• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Kisah Harimau Jawa di Priangan #2

NGULIK BANDUNG: Kisah Harimau Jawa di Priangan #2

Bagi masyarakat Sunda, harimau bermakna simbolik mistis. Makna ini masih tercermin dalam identitas kekinian: klub Persib dijuluki maung (harimau) Bandung.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Seekor harimau terbunuh di lapangan Kasteel Batavia 1693. Etsa karya Philips dalam Oud en Nieuw Oost-Indien tahun 1726. (Sumber Nusa Jawa: Silang Budaya 1, Denys Lombard, 2005:26)

11 Juni 2024


BandungBergerak.idFelis tigris sondaicus, nama ilmiah harimau besar yang berada Hindia Belanda, pertama kali diusulkan Coenraad Jacob Temminck (1778-1858), Direktur  Rijksmuseum van Natuurlijke Historie, sekarang Museum Nasional Sejarah Alam di Leiden, Belanda. Temminck mengusulkan nama ini dalam buku "Fauna japonica, sive, Descriptio animalium, quae in itinere per Japoniam, jussu et auspiciis, superiorum, qui summum in India Batava imperium tenent, suscepto, annis 1823-1830" pada Volume V yang membahas khusus tentang hewan Mamalia. Buku tersebut merupakan deskripsi hewan-hewan yang dikumpulkan dalam perjalanan Temminck  melintasi Jepang di bawah komando pemerintah Hindia Belanda di Batavia.

"Nous avons déjà fait observer que dans l’Inde archipélagique le Felis tigris ne se trouve jamais dans les régions d’une élévation au dessus de 1200 mètres-sous cette zone équatoriale le Felis tigris sondaicus a sa robe composée d’un pelage court et lisse, sans poils laineux ni feutré (Telah kita amati bahwa di kepulauan Hindia Felis tigris tidak pernah ditemukan di daerah dengan ketinggian di atas 1.200 meter - di bawah zona khatulistiwa ini Felis tigris sondaicus memiliki bulu yang terdiri dari bulu pendek dan halus, tanpa bulu wol atau bulu kempa)," tulis Temminck dalam Fauna japonica Volume 5 (1844), hal. 43.

Deskripsi Temminck tentang harimau di Hindia Belanda hanya sebatas dari kulitnya. Harimau kala itu menjadi salah satu barang yang diimpor ke Jepang. Sentra utama perdagangan untuk barang dagangan yang berasal dari harimau di Asia kala itu berada di Pulau Tsusima, Jepang, salah satu kota yang dikunjungi Temninck.

Temminck tidak secara spesifik menyebutkan Pulau Jawa sebagai asal harimau. Ia hanya menyebutkan Kepulauan Hindia sebagai tempat asal hewan tersebut.

Hampir satu abad kemudian, Reginald Innes Pocock (1863-1947), seorang ahli taksonomi asal Inggris menerbitkan artikel ilmiah berjudul Tigers yang terbit di The journal of the Bombay Natural History Society (1929). Artikel ini merevisi pencantuman nama ilmiah untuk hewan harimau. Pocock  mengusulkan untuk mengubah klasifikasi Harimau ke dalam genus Panthera sama seperti kucing buas lainnya seperit leopard, jaguar, serta singa. Nama ilmiah spesies harimau yang diusulkan Pocock adalah Panthera tigris.

"And since tigers, wherever found, are obviously the 'same' animal, I regard the different kinds that have been described merely as local races, or subspecies, and not as distinct species under the names Tigris tigris, Tigris amurensis, Tigris sondaica etc. (Dan karena harimau, di mana pun ditemukan, jelas merupakan hewan yang 'sama', saya menganggap jenis-jenis berbeda yang dideskripsikan hanya sebagai ras, atau subspesies lokal, dan bukan sebagai spesies berbeda dengan nama Tigris tigris, Tigris amurensis, Tigris sondaica, dll.)," tulis Pocock  (1929).

Pocock mendukung pendapat Schwarz (1912) yang menyebutkan bahwa harimau di Jawa, Sumatera, dan Bali adalah harimau-harimau dengan subspesies yang berbeda dengan membandingkan ukuran tubuh dan pola loreng pada rambut di kulitnya. Pocock kemudian mengusulkan nama ilmiah Phantera tigris sondaica hanya untuk harimau jawa, Phantera tigris sumatrae untuk harimau sumatera, dan Phantera tigris balica untuk harimau bali.

Pertarungan harimau di Blitar sebelum tahun 1880. (Karya H. Salzwedel, Koleksi KITLV 12033, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Pertarungan harimau di Blitar sebelum tahun 1880. (Karya H. Salzwedel, Koleksi KITLV 12033, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Harimau Jawa dalam Teks Sejarah 

Mungkin teks Negarakertagama adalah sumber sejarah yang terhitung paling tua yang menyebutkan keberadaan harimau di nusantara. Negarakertagama adalah kakawin Jawa Kuno karya Mpu Prapanca yang kini telah terdaftar sebagai Memory of the World oleh Unesco tahun 2012. Kakawin tersebut ditulis sekitar tahun 1350 M hingga 1389 M di masa pemerintahan Raja Majapahit, Hayam Wuruk. Majapahit merupakan kerajaan Hindu terakhir di nusantara dan di anggap sebagai salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia. 

Naskah Negarakertagama dituliskan dalam bentuk syair yang terdiri dari 98 pupuh. Tiap pupuh terdiri dari 1-10 “pada”. Salah satunya Harimau disebutkan tersirat dalam Pupuh ke-51 di pada ke-4 dengan kata "mrgendra" yang kira-kira berarti "raja hewan" atau "hewan penguasa hutan". Pupuh tersebut bagian dari kisah perjalanan Hayam Wuruk yang sedang berburu di hutan Nandawa. 

Sejarawan Belanda Bernard H. M. Vlekke dalam bukunya Nusantara Sejarah Indonesia (2008) menginterpretasikan naskah tersebut dalam kisah seorang raja yang sedang berburu hewan-hewan di hutan yang dilakukan dengan mengepung hutan. Sang raja membawa para pemburu mengepung hutan, membakar hutan, dan berteriak-teriak menakut-nakuti hewan-hewan di dalamnya. Dikisahkan para hewan yang terjebak kemudian berkumpul di tengah hutan untuk mengadakan pertemuan untuk mencari jalan keluar. Rusa menyarankan untuk kabur, sementara banteng, babi hutan, dan badak memilih bertarung. Kemudian harimau, sang raja hutan yang mengambil keputusan. 

"Mari kita bedakan yang baik dan buruk di antara para penyerbu kita. Orang-orang kelas bawah akan lari dari hadapan kita. Pendeta-pendeta dari ketiga aliran akan kita lawan, tapi janganlah menentang sang raja, kalau dia ingin membunuhmu, karena dia punya kuasa untuk membunuh segala makhluk.  Shiwa berinkarnasi di dalamnya, dan yang mati di tangannya akan diampuni semua dosanya. Kematian seperti itu akan memberikan lebih banyak berkat bahkan daripada pengorbanan diri di danau suci. Hadiah untukku untuk perbuatan suci itu adalah aku akan dilahirkan kembali, bukan sebagai binatang, tapi sebagai manusia," kata harimau tersebut, mengutip Vlekk (2008). 

Vlekk juga menjelaskan mengenai Harimau dalam makna simbolik yang lain. Ia menukil catatan Stamford Raffles dalam Hitsotry of Java. Dikisahkan, pada satu ketika pejabat tinggi Belanda datang ke Istana Yogya untuk bertemu Sultan. Ia membawa harimau besar dengan rambut putih sebagai hadiah untuk Sultan. Ia berniat membuat Sultan senang dengan hadiah tersebut karena didengarnya sang Sultan sangat suka mengadu harimau dengan banteng. Harimau yang dibawa pejabat tinggi Belanda tersebut langsung dibawa ke lapangan terbuka yang sudah dipasangi kurungan besar di sekelilingnya. Harimau tersebut akan diadu dengan banteng. Sultan dan seluruh penghuni istana kemudian datang menonton. Dalam laga harimau lawan banteng tersebut, sang banteng yang menang. Kemenangan banteng membuat Sultan sangat senang dan menghadiahi pejabat tinggi Belanda tersebut dengan semua hadiah yang diinginkannya. 

"Raffles menjelaskan seluruh cerita ini. Raffles berkata bahwa orang Jawa biasa membandingkan harimau dalam laga-laga seperti itu dengan orang Belanda dan banteng dengan orang Jawa. Karena itu seorang Belanda yang memiliki harimau tak terkalahkan adalah pertanda paling buruk untuk masa depan para raja Jawa, tapi bahwa justru harimau ini terbunuh oleh banteng Sultan adalah pertanda kemujuran besar!" tulis Vlekk (2008).

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Kisah Harimau Jawa di Priangan #1
NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial
NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial #6

Sampul buku Fauna japonica Volume V (1844). (Sumber: biodiversitylibrary.org)
Sampul buku Fauna japonica Volume V (1844). (Sumber: biodiversitylibrary.org)

Simbolisasi Harimau

Di sisi barat Pulau Jawa, di kalangan masyarakat Sunda, harimau ditempatkan dalam makna simbolik mistis. Harimau dipersepsikan sebagai hewan mitologi. Budi Gustaman dan Hilman Fauzia Khoeruman dari  Departemen Sejarah & Filologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran dalam artikel ilmiahnya berjudul "Antara Mitos dan Realitas: Historitas Maung di Tatar Sunda" (jurnal Metahumaniora Nomor 1 bulan April 2019) menyebutkan, harimau bagi masyarakat Sunda dipresentasikan secara khusus sebagai simbol kekuatan. Simbolisasi harimau juga masih tercermin dalam identitas kekinian seperti klub Persib yang dijuluki maung (harimau) Bandung. "Di balik pemaknaan itu, terdapat jejak-jejak historis yang menyebabkan begitu lekatnya maung dalam benak masyarakat Sunda," tulis Budi & Hilman.

Salah satu jejak tersebut ada dalam tradisi lisan berupa mitos tentang harimau. Masyarakat Sunda misalnya mengenal mitos maung sebagai jelmaan Prabu Siliwangi. Budi & Hilman mendapati mitos dengan isi yang nyaris seragam, tentang harimau dan Prabu Siliwangi  tersebut muncul di beberapa tempat di tanah Sunda. Satu kisah menyebutkan Prabu Siliwangi yang menghindari kejaran anaknya, Prabu Kean Santang yang ingin mengajaknya memeluk Islam. Hingga pengejaran tersebut berakhir di Hutan Sancang di Garut Selatan, di sana dikisahkan sang Prabu Siliwangi berubah menjadi harimau putih dan pengikutnya menjadi harimau sancang. Kisah yang hampir seragam ditemukan di sejumlah tempat di Tatar Sunda. Di antaranya di Gunung Salak, Gunung Gede, dan wilayah Surade Sukabumi.

Budi & Hilman  mencontohkan di Surade terdapat tradisi lisan yang dikenal dengan Carita Maung Pajajaran. Ada tiga versinya yang beredar. Pertama tentang pengkhianatan dan usaha balas dendam Jaya Antea terhadap Prabu Siliwangi yang merebut kekasihnya; sehingga Prabu Siliwangi menghilang dan pasukannya berubah menjadi harimau. Versi kedua mengisahkan pengejaran Kian Santang hingga memojokkan Prabu Siliwangi yang kemudian mengilang, namun pimpinan pasukan yang bernama Sanggabuana berubah menjadi harimau di wilayah Pasir Ucing Surade. Dan versi ketiga versi naskah Wawacan Perbu Kean Santang yang menyebutkan Prabu Siliwangi dan pengikutnya berubah menjadi harimau di Hutan Sancang.

Selain dikaitkan dengan Prabu Siliwangi, ada beberapa mitos lainnya tentang harimau yang beredar di masyarakat Sunda. Di antaranya keberadaan manusia harimau yang dipercaya masyarakat Panjalu Ciamis dalam tradisi lisan Carita Maung Panjalu, sakralisasi lokasi yang dikeramatkan sebagai lokasi pesugihan harimau, juga beredar mitos yang meyakini jika seorang menak meninggal dunia akan menjadi harimau, lalu ada juga mitos pamali menyebutkan kata maung di sejumlah lokasi yang dikeramatkan. Jika ditarik persamaannya, semua mitos tersebut merepresentasikan adanya kesan pengagungan dan ketakutan manusia pada harimau. Budi & Agus (2019) meyakini hal tersebut sebagai indikasi bahwa peristiwa penyerangan manusia oleh harimau pada zaman dulu memang sering terjadi.

Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya (2005) memberikan ilustrasi tentang keadaan Jawa yang sangat berbeda dengan situasi kini. Lombard mengacu pada sumber-sumber sejarah sebelum abad ke-19 yang menggambarkan wilayah Jawa sebagai daerah dengan permukiman penduduk  yang saling berjauhan, umumnya berada dalam kepungan hutan. Keadaan alam Jawa tersebut yang menjadi latar dari penceritaan kisah epos dan wayang yang beredar di masyarakat Jawa yang umumnya menggambarkan perjalanan sang tokoh melewati hutan rimba yang pekat. "Bepergian dari satu cerang rimba yang satu ke cerang rimba yang lain yang merupakan perjalanan jauh yang berbahaya di tengah alam yang tak ramah dan penuh perangkap,” tulisnya.

Menjelajahi alam Jawa kala itu tidak gampang. Pasukan yang bepergian dalam rombongan saja mewajibkan prajurit yang ada di dalamnya punya bekal ketangkasan untuk mengarungi rimba. Bertualang seorang diri untuk menjelajahi hutan bukan hal yang umum karena memerlukan lebih dari sekadar ketangkasan untuk selalu waspada menghadapi sergapan hewan buas yang membahayakan nyawa.

Lombard dalam bukunya menunjukkan etsa karya Philips dalam Oud en Nieuw Oost-Indien tahun 1726 yang melukiskan seorang prajurit menembak seekor harimau yang masuk ke dalam Lapangan Kasteel Batavia pada tahun 1694. Etsa tersebut menggambarkan situasi Batavia di abad ke-17 yang bisa saja sewaktu-waktu ditemukan harimau berkeliaran di sana. Sulit membayangkan di tengah Jakarta tiba-tiba berkeliaran harimau. Namun itu dulu. (Bersambung)

*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman. Simak tulisan-tulisan lain Ahmad Fikri atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Hindia Belanda 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//