• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Pelanggaran HAM di Papua, Apakah Pelakunya Terbatas pada Negara Saja?

MAHASISWA BERSUARA: Pelanggaran HAM di Papua, Apakah Pelakunya Terbatas pada Negara Saja?

Tidak hanya pelanggaran HAM yang harus jadi perhatian. Tapi bagaimana negara menjamin warga Papua mendapatkan rasa aman, hidup nyaman, dan terbebas dari teror.

Fajar Permana, Dita Nur Rosmawati, Aldrich Ad

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung. Staf Divisi Kajian dan Riset Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Unp

Aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Bandung menyikapi video viral penyiksaan yang diduga dilakukan oleh prajurit TNI terhadap masyarakat sipil Papua, di depan Gedung Merdeka, Rabu, 27 Maret 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

9 Juni 2024


BandungBergerak.id – Hak Asasi Manusia atau “HAM” merupakan hak yang melekat pada setiap manusia. Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) dijelaskan bahwa HAM adalah hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang. Belakangan ini publik menaruh perhatian pada video anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menganiaya seseorang yang diduga salah satu anggota dari Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB) di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah. Eks Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Beka Ulung memberikan pernyataan tentang tindakan yang dilakukan oknum anggota TNI di Papua merupakan tindakan yang melanggar HAM harus segera diadili. 

Pernyataan tersebut menjadi isu di masyarakat, karena pernyataannya yang terkesan berat sebelah. Sebab, pelanggaran HAM di Papua justru sering kali dilakukan oleh kelompok separatis TPNPB dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan ketika pelanggaran tersebut dilakukan, para pemangku jabatan dan beberapa kelompok masyarakat tidak memberikan respons yang signifikan dibandingkan ketika TNI melakukan hal yang sama kepada kelompok separatis. Salah satu contoh pelanggaran HAM oleh OPM, yakni pada 1 Desember 2018, di Jalan Trans Papua, Kabupaten Nduga, Papua. OPM membunuh 31 pekerja PT Istaka Karya yang dilakukan oleh OPM. Kejadian ini diduga dilatarbelakangi karena salah satu pekerja PT Istaka Karya yang mengambil foto ketika para OPM sedang merayakan ulang tahun kelompoknya.

Tidak sebatas pada contoh yang diberikan, sudah terlalu banyak pelanggaran HAM yang OPM lakukan, tetapi mengapa jarang sekali muncul pernyataan terhadap pelanggaran tersebut? Apakah memang OPM tidak dapat menjadi subjek pelanggar HAM? Sejatinya, HAM memiliki beberapa prinsip utama, yaitu prinsip kesetaraan yang menuntut terjadinya kesetaraan perlakuan tanpa melihat suku, bangsa, warna kulit bahkan agama. Tidak hanya kesetaraan, tetapi ada juga prinsip non-diskriminasi dan prinsip kewajiban negara. Dari ketiga prinsip utama HAM, hanya terdapat kata “Negara”. Benarkah hanya negara yang dapat menjadi subjek pemangku kewajiban HAM, sehingga menyebabkan pelaku pelanggar HAM terbatas pada negara saja?

Baca Juga: Demokrasi tak Dapat Diraih di Papua
Mahasiswa Papua Merefleksikan 62 Tahun Trikora di Jalan Asia Afrika
Aliansi Mahasiswa Papua Bandung Turun ke Jalan, Mengecam Tindakan Penyiksaan terhadap Masyarakat Sipil Papua oleh Prajurit TNI

Subyek Pemangku KewajibanHAM

Sesungguhnya, subjek yang menjadi pemangku kewajiban HAM, antara lain negara dan nonnegara. Negara sebagai pemangku kewajiban HAM bertugas untuk memastikan, menegakkan dan melindungi rakyatnya akan Hak Asasinya tersebut. Sedangkan, non-negara mencakup beberapa kelompok seperti Perusahaan Multinasional, Individu dan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Alasan non-negara tetap menjadi pemangku kewajiban HAM disebabkan subjek non-negara seperti KKB dan perusahaan multinasional bersentuhan secara langsung dengan hak banyak orang. Maka jelas bahwa OPM dan/atau TPNPB memenuhi syarat subjektif sebagai pelaku pelanggar HAM, namun pertanyaannya adalah HAM apa yang mereka langgar?

HAM terbagi menjadi dua, yaitu HAM yang dapat dikesampingkan dan HAM yang tidak dapat dikesampingkan. HAM yang dapat dikesampingkan adalah hak menyatakan pendapat dan hak untuk berekspresi dan pelanggaran terhadap hak-hak ini disebut dengan pelanggaran HAM ringan (ordinary violation).  HAM yang tidak dapat dikesampingkan adalah hak yang jika dilanggar akan menjadi pelanggaran HAM berat seperti hak seperti hak hidup, hak bebas dari perbudakan dan hak bebas dari penyiksaan. Hal ini diatur dalam Pasal 4 dan 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Secara umum, pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (the most serious crime) tercantum dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, dalam Pasal 5 Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional mengategorikan dua kejahatan yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan perang dan kejahatan agresi. Pembunuhan yang dilakukan oleh OPM kepada 31 pekerja PT. Istaka Karya pada 1 Desember 2018 sudah jelas merupakan pelanggaran HAM berat, sebab yang dilakukan oleh OPM telah melanggar hak hidup dan hak keselamatan para pekerja yang menjadi korban. Lalu, apakah penganiayaan salah satu warga yang diduga sebagai anggota TPNPB oleh TNI dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM seperti yang dilakukan OPM?

Seperti yang dapat dilihat dalam video yang tersebar, ketika para oknum anggota TNI melakukan penganiayaan dengan menyayat tubuh korban dan memasukkan tubuh korban ke dalam tangki berisi air sudah dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran HAM berat. Perlakuan oknum anggota TNI tersebut telah melanggar hak korban, yaitu hak bebas atas penyiksaan, hak keselamatan dan hak atas perlindungan. Atas kejadian ini dan banyaknya kejadian pelanggaran HAM di Indonesia, lalu pertanyaan selanjutnya adalah apa konsekuensi untuk para pelaku pelanggar HAM?

Apa Hukuman Pelanggar HAM?

Dalam proses memberikan hukuman kepada pelanggar HAM, Pasal 104 UU HAM memberikan ketentuan proses untuk menghukum para pelanggar HAM. Dalam Pasal 104 ayat (1) UU HAM dinyatakan bahwa dalam mengadili pelaku pelanggar HAM berat akan dibentuk terlebih dahulu Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum. Ayat 2 melanjutkan ketentuan pada ayat 1, yaitu Pengadilan HAM dibentuk dengan undang-undang dengan jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun. Jika terjadi suatu kasus pelanggaran HAM yang harus diadili secepatnya, meskipun kondisi pada saat itu belum terbentuk Pengadilan HAM, maka Pasal 104 ayat (3) UU HAM menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM tersebut akan diadili oleh pengadilan yang berwenang dan yang dimaksud dengan pengadilan yang berwenang empat lingkungan peradilan sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 199. Empat lingkungan peradilan tersebut adalah peradilan militer, peradilan militer, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara.

Dalam mengadili atau memberi hukuman kepada pelanggar HAM prinsipnya tetap harus menghormati hak asasi pelanggar. karena dalam proses mengadilinya para pengadil tidak boleh melupakan hak asasi pelanggar yang berstatus sebagai manusia. Maka dari itu proses mengadili pelanggar HAM yang diatur dalam Pasal 104 UU HAM sudah sesuai dengan prinsip HAM, yakni tidak berdasarkan egoisme atau dendam. Jika dikaitkan dengan kasus penganiayaan oleh anggota oknum TNI kepada warga yang diduga anggota TPNPB, maka dengan niat perbuatan tersebut tetap menyalahi aturan HAM. Dalih penganiayaannya tetap merupakan pelanggar HAM tidak dapat dibenarkan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka secara hukum OPM merupakan subjek pemangku kewajiban HAM dan karenanya dapat menjadi pelaku pelanggar HAM. OPM yang berstatus sebagai kelompok separatis yang digolongkan sebagai KKB secara jelas menurut Hukum Positif Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM atas terbunuh, teraniaya dan tidak terjamin keamanan hidupnya selama ini untuk warga sipil di wilayah Papua yang salah satu contohnya adalah 31 pekerja PT Istaka Karya yang dibunuh oleh OPM pada 1 Desember 2018. Berdasarkan fakta tersebut, sepatutnya Pemerintah Indonesia perlu segera melakukan langkah pasti dalam menjamin HAM para warga di Papua, apabila pemerintah tidak segera melakukan hal ini maka secara tidak langsung pemerintah telah melakukan pelanggaran HAM karena tidak menjamin HAM para warga di Papua. Tindakan pelanggaran HAM dari pihak pemerintah dan OPM/KKB/TPNB sebagai aksi balas membalas bukanlah sesuatu yang dapat diterima. Kekejaman dibalas kekejaman bukanlah sesuatu yang dapat dimaklumi.

Tidak hanya pelanggaran HAM, tetapi yang terpenting adalah bagaimana negara menjamin para warga Papua mendapatkan rasa aman dan nyaman hidup di Papua yang terbebas dari teror OPM/TPNPB dan juga memperkecil kemungkinan untuk terjadinya bentrok antara aparat negara dengan OPM/TPNPB. Masalah yang terjadi di Papua lebih kompleks dari yang dibayangkan, maka sudah sepatutnya sebagai masyarakat untuk melihat konflik dari banyak sudut pandang agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan, terutama bagi para pemangku jabatan di pemerintahan dan kelompok-kelompok yang memiliki pengaruh  besar di masyarakat. 

*Kawan-kawan bisa membaca artikel lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//