggi. Banyak pungutan-pungutan yang ditarik oleh sekolah sehingga biaya yang dikeluarkan oleh peserta didik semakin banyak dan mahal setiap tahunnya,” papar Asmirawanti dan Jamaluddin.
Baca Juga: Berdasarkan Pengalaman Warga, PPDB selalu Dibayang-bayangi Pungli
PPDB SMA Jawa Barat 2024, Sistem Zonasi Belum Mampu Melayani Seluruh Warga yang Membutuhkan Akses Sekolah
Membayar UKT ITB dengan Dana Pinjol Bertentangan dengan Amanat Undang-undang Pendidikan
UKT Unpad dan ITB
Masalah UKT sebenarnya tidak lepas dari kebijakan pemerintah sendiri yang menetapkan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). Dengan status PTN BH, PTN atau kampus-kampus negeri memiliki kewenangan atau otonomi dalam pengelolaan akademik dan nonakademik termasuk menentukan UKT.
Sebagai gambaran, setiap kampus negeri menentukan nilai UKT berbeda-beda. Universitas Padjadjaran (Unpad), contohnya. Untuk tahun akademik 2023/2024, biaya kuliah di Unpad terdiri dari uang kuliah tunggal (UKT) biaya penyelenggaraan pendidikan (BPP), dan iuran pengembangan institusi (IPI).
Menurut Keputusan Rektor Unpad Nomor 521/UN6.RKTt/Kep/HK/2023 tertanggal 17 Maret 2023 secara garis besar UKT Unpad terdiri dari dua jalur, yakni UKT SBMPTN dan SMUP (Jalur Mandiri).
Besaran UKT jalur SBMPTN Unpad ditentukan berdasarkan pengelompokan, mulai dari kelompok I sebesar 500.000 rupiah hingga kelompok VIII sebesar 24.000.000 rupiah. Besaran UKT ini tergantung fakultas atau prodi.
Untuk jalur SMUP, besaran UKT per semester antara 6.500.000 rupiah hingga 20.500.000 rupiah. Dalam Jalur SMUP ini juga ada biaya iuran pengembangan institusi (IPI) dengan besaran minimal 15-195 juta rupiah tergantung fakultas atau prodi. Biaya tersebut belum termasuk biaya penyelenggaraan pendidikan (BPP) untuk mahasiswa program profesi dan spesialis seperti akuntan, dokter, dan lain-lain.
Bagaimana dengan ITB? Berdasarkan data yang diunggah di perpustakaan dokumen digital Scribd, Institut Teknologi Bandung sejak tanggal 14 Oktober 2013 ditetapkan menjadi salah satu PTN BH. Mulai tahun tersebut, ITB mengeluarkan kebijakan baru mengenai biaya pendidikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT untuk Program Sarjana ITB berkisar dari 0 sampai 20.000.000 rupiah per semesternya.
Mahasiswa ITB diberikan kesempatan untuk mengajukan keringanan UKT. Besaran keringanan UKT yang dapat diajukan adalah sebesar 20-100 persen dari biaya UKT yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan ekonomi orang tua masing-masing.
Secara garis besar, biaya UKT UTB terbagi menjadi Jalur Reguler (SBM dan Non-SBM) dan Jalur Mandiri. Untuk Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) nilai UKT 12.500.000 rupiah, sedangkan SBM 20.000.000 rupiah.
Biaya kuliah ITB Jalur Mandiri per semester terdiri dari selain Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) 25.000.000 rupiah dan Iuran Pengembangan Institusi minimum 25.000.000 rupiah. Untuk Sekolah Bisnis dan Manajemen 25.000.000 rupiah dan Iuran Pengembangan Institusi minimum 40.000.000 rupiah.
*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain tentang Uang Kuliah Tunggal