Bahaya White Lies dalam Jurnalisme, Ketika Media Mendistorsi Sains hingga Menyesatkan
Dalam konteks jurnalisme, white lies dapat dimaknai sebagai upaya media-media dalam memproduksi artikel populer yang menarik agar pembaca mudah memahami.
Rangga Prasetya Aji Widodo
Jurnalis Lepas di Surabaya
11 Juni 2024
Bandungbergerak.id – Pada tahun 2019, tiga pelajar SMA Negeri 2 Palangkaraya, Kalimantan Tengah, bernama Yazid Rafli Akbar, Anggina Rafitri, dan Aysa Aurealya Maharani mengerjakan penelitian dan menyimpulkan bahwa meminum rebusan akar/bajakah dapat mengobati kanker.
Penelitian itu dilakukan terhadap dua ekor mencit yang diinjeksi sel tumor, kemudian dua mencit itu diberi cairan hasil rebusan akar/bajakah. Menurut hasil penelitian mereka, sel tumor pada dua ekor mencit itu mengecil hingga musnah dalam waktu dua bulan. Lantas, tiga pelajar tersebut mendapatkan medali emas pada World Invention Creativity Olimpic di Korea Selatan.
Kabar itu ramai di berbagai media arus utama dan media sosial, hingga banyak masyarakat yang mencari dan menjual akar/bajakah. Lima tahun sejak penelitian itu tersebar, pada Rabu, 17 April 2024, saya menemukan video di Facebook yang memperlihatkan seorang lelaki berada di sebuah hutan sambil memotong salah satu bagian pohon yang disebut akar/bajakah. Syahdan, lelaki itu meneguk cairan yang keluar dari akar/bajakah tersebut. Oleh pembuat video, cairan akar/bajakah itu diklaim dapat mengobati kanker pada manusia.
Sabtu, 8 Juni 2024, saya menemukan hal serupa di konten yang berbeda. Sebuah artikel di Facebook menjelaskan anggota TNI yang berada di sebuah hutan sedang menenggak cairan akar/bajakah. Prajurit tersebut mengatakan bahwa cairan akar/bajakah yang ia minum mampu mengatasi semua jenis kanker, tumor, serta dapat menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes hanya dalam hitungan hari.
Saya skeptis dengan temuan dan klaim itu. Saya membuka mesin pencari Google untuk memastikan ketersediaan bukti-bukti ilmiah yang menyimpulkan bahwa akar/bajakah dapat mengobati kanker pada manusia. Selama proses pencarian, saya justru menemukan artikel populer yang ditulis beberapa media arus utama, salah satunya CNN Indonesia yang dipublikasi pada Rabu, 14 Agustus 2019, berjudul “Fakta Bajakah, Tanaman yang Diklaim Jadi Obat Kanker Payudara”.
Di dalam artikel populer itu, menjelaskan bahwa akar/bajakah dinilai memiliki 40 zat yang diyakini dapat melumpuhkan sel-sel kanker, seperti flavonoid, fenolik, steroid, terpenoid, tannin, saponin, alkonoid, dan lainnya. Serta, artikel populer tersebut pun menegaskan bahwa akar/bajakah memiliki banyak jenis. Masing-masing jenis, memiliki manfaat yang bervariasi, misalnya akar/bajakah Lamei yang dipercaya bisa mengobati diare, atau akar/bajakah Tampala yang dapat mempercepat penyembuhan luka.
Saya masih kurang puas. Beberapa artikel populer yang ditulis media arus utama tidak menyertakan referensi penelitian terkait bukti-bukti ilmiah bahwa akar/bajakah dapat mengobati kanker pada manusia, serta penggunaan kata-kata seperti “dinilai”, “diyakini”, dan “dipercaya” di dalam artikel populer membuat saya semakin ragu. Akhirnya, saya melakukan pemeriksaan fakta.
Singkat waktu, saya menghubungi Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya, Prof. Mangestuti Agil. Dalam wawancara, ia menyampaikan bahwa penggunaan akar/bajakah oleh suku asli Kalimantan sudah berlangsung turun-temurun untuk tujuan kesehatan. Awalnya, suku asli Kalimantan itu menggunakan tumbuhan/pendaman di sekitar permukiman untuk mengobati masalah kesehatan ringan, seperti nyeri, batuk, pilek, gangguan saluran pencernaan, dan alergi. Sekali lagi, bukan masalah kesehatan berat.
Apabila diamati dari zat-zat yang terkandung pada akar/bajakah, memang banyak khasiatnya. Sebut saja, zat golongan fenol yang dapat digunakan untuk mempertahankan dan mencegah kerusakan sel-sel. Zat golongan fenol menjadi salah satu yang digunakan untuk mencegah munculnya penyakit ganas, sebab kerusakan sel-sel merupakan pemicu terjadinya kanker, tumor, dan lain-lain.
“Dari beberapa studi akar/bajakah yang saya baca, ada yang menemukan zat kandungan golongan fenol, termasuk flavonoid. Itu baik untuk kesehatan sel,” kata Prof. Mangestuti pada Jumat, 26 April 2024, yang telah saya tulis menjadi artikel Cek Fakta di Generasi News. Namun yang jadi persoalan, menurut Prof. Mangestuti, uji antikanker masih perlu dilakukan dan penggunaan akar/bajakah untuk pengobatan kanker masih membutuhkan perjalanan panjang, sekitar 8-10 tahun, melalui berbagai tahap-tahap seperti uji aktivitas zat, zat kandungan, standarisasi bahan, hingga uji klinik.
Penting juga, melakukan studi cara penggunaan akar/bajakah, mulai dari bagian akar, batang, dan daun terkait khasiat untuk kesehatan manusia. Sebab, akar/bajakah itu banyak sekali jenisnya, kita tidak tahu jenis akar/bajakah apa saja yang dapat mengobati kanker pada manusia, bila memang memiliki khasiat itu. Sehingga, perlu mempelajari pemilihan bagian tanaman yang dipakai, cara pakainya, cara penyiapan, cara pembuatan, hingga efek samping yang mungkin terjadi.
Pada akhir wawancara, Prof. Mangestuti menegaskan bahwa masyarakat jangan terpancang pada penggunaan akar/bajakah sebagai antikanker saja, padahal belum teruji secara meyakinkan. Namun, dapat manfaatkan khasiat zat golongan fenol yang terkandung pada akar/bajakah untuk mencegah kerusakan sel-sel di dalam tubuh.
Tak hanya Prof. Mangestuti yang memberikan ulasan semacam itu. Situs resmi Kementerian Kesehatan RI melakukan klarifikasi mengenai klaim akar/bajakah untuk mengobati kanker pada manusia, Kepala Balai Besar Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Akhmad Saikhu mengingatkan masyarakat untuk tidak langsung percaya terhadap klaim-klaim terkait akar/bajakah yang dapat mengobati kanker pada manusia, sebab hal itu masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
“Penyembuhan kanker secara kuratif harus melalui penegakkan diagnosis dokter. Penggunaan obat tradisional atau jamu untuk menguatkan daya tahan tubuh boleh saja. Namun, tidak bisa dikatakan itu dapat mengobati kanker,” kata Saikhu pada Kamis, 15 Agustus 2019.
Dari ulasan itu, media-media masih reaksioner membikin artikel populer mengenai khasiat akar/bajakah yang dapat mengobati kanker pada manusia, walaupun belum terbukti secara ilmiah, dan itu mendistorsi sains. Akibatnya, banyak masyarakat menyadur artikel populer itu untuk bahan marketing penjualan akar/bajakah di marketplace dan media sosial dengan iming-iming dapat mengobati kanker pada manusia. Dampak lebih serius, adanya potensi masyarakat memilih mengonsumsi cairan akar/bajakah, dan tidak berobat kanker secara klinis/medis di rumah sakit.
Baca Juga: Jurnalisme Warga sebagai Media Advokasi Daerah Pelosok
Keniscayaan Jurnalisme Bermutu di Era Algoritma
Mengawal Implementasi Perpers Publisher Right untuk Upah Layak Jurnalis dan Jurnalisme Berkualitas
Bahaya "White Lies" dalam Jurnalisme
Sebetulnya, fenomena white lies mudah ditemukan di kehidupan sehari-hari. Seperti menyanjung penampilan teman supaya dia percaya diri, memuji masakan orang lain sebagai bentuk menghargai usahanya yang telah memasak, atau menyetujui pendapat orang lain untuk menghindari konflik interpersonal. Dasarnya, white lies merupakan kebohongan kecil yang dianggap tidak berbahaya dan bertujuan baik.
Namun, dalam konteks jurnalisme, white lies dapat dimaknai sebagai upaya media-media dalam memproduksi artikel populer yang menarik agar pembaca mudah memahami. Awalnya, niat itu tampak baik, sebab media juga memiliki tugas untuk mendidik atau "to educate" masyarakat secara luas. Tetapi, cara semacam itu sangat rentan memangkas substansi, khususnya bila diterapkan pada isu-isu seputar sains.
Setiap membaca artikel populer yang membahas isu-isu seputar sains, media tampak berupaya membawakan sesuatu yang kompleks ke dalam tulisan yang sederhana dan mudah dimengerti orang awam. Kegiatan penyederhanaan semacam itu, apabila tidak dikerjakan oleh jurnalis/redaktur yang memahami sains, potensi mereka mendistorsi sains sangat besar. Masalahnya, tidak banyak jurnalis/redaktur yang mengerti tentang sains, tapi percaya diri mengulas isu-isu seputar sains.
Hal itu, dapat menimbulkan kesesatan pada pembaca. Dan, berakibat pada pengambilan keputusan/kebijakan yang salah dalam menentukan pilihan hidup, secara personal atau kolektif. Contohnya, adanya potensi masyarakat memilih mengonsumsi cairan akar/bajakah, dan tidak berobat kanker secara klinis/medis di rumah sakit. White lies dalam konteks jurnalisme, dapat menyebabkan masyarakat mempercayai informasi yang salah atau tidak lengkap.
Biasanya, artikel populer semacam itu membahas tips-tips kesehatan, seperti obat-obat alami untuk menyembuhkan diabetes, cara menghilangkan jerawat dengan bahan-bahan alami, makanan yang perlu dikonsumsi supaya hamil anak laki-laki, dan sejenisnya. Banyak di antaranya tidak disertai bukti-bukti ilmiah atau menyematkan jurnal penelitian yang mendukung.
Ketika media mendistorsi fakta-fakta, penelitian ilmiah, maupun sains, dampaknya bisa sangat mengkhawatirkan. Masyarakat akan mendapatkan pemahaman yang salah tentang isu-isu seputar sains, seperti kesehatan, climate change, antariksa, atau teknologi, menyebabkan ketakutan yang tidak berdasar, atau sebaliknya, rasa aman yang palsu.
Pengambilan keputusan yang didasarkan pada informasi yang keliru dapat membawa efek domino yang fatal dalam skala besar. Pada tahun 2020-2021, apabila masyarakat salah memahami vaksin Covid-19 karena artikel/berita yang mendistorsi fakta, akibatnya terjadi penurunan jumlah vaksinasi atau peningkatan jumlah kasus positif/kematian yang sebenarnya bisa dicegah.
Akhirnya, untuk menghindari bahaya white lies, jurnalis harus memegang teguh kode etik jurnalistik, termasuk kejujuran, akurasi, dan tanggung jawab. Serta, menentukan jurnalis/redaktur yang betul-betul paham terkait sains. Sebab, menyampaikan informasi ilmiah dengan cara yang mudah dipahami tanpa mengorbankan kompleksitas merupakan tantangan yang harus dihadapi. Media perlu berkomitmen untuk memberikan konteks yang tepat, menghindari penyederhanaan yang berlebihan, dan selalu berusaha mendidik, bukan hanya menghibur atau menarik perhatian.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang jurnalisme