• Komunitas
  • PROFIL KOMUNITAS MASAGI TJIBOGO: Gerakan Mengelola Sampah di Lingkup RT

PROFIL KOMUNITAS MASAGI TJIBOGO: Gerakan Mengelola Sampah di Lingkup RT

Komunitas Masagi Tjibogo terlahir dari keresahan darurat sampah Kota Bandung. Para Ketua RT berkumpul membangun gerkan kolektif.

Kegiatan edukasi peduli lingkungan yang dilakukan Komunitas Masagi Tjibogo, Jalan Terusan Cibogo, Kota Bandung, Minggu, 26 Mei 2024. (Foto: R. Sabila Faza Riana)

Penulis Sifa Aini Alfiyya4 Juni 2024


BandungBergerak.id - Komunitas Masagi Tjibogo terlahir dari kacaunya pengelolaan sampah di Rukun Warga (RW) 04 Kelurahan Sukawarna Kecamatan Sukajadi Kota Bandung tahun 2018. Saat itu ketiga ketua RT berembuk dan berdiskusi untuk membuat komunitas yang bertujuan melakukan perbaikan lingkungan di tingkat mikro, yaitu di level RT dan RW.

Dian Nurdyana, pendiri Komunitas Masagi Tjibogo menuturkan, terbentuknya komunitas ini terinspirasi dari program Pemkot Bandung yaitu Kang Pisman, sebuah gerakan mengurangi memisahkan dan memanfaatkan sampah. Sebelum terbentuk Komunitas Masagi Tjibogo, kelompok Dian sudah melakukan gerakan awal yang bertujuan menyebarkan edukasi serta sosialiasi mengenai program pengelolaan sampah ke masyarakat.

Tanggal 29 November 2019, kelompok ini melakukan edukasi soal bank sampah kepada masyarakat. Warga diajak memilah sampah organik dan anorganik. Seiring berjalannya waktu, masalah sampah terus berkembang dan semakin kompleks, bank sampah untuk mengelola anorganik dan sampah organik berjalan lambat, dari tiga bank sampah di tiga RT yang berjalan hanya satu bank sampah saja.

Oleh karena itu diperlukan upaya yang lebih luas dan terpadu untuk mengatasi permasalahan lingkungan ini yaitu dengan membuat gerakan kolektif. Maka, 21 Agustus 2020 lahir Komunitas Masagi Tjibogo yang memiliki arti ‘Keseimbangan’ dan menggambarkan sinergi harmonis antara manusia dan lingkungan sekitar.

Masagi memiliki tujuan utama yaitu merubah perilaku masyarakat yang tidak peduli sampah menjadi peduli sampah sehingga lingkungan menjadi bersih dan sehat. “Merubah perilaku yang sudah menjadi kebiasaan sangat sulit karena bukan merubah benda kita perlu usaha dan pelan-pelan agar masyarakat sadar, nikmatin saja prosesnya,” cerita Dian pada Minggu, 26 Mei 2024 di Komunitas Masagi Tjibogo, Jalan Terusan Cibogo, Kota Bandung.

Kegiatan edukasi peduli lingkungan yang dilakukan Komunitas Masagi Tjibogo, Jalan Terusan Cibogo, Kota Bandung, Minggu, 26 Mei 2024. (Foto: R. Sabila Faza Riana)
Kegiatan edukasi peduli lingkungan yang dilakukan Komunitas Masagi Tjibogo, Jalan Terusan Cibogo, Kota Bandung, Minggu, 26 Mei 2024. (Foto: R. Sabila Faza Riana)

Langkah awal dalam menyadarkan masyarakat mengenai sampah dilakukan Komunitas Masagi Tjibogo melalui gerkaan Jumat Bersih (Jumsih) yang dilakukan seluruh masyarakat. Komunitas ini juga mengadopsi tradisi perelek beras menjadi perelek sampah. Melalui program perelek sampah, masyarakat mendapatkan pemahaman bahwa sampah anorganis memiliki nilai jual ekonomi dan sampah organik dibuat pupuk dengan metode ember komposter. Program perelek menargetkan ibu-ibu sehingga memiliki slogan ‘The Power of Emak-emak’.

Tak hanya itu, anak-anak juga perlu diberi edukasi mengenai lingkungan. Maka, lahir program sakola lingkungan (Sakoling) yang sasarannya anak-anak mulai dari taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah dasara (SD). Menurut Dian, daya ingat anak-anak panjang sehingga kesadaran lingkungan perlu ditanamkan sejak dini agar ketika dewasa mereka memiliki memori merawat lingkungan.

Namun, gerakan tersebut tidak cukup. Memang diperlukan kekuasaan untuk menegakkan sebuah aturan. Dian kemudian memakai kewenangannya sebagai Ketua RT untuk memberikan sanksi kepada warga yang tidak memilah sampah.

Warga yang tidak memilah sampahnya dan tidak mengikuti program perelek tidak akan dilayani dalam urusan administratif. Pendataan warga yang tidak mematuhi program dapat dilihat dari catatan perelek sampah.

Sebelum penerapan sanksi, warga terlebih dahulu mendapatkan sosialisasi baik melalui diskusi langsung maupun pengumuman di grup WhatsApp. Hal itu menjadi salah satu alat untuk membangun kesadaran masyarakat mengenai pentingnya memilah sampah dalam menjaga lingkungan.

Nunung Rismayanti, Bendahara Komunitas Masagi Tjibogo, mengatakan awalnya pihaknya cukup kesulitan dalam mengajak warga menjalankan program-program lingkungan. Diperlukan kesabaran agar warga mau bergerak bersama menjaga lingkungan.

Program dari komunitas ini juga membuat ekonomi warga sedikit demi sedikit tumbuh. Hal ini terlihat dari dana yang didapatkan melalui program sosial Perelek atau Jumsih. Adanya kegiatan rutin ini juga membuat tali silaturahmi warga menjadi erat, bahkan Nunung merasa bertambah keluarganya karena dahulu saat tidak ada komunitas dirinya hanya sedikit mengenal warganya sendiri.

“Yang tadinya tidak kenal jadi kenal, yang tadinya kurang dekat jadi dekat. Intinya mempererat silaturahmi antarwarga dan merasa bangga aja punya keluarga yang sama-sama peduli akan lingkungan,” ungkap Nunung.

Baca Juga: Darurat Sampah, Sekolah, dan Kampanye Pengelolaan Sampah
Data Volume Sampah Plastik Harian di Kota Bandung 2008-2021: Plastik Masih Jadi Kontributor Utama Masalah Sampah
Data Sebaran TPS di Kota Bandung serta Jumlah Sampah yang Masuk dan Diangkut per Harinya Tahun 2016: Sampah akan Menggunung Apabila Pengangkutan Tersendat

Kegiatan edukasi peduli lingkungan yang dilakukan Komunitas Masagi Tjibogo, Jalan Terusan Cibogo, Kota Bandung, Minggu, 26 Mei 2024. (Foto: R. Sabila Faza Riana)
Kegiatan edukasi peduli lingkungan yang dilakukan Komunitas Masagi Tjibogo, Jalan Terusan Cibogo, Kota Bandung, Minggu, 26 Mei 2024. (Foto: R. Sabila Faza Riana)

Perjuangan Komunitas Masagi Tjibogo Mewujudkan Pentahelix

Komunitas Masagi Tjibogo berusaha mengatasi masalah sampah dengan menerapkan konsep Pentahelix, yaitu kolaborasi dengan academician (Akademisi), business (Bisnis), community (Komunitas), government (Pemerintah), dan media (Publikasi Media). Pada tahun 2019 komunitas ini melakukan kolaborasi bersama kelurahan. Namun kolaborasi ini dirasakan tidak adil.

Dian Nurdyana menurutkan, ketidakadilan yang dirasakan olehnya adalah pihak keluruhan meminta data-data dan dokumentasi tanpa terjun langsung datang ke masyarakat. Ketika mengajukan protes mereka masih enggan untuk membantu secara langsung bahkan ketika meminta kebutuhan sering kali tidak sesuai dengan permintaan.

“Ya sudah akhirnya kami juga bukan memisahkan diri, akhirnya kami mengambil sikap. Kami gak mau selalu dimanfaatkan dengan meminta dokumentasi atau meminta data yang kami punya sementara feedbacknya ke kami gak ada,” kata Dian.

Namun usaha dalam mewujudkan pentahelix tetap berlanjut hingga mereka dapat bekerja sama dengan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DKPP) Kota Bandung dan kecamatan. DKPP memberikan penyuluhan serta diskusi bersama komunitas secara langsung dan dari pihak kecamatan membantu dalam bentuk material.

Ketika kerja sama dengan pemerintah berjalan baik, Komunitas Masagi Tjibogo juga berkolaborasi dengan akademisi terutama dengan mahasiswa. Banyak mahasiswa yang datang membantu dalam menjalankan programnya serta memberikan ide-ide agar terus berinovasi.

Selain itu, komunitas ini juga berkolaborasi dengan sejumlah media yang mau meliput kegiatan-kegiatan komunitas lalu menyebarkannya melalui platform masing-masing. Kekurangan dari komunitas ini adalah belum dapat bekerja sama dengan pengusaha karena terkendala urusan administrasi.

“Komunitas Masagi memiliki goals jangka panjang yaitu mau melegalisasikan secara administrasi karena penting untuk sebuah brand dan legalitas baik secara badan hukum maupun secara wilayah. Ini kami yang belum punya, itu kelemahan kami. Terus selanjutnya kami ingin mencoba berinvasi ke wilayah-wilayah lain,” harap Dian.

*Kawan-kawan dapat menyimak karya-karya lain Sifa Aini Alfiyya, atau artikel-artikel lain tentang Profil Komunitas Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//