Masih Banyak Pecandu Narkoba Dipenjara, Mau ke Mana Kebijakan Narkotika di Indonesia?
Sampai November 2023, narapidana kasus narkotika mencapai 144.024 orang. Menjadi jenis kasus terbesar dari keseluruhan narapidana di Indonesia.
Penulis Raja Ilham 3 Juni 2024
BandungBergerak.id - “Masih banyak yang memotret bahwa isu narkotika, khususnya pengguna itu hanya merupakan tindak kejahatan, masalah pidana,” ucap Subhan Hamonangan dari Youth Activism Rumah Cemara dalam acara Quo Vadis Kebijakan Narkotika di Indonesia di Ruang Audio visual Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Jumat, 31 Mei 2024.
Bagi Subhan, implementasi dari UU Narkotika di Indonesia belum berjalan sesuai salah satu tujuan utamanya, yakni menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu. Hal ini sesuai dengan pasal 54 UU Narkotika yang menyatakan “Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehablitiasi medis dan rehabilitasi sosial”. Juga pasal 4 poin D yang berbunyi: “Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika”.
“Pertanyaan saya adalah apakah impelementasi rehabilitasi atau penempatan rehabilitasi medis dan sosial bagi pecandu sudah cukup berjalan lancar?” ucap Subhan.
Faktanya, kepadatan lembaga pemasyarakatan atau penjara masih didominasi oleh kasus narkotika. Artinya, rujukan pecandu ke lembaga rehabilitasi belum berlangsung secara masif, hanya bersifat pesimistik.
Di sisi lain, kondisi tersebut kian memperkuat stigma buruk pada pecandu narkoba. Erving Goffman dalam buku Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity menjelaskan, stigma merupakan suatu proses di mana reaksi sosial terhadap atribut tertentu menyebabkan individu tersebut diasingkan atau dikecualikan dari berbagai aspek kehidupan sosial.
Stigma bisa bersifat fisik, seperti cacat tubuh; karakter personal, seperti ketergantungan pada narkotika; atau berdasarkan kategori sosial, seperti ras, agama, atau orientasi seksual.
Goffman juga menekankan bahwa individu yang distigmatisasi harus terus-menerus berusaha untuk menyesuaikan diri dan mengelola identitas mereka dalam menghadapi pandangan negatif dari masyarakat. Mereka harus mengatasi "identitas yang tercemar" dengan mencoba mengontrol atau menutupi atribut yang menyebabkan stigma atau dengan membangun kembali citra diri mereka agar dapat diterima oleh lingkungan sosial.
Bersifat Punitif
Ima Mayasari dan Yoga Dwi Putra Permana dalam jurnal “Desain Kebijakan Wacana Grasi Massal Bagi Narapidana Kasus Pengguna/Pecandu Narkotika Di Lembaga Pemasyarakatan” menyatakan, sistem penegakkan hukum di Indonesia saat ini terutama yang berkaitan dengan narkotika cenderung bersifat punitif, yang artinya cenderung dimasukkan dalam ranah pidana, baik itu sebagai bandar atau pengedar maupun sebatas pengguna atau penyalahgunaan narkotika.
Ekses dari kebijakan hukum tersebut menimbulkan ledakan jumlah tahanan atau narapidana. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sampai tanggal 24 November 2023, jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) atau narapidana dengan kasus narkotika mencapai 144.024 orang, di mana jumlah tersebut menjadi penyumbang terbesar dari keseluruhan total jumlah WBP di Indonesia saat ini yakni 272.527 orang atau sebanyak 52,8 persen atau lebih dari setengah total seluruh WBP.
Secara detail, kedua penulis dari Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia ini merinci dari 144.024 orang WBP kasus narkotika tersebut, sebanyak 42.465 orang narapidana berstatus sebagai pengguna/penyalahguna narkotika atau 29,48 persen.
Di samping itu, jumlah isi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rutan (Rumah Tahanan Negara) yang tersebar di se-Indonesia berjumlah 529 unit dengan total kapasitas hunian sebanyak 140.024 orang.
“Artinya kondisi Lapas dan Rutan di Indonesia saat ini berstatus overcrowded mencapai 94 persen. Kondisi tersebut tentunya sangat tidak ideal dan menjadi permasalahan klasik bagi dunia pemasyarakatan sejak dahulu selama beberapa tahun, ungkap Ima Mayasari dan Yoga Dwi Putra Permana.
Kedua penulis menyatakan, fenomena overcrowded pada Lapas/Rutan menyebabkan banyak permasalahan tersendiri bagi Lapas/Rutan. Selain meningkatkan utang pemerintah dalam hal penyediaan bahan makanan narapidana sehari-hari, potensi gangguan keamanan dan ketertiban juga meningkat, mengingat keleluasaan gerak dan psikologis narapidana pasti terganggu.
Baca Juga: Aktivis Tanggapi Perda Pencegahan Narkoba Kota Bandung
Peneliti UI Meneliti Metode Pemulihan Adiksi Narkoba
Pengguna Narkoba Berhak Mengakses Layanan Rehabilitasi
Harm Reduction
Pada tahun 1997 sampai tahun 2000, jenis narkotika yang sangat marak digunakan oleh pecandu narkotika adalah heroin yang dikonsumsi dengan cara suntik. Bagi kalangan bawah yang tidak mampu membeli jarum suntik baru, mereka menggunakan jarum suntik secara bergantian. Hal ini meningkatkan risiko penularan HIV. Dari sinilah muncul program Harm Reduction di Indonesia.
“Isu Harm Reduction itu berawal dari HIV dan AIDS,” tambah Subhan.
Menurut hri.global, program harm reduction merupakan upaya pengurangan dampak buruk yang merujuk pada kebijakan, program, dan praktik yang bertujuan untuk mengurangi dampak kesehatan, sosial dan hukum yang buruk sebagai akibat dari penggunaan maupun kebijakan dan hukum narkotika.
Harm Reduction berisikan 9 komponen, yaitu: Tes dan Konseling HIV; Terapi Antiretroviral; Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Menular Seksual; Program Kondom untuk Penyalahguna Narkotika Suntik dan Pasangan Seksual Mereka; Informasi, Edukasi, dan Komunikasi untuk Penyalahgunaan Narkotika Suntik dan Pasangan Seksual Mereka; Vaksinasi, Diagnosa, dan Pengobatan Hepatitis Virus; dan Pencegahan, Diagnosa, dan Pengobatan Tuberculosis.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Raja Ilham Maulidani Gumelar atau artikel-artikel lain tentang Narkoba