• Buku
  • RESENSI BUKU: Perempuan di Titik Nol, Menyuarakan Keadilan dalam Jeruji Patriarki

RESENSI BUKU: Perempuan di Titik Nol, Menyuarakan Keadilan dalam Jeruji Patriarki

Kisah novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal el-Saadawi yang terbit pertama tahun 1977 masih relevan dengan persoalan yang dihadapi perempuan hingga saat ini.

Sampul novel Perempuan Di Titik Nol karya Nawal el Saadawi. Diterjemhkan oleh Amir Sutaarga terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia cetakan ke-18 tahun 2022. (Foto: Helni Sadiyah/BandungBergerak.id)

Penulis Helni Sadiyah15 Juni 2024


BandungBergerak.id – Permasalahan perempuan masih menjadi isu yang kompleks dan mendesak. Menurut data dari situs resmi Komnas Perempuan, terdapat 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia pada tahun 2023. Meskipun angka ini menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya, jumlah tersebut masih belum mencerminkan data sebenarnya karena banyak kasus yang belum terlaporkan. Dalam konteks ini, karya-karya seperti “Perempuan di Titik Nol” oleh Nawal el-Saadawi menawarkan perspektif kritis bagi perempuan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Buku “Perempuan di Titik Nol” atau yang dikenal dalam bahasa Arab sebagai “Emra’ah ‘Enda Noktah al Shifr” adalah salah satu karyanya yang menggugah dan mengguncang. Buku ini menggambarkan ketidakadilan yang dialami seorang perempuan di bawah dominasi sistem patriarki yang menindas.

Nawal el-Saadawi adalah seorang feminis, aktivis, dokter, dan psikiater Mesir, adalah seorang perempuan yang berani menentang norma-norma patriarki yang kaku dan represif di negaranya. Karya tulisnya sering kali menjadi cerminan dari pergulatannya dengan masyarakat yang konservatif. Tidak jarang, keberaniannya dalam menulis mengundang reaksi keras, bahkan sampai dilarang oleh pemerintah Mesir dan mendapat kecaman dari kalangan agamawan konservatif.

Cerita dalam novel ini merupakan kisah nyata yang ditulis Saadawi ketika ia sedang melakukan penelitian mengenai neurosis pada wanita Mesir di penjara Qanatir tahun 1974. kondisi perempuan Mesir pada saat itu sangat memprihatinkan, dengan banyaknya perempuan yang mengalami penindasan dan ketidakadilan akibat buaya patriarki yang kaku dan represif. Perempuan sering kali tidak memiliki akses ke pendidikan, pekerjaan, dan kebebasan pribadi, serta rentan mengalami kekerasan fisik dan psikologis.

Salah satu perempuan yang ia temukan di Qanatir adalah Firdaus, ia kemudian menceritakan kisah hidupnya dari masa kecilnya yang hidup dalam belenggu kemiskinan hingga kehidupan dewasanya sebagai seorang pelacur. Nawal dengan berani mengeksplorasi isu-isu perempuan yang dianggap tabu melalui penggunaan bahasa yang lugas dan langsung.

Membaca Perempuan di Titik Nol adalah pengalaman yang mendalam dan menggugah. Saya merasa terhanyut dalam penderitaan dan perjuangan Firdaus, dan buku ini benar-benar membuka mata saya terhadap realitas pahit yang dihadapi banyak perempuan. Ketika menyelesaikan buku ini, saya merasa marah, sedih, tetapi juga termotivasi untuk berbuat lebih banyak dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.

Kekuatan buku ini terletak pada keberanian Nawal el-Saadawi dalam menulis tentang topik yang sering dianggap tabu dan mengungkapkan kebenaran yang menyakitkan. Pada beberapa bagian, narasi terasa sangat berat dan emosional, yang mungkin bisa membuat pembaca merasa tertekan. Meski demikian, buku ini sangat penting dan wajib dibaca oleh siapa saja yang peduli terhadap isu kesetaraan gender dan hak asasi manusia.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Kisah Kakek Tua Berburu Macan Kumbang dan Kerusakan Hutan Kita
RESENSI BUKU: Alternatif Belajar Sejarah yang Menyenangkan
RESENSI BUKU: Menyelaraskan Hubungan Batin Manusia

Ketidakadilan Gender dan Hegemoni Kekuasaan Laki-Laki

Menjadi seorang perempuan tidaklah mudah bagi Firdaus, di lingkungan keluarganya yang konservatif dan patriarki, seorang perempuan selalu mendapat perlakuan yang tidak adil dan dinilai lebih rendah dari laki-laki. Ketidakadilan ini tergambar pada sikap Ibu firdaus yang lebih mementingkan Ayah Firdaus dan membedakan anak laki-laki dan perempuan.

Dalam budaya patriarki, peran laki-laki yang sangat dominan hal ini menciptakan perempuan sebagai makhluk kelas dua. Akibat dari budaya patriarki ini, sejak kecil Firdaus sang tokoh utama kerap kali mengalami tindak kekerasan dan sewenang-wenang dari laki-laki.

Ayah Firdaus adalah sosok yang ditakuti dalam keluarganya. Tokoh Ayah ini menyimbolkan ketidakadilan dan ketimpangan dalam relasi gender.

“Jika salah satu anak perempuan mati, ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti itu ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul ibu kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur.” (hlm. 26)

Seorang laki-laki diperlakukan sebagai individu nomor satu di antara individu-individu lainnya. Relasi ini menunjukkan ketidaksetaraan di dalam sebuah keluarga, perempuan mengalami dampak budaya patriarki. Begitu juga dalam lingkungan sosial, tokoh Firdaus kerap mengalami ketidakadilan karena ia seorang perempuan.

Dalam ranah pendidikan, Firdaus perempuan tidak bisa mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Firduas sangat mengidolakan pamannya dan berkeinginan untuk menimba ilmu di El Azhar seperti pamannya, namun hanya karena ia seorang perempuan ia tidak diperbolehkan berpendidikan sebab pada saat itu sebuah Universitas hanya diperuntukkan untuk laki-laki.

“Apakah yang akan kau perbuat di Kairo, Firdaus?

Lalu saya menjawab “Saya ingin ke El Azhar dan belajar seperti paman.”

Kemudian ia tertawa dan menjelaskan bahwa El Azhar hanya untuk kaum pria saja. (hlm. 21)

Pengalaman Pelecehan dan Kekerasan

Pelecehan yang dialami oleh Firdaus telah terjadi ketika ia masih kecil, lingkungan keluarga yang seharusnya memberikan rasa aman dan perlindungan, justru menjadi tempat pertama di mana ia mengalami pelecehan.

“Saya melihat tangan paman saya bergerak-gerak dibalik buku yang sedang Ia baca menyentuh kaki saya. Saat berikutnya saya merasakan tangan itu menjelajahi paha saya.”(hlm. 19). 

Setelah kematian ayah dan ibunya, firdaus tinggal bersama pamannya yang merupakan anggota keluarga satu-satunya yang ia miliki. Ketika tinggal bersama pamannya, Firdaus mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang layak namun pelecehan masih tetap terjadi padanya. Firdaus tidak menyadari akan hal itu, dan menganggapnya sebuah perlakuan yang normal.

Pada usia remaja setelah kelulusan sekolah,Firdaus dijodohkan dengan seroang lelaki tua yang merupakan kerabat istri pamannya, Syekh Mahmoud. Namun, dalam pernikahannya, Firdaus mengalami berbagau kekerasan fisik dari suaminya.

 “Pada suatu peristiwa ia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya. Muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. Lalu saya tinggalkan rumah dan pergi ke rumah paman.”(hlm. 70)

Di dalam budaya patriarki, tindakan kekerasan seperti itu dianggap sebagai hal biasa, terutama ketika suami memukul istrinya. Bahkan, pamannya sendiri mengakui bahwa ia juga sering memukul istrinya, dan menegaskan bahwa kewajiban seorang istri adalah patuh dan taat.

Peristiwa-peristiwa menyedihkan terus dialami Firdaus sampai akhirnya ia menjadi seorang wanita penghibur.

Perlawanan dan Pencarian Kebebasan

Pengalaman demi pengalaman yang dialami oleh Firdaus sejak kecil memberikan pelajaran kepada Firdaus bahwa identitasnya sebagai seorang perempuan hanyalah dijadikan sebagai objek yang dapat ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang. perlakuan sewenang-wenang yang diterima Firdaus mengajarkan bahwa ia juga pantas menerima sebuah kebebasan, tanpa kontrol dan siksaan dari laki-laki. 

Dalam mencapai kebebasannya, Firdaus sampai pada permenungan bahwa peran laki-laki dalam budaya patriarki mempunyai peran besar membentuknya menjadi seorang pelacur.

“Saya tahu bahwa profesi saya diciptakan oleh seorang laki-laki. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang istri yang diperbudak.” (hlm. 133)

Perempuan di Titik Nol telah memberikan dampak yang signifikan tidak hanya di Mesir tetapi juga di seluruh dunia. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan menjadi bahan diskusi di berbagai forum internasional tentang hak-hak perempuan. Keberanian Nawal el-Saadawi dalam mengungkap realitas pahit yang dialami oleh perempuan di bawah rezim patriarki telah menginspirasi banyak aktivis dan penulis untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender. Buku ini juga berperan penting dalam meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan memperjuangkan hak-hak mereka di berbagai negara.

Informasi Buku

Judul: Perempuan Di Titik Nol

Penulis: Nawal el Saadawi

Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Penerjemah: Amir Sutaarga

Pengantar: Mochtar Lubis

Cetakan: Cetakan kedelapan belas, Maret 2022

Tebal: xxiv + 176 hlm (11 x 17 cm)

ISBN: 978-602-433-438-3

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Helni Sadiyah, atau membaca artikel-artikel lain tentang Resensi Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//