• Berita
  • Pemenuhan Hak-hak Anak-anak Semakin Krusial di Tengah Dampak Krisis Iklim

Pemenuhan Hak-hak Anak-anak Semakin Krusial di Tengah Dampak Krisis Iklim

Krisis iklim ini diperparah dengan tingginya polusi udara. Open Data Kota Bandung menyebut angka anak infeksi saluran pernapasan akut (pneumonia) meningkat.

Ekspresi aktivis Eva Eryani saat berorasi di aksi darurat lingkungan di Gedung Sate, Bandung, 5 Juni 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Linda Lestari6 Juni 2024


BandungBergerak.idKrisis iklim berdampak buruk pada pemenuhan hak-hak anak, khususnya pada keberlangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan mereka. Peringatan ini telah disampaikan UNICEF sejak 2021 di mana anak-anak Indonesia berada pada peringkat ke-46 risiko terdampak perubahan iklim.

Kini, kondisi iklim semakin anomali. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncak musim kemarau 2024 terjadi pada Juli dan Agustus 2024. Kondisi ini akan dilanjutkan dengan gelombang La Nina lemah hingga akhir 2024. La Nina adalah fenomena mendinginnya suhu permukaan laut Samudra Pasifik bagian tengah dan timur di bawah kondisi normal.

Di saat krisis iklim semakin nyata, maka pemenuhan hak-hak anak semakin krusial, sebagaimana dikampanyekan The Save the Children melalui tagar #RestorasiGenerasi. Gerakan ini dilakukan sebagai peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati setiap 5 Juni.

Hasil kajian Save the Children Indonesia menunjukkan krisis iklim menimbulkan ancaman kekeringan dan kelangkaan air bersih yang berdampak pada kesehatan, pendidikan, dan kehidupan sehari-hari. Penelitian dilakukan pada Kabupaten Lombok Barat, Sumba Timur dan Kupang.

“Studi kami jelas memaparkan bahwa kelangkaan air berdampak pada kesehatan dan pendidikan anak. Banyak anak di daerah yang terdampak mengalami infeksi saluran pernapasan akut selama kekeringan berkepanjangan dan ini menyebabkan mereka tidak dapat masuk sekolah,” jelas Tata Sudrajat, Interim Chief of Advocacy, Campaign, Communication & Media Save the Children Indonesia, dalam keterangan resmi.

“Belum lagi kerawanan pangan yang mengancam berkontribusi pada angka prevalensi stunting yang tinggi serta risiko angka perkawinan anak yang meningkat karena situasi sulit ini,” lanjut Tata.

Dampak pada pendidikan terlihat dari gangguan konsentrasi anak-anak saat pelajaran berlangsung. Hal ini diakibatkan oleh jam tidur anak yang terganggu karena harus bangun lebih pagi untuk mencari air di tempat yang cukup jauh.

Pada Juli 2023, Save the Children mengkaji terdapat penurunan debit air bersih di Lombok Barat dari 100 liter per detik menjadi 30 liter per detik. Kelangkaan air berkontribusi pada kurangnya keberagaman pangan dan berpengaruh pada asupan gizi kelompok rentan khususnya anak-anak di bawah usia lima tahun.

Situasi sulit tersebut berdampak pada peningkatan stres dan tekanan emosional dalam keluarga karena intensifikasi persaingan untuk sumber daya yang langka seperti air. Hal ini menyebabkan konflik dalam rumah tangga yang berujung pada kekerasan pada anak dan perempuan. Di Sumba Timur, terdapat keluarga yang terpaksa menjual aset berharga untuk mendapat dana dan membeli air bersih.

Malaria dan demam berdarah menjadi dampak lainnya dari krisis iklim ini. Kekurangan sumber air memaksa masyarakat untuk menyimpan air dan menciptakan tempat nyamuk untuk berkembang biak. Selain itu, kekurangan air berdampak pada tidak terjaganya praktik kebersihan serta berisiko pada gangguan pernapasan dan penyakit kulit.

Gagal panen akibat kekeringan menimbulkan tidak terpenuhinya nutrisi anak dan ibu hamil akibat berkurangnya persediaan makanan bergizi. Gagal panen juga berakibat pada perekonomian keluarga. Prevalensi stunting di Lombok Barat pada 2023 juga masih tinggi, pada tahun 2023 mencapai 13,63 persen.

Save the Children menyerukan pada pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk berkolaborasi dalam meningkatkan mitigasi dan adaptasi terhadap krisis iklim. Kolaborasi ini diperlukan untuk mengkaji lebih jauh dampak perubahan iklim pada anak. Seruan juga ditujukan untuk menyampaikan pesan mitigasi dan adaptasi dengan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat, serta memastikan akses yang adil terhadap sumber daya serta menyediakan dukungan untuk keluarga dan anak-anak yang paling terdampak.

Baca Juga: Orang-orang Muda Bandung Menuntut Kebijakan Nol Toleransi terhadap Pelanggaran Lingkungan di Jawa Barat
Menyoal Perubahan Iklim Melalui Film Dokumenter di Saat Hawa Bandung tidak Sejuk lagi
Rumah Tropis Sebagai Solusi Iklim Panas Indonesia

Mitigasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Anak

Data The Climate Crisis Is a Child Rights Crisis: Introducing the Children’s Climate Risk Index menyebutkan, anak-anak Indonesia mengalami keterpaparan tinggi terhadap penyakit tular vektor, pencemaran udara, dan banjir rob yang dipicu perubahan iklim. Penelitian ini merekomendasikan peningkatan investasi pada layanan sosial, khususnya kesehatan dan nutrisi, perlindungan sosial dan inklusi keuangan sebagai mitigasi dampak perubahan iklim terhadap anak.

Yenni Zuhairini, Ahmad Asyraf Fauzan, dan Meita Dhamayanti dalam jurnal Sari Pediatri memaparkan, anak-anak merupakan populasi yang lebih rentan terkena penyakit. Setiap tahunnya, lebih dari delapan juta anak meninggal sebelum berusia lima tahun, dan 98 persen kematian tersebut berasal dari anak yang terlahir di negara-negara termiskin di dunia.

“Perubahan suhu dan curah hujan dapat menyebabkan kegagalan panen dan kelangkaan air. Selain itu, terdapat pula dampak terhadap sektor peternakan, karena lahan peternakan semakin menyempit. Pada tahun 2050, diperkirakan 25 juta tambahan anak dengan malnutrisi yang disebabkan perubahan iklim,” papar para peniliti dair Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Univerisitas Padjadjaran (FK Unpad), Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis, dan Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad, Bandung, diakses dari jurnal, Kamis, 6 Juni 2024.

Para peneliti menyatakan, kerentanan pangan dan malnutrisi menyebabkan kurangnya kuantitas dan kualitas makanan, merupakan salah satu dampak terbesar pada anak. Hak anak dalam memperoleh hidup layak, tumbuh kembang dalam lingkungan yang baik, serta mendapatkan keperningan terbaik akan terganggu.

Krisis iklim ini diperparah dengan tingginya polusi udara yang merusak lapisan ozon bumi. Dampak dari polusi udara ini amat merugikan anak-anak. Salah satu penyakit yang rentan menjangkit anak-anak adlaah infeksi saluran pernapasan akut ataupun pneumonia.

Sebagai gambaran, menurut Open Data Kota Bandung 2022 terdapat 3.875 balita terkena infeksi saluran pernapasan akut pneumonia. Angka ini meningkat hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya, 1.733 kasus.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Linda Lestari, atau artikel-artikel lain tentang Perubahan Iklim

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//