• Narasi
  • Batu Karang, Band Anak SMA Asal Bandung Penggoncang Istora Senayan Jakarta 1967

Batu Karang, Band Anak SMA Asal Bandung Penggoncang Istora Senayan Jakarta 1967

Harry Pochang saat SMA tahun 1965 mendirikan band rock “Batu Karang”. Harry Roesli kemudian bergabung. Manggung di pesta rumahan hingga Istora Senayan Jakarta.

Ojel Sansan Yusandi

Penulis buku Bandoeng Waktoe Itoe, pegiat Klab Belajar Merdeka, dan Veskil

Harry Pochang (kiri, memegang biri-biri), Harry Roesli (berdiri), dan Albern Warnerin (jongkok) dalam formasi The Gang of Harry Roesli. (Sumber: djarumcoklat.com)

21 Juni 2024


BandungBergerak.id – Siapa yang tak kenal Harry Roesli? Siapa pula urang Bandung –terutama para musisinya yang tahu sejarah musik Kota Kembang– yang setidaknya tak pernah dengar nama Harry Pochang? Kedua nama tersebut seolah tak bisa dipisahkan. Kedua Harry tersebut merupakan dedengkot band bernama The Gang of Harry Roesli yang kesohor di era 1970-an, dengan atraksi panggungnya yang kerap teaterikal.

Jika Harry Roesli kemudian pada 1979 mendapatkan beasiswa dari Ministerie Cultuur, Recreatie en Maatschapelijk Werk (CRM) untuk berkuliah di Jurusan Musik Elektronik di Rotterdam Conservatorium, maka Pochang bersama kawan-kawan membuat rock operet (opera kecil), yang popular dengan sebutan “kabaret”, dengan mengandeng anak-anak SMA di Bandung yang ingin menyuguhkan pertunjukan alternatif di sekolah mereka. Pada 1980, Pochang dkk. membentuk pula band bernama Jack Daniels.

Baca Juga: BUKU BANDUNG #55: Maestro Musik Si Bengal Harry Roesli
Ketakutan Rezim Orde Baru pada Musik dan Pemuda Berambut Gondrong
Musik Metal dan Generasi Muda Radio (GMR) Bandung

Batu Karang

Tersebutlah pada 1962, seorang ABG bernama Harry Krishnadi masuk SMP Negeri 2 Bandung. Di sekolah yang terhitung favorit itu gairah bermusik Harry makin menggebu karena di sinilah ia bisa melihat penampilan band bocah Aneka Buyung. Di SMP ini pula ia berkenalan dengan seorang adik kelas bernama Harry Roesli, anak blasteran Sunda-Minang yang berumah di Jl. Supratman.

Selulus SMP, Harry Pochang –begitu ia kemudian dipanggil (awalnya dipanggil Peucang)– masuk SMA Negeri 2 Bandung tahun 1965. Ketika di SMA 2, remaja kelahiran 1949, anak pertama dari tiga bersaudara (kedua adiknya lelaki) ini mulai bikin sebuah band rock. Namanya Batu Karang, bersama anak-anak tetangga, membawakan lagu-lagu The Rolling Stones, agar terdengar nakal. Saat itu hanya ada dua pilihan yang paling keren bagi sebuah band rock di Bandung dalam mengkaver lagu: Rolling Stones atau Beatles. Penamaan Batu Karang jelas memperlihatkan kecenderungan musikalitas band ini –Stones banget.

Batu Karang dipunggawai Cecep (vokal, bas), Deddy (drum), Buce (gitar, vokal), dan Pochang (gitar). Tak lama, Harry Roesli masuk jadi pembetot bas, menggantikan Cecep yang semula main bas. Sama seperti ketika di SMP 2, Harry Roesli merupakan adik kelas Pochang di SMA 2. Tak seperti di rumah Pochang dan rumah personil lainnya, di rumah Harry Roesli sudah tersedia alat musik yang lengkap.

Panggung Batu Karang masih sebatas di pesta-pesta rumahan seperti pesta ulang tahun. Manggungnya pun di dalam rumah, bukan di pekarangan, dihiasi bebalonan dan dekorasi rerawisan, mulainya jam 8 malam dan berakhir tengah malam. Yang hadir adalah kawan-kawan sekolah dari orang yang sedang berulang tahun. Alat-alatnya bawa sendiri. Salah seorang tetangga Pochang adalah Syamsul, personil Rhapsodia, yang punya alat musik di rumahnya. Dari Syamsullah, Pochang meminjam alat musik jika hendak manggung di pesta rumahan. Di pesta rumahan ini, band yang tampil hanya satu dan bertugas menghibur hadirin yang ajojing –istilah untuk dance atau joget saat itu.

Di era ini Pochang mulai belajar harmonika secara serius. “Saat itu lubang harmonikanya masih banyak. Saya akalin dengan menutupnya pake plester biar lubangnya berkurang,” kisah Pochang (dari wawancara dengan penulis di Atap Class, 3 Februari 2020).

Lagu yang dipakai Pochang sebagai bahan ajar belajar harmonika adalah “2021 South Michigan Avenue” Rolling Stones. Ketika masih bocah sebenarnya ia sudah punya harmonika dari plastik, tapi belajarnya otodidak karena merasa susah mencari guru harmonika kala itu.

Hanya Deddy sang drumer yang sudah kuliah, sedangkan personil Batu Karang lainnya masih anak SMA. Karena masih anak SMA, mereka tak memanjangkan rambut –padahal sangat ingin berambut gondrong. “(Rambut) gak boleh lewat kerah baju,” kenang Pochang, menggambarkan bagaimana rezim Orde Lama melarang anak muda berambut gondrong dan memainkan musik “ngak-ngek-ngok”.

Batu Karang merupakan band kaver, sebagaimana grup-grup era 1960-an. Semua band masih copycat, ingin mirip band yang dikavernya. “Makin persis, makin bagus,” tutur Pochang. Bahkan, gaya busana Cecep sang vokalis di mirip-miripkan dengan fesyennya Mick Jagger. “Tapi dia lebih kasep (tampan) ketimbang Mick Jagger,” ungkap Pochang setengah becanda.

Pochang masih ingat betul, pertama kali Batu Karang manggung dan dibayar adalah ketika tampil di acara kawinan di sebuah gedung. Kalau manggung, bayarannya sekitar Rp 150-200 ribu –bayaran yang sangat lumayan di zaman itu.

Manggung di Istora

Suatu hari, akhir 1967, ketika rezim Orde Baru mulai berkuasa, Batu Karang diminta manggung di Istora Senayan Jakarta. Di acara ini main juga Bharata yang khusus membawakan The Beatles— band yang diidolakan Pochang dkk. Maka, tak berpikir dua kali, Batu Karang segera berangkat ke ibukota untuk tampil di acara bergengsi tersebut. Malah, Pochang nekad bolos sekolah tiga hari, pakai mobil salah satu personil yang juga kabur dari rumah.

Di hari H, Batu Karang tampil di Istora Senayan yang dijejali penuh penonton, membawakan nomor-nomor Rolling Stones, di mana aparat ABRI sebagai pihak keamanan pun ikut nonton. Tak cuma nomor-nomor The Stones, mereka juga membawakan lagu The Stooges. “Pokoknya jangan Beatles. Beatles terlalu manis,” mereka sepakat. Di saat mereka tampil, sepanjang manggung para penonton se-Istora berseru-seru, “Turuuun, turuuun, turuun!” Tapi, the show must go on. Saking kedernya, sang drumer lupa mengikat bass-drum, sehingga bass-drumnya maju saat digebuknya. Pochang dkk. ingin juga tertawa, bercampur malu. Ya, sebelum Batu Karang, yang tampil adalah Deselina-Miselina yang berbusana rapi dan membawakan lagu-lagu pop. “Kita memang rebel, ceritanya,” kisah Pochang.

Pulang ke Bandung, Pochang pun dimarahi orangtua di rumah dan guru di sekolah. Tapi ia dan kawan-kawan tak ambil pusing; toh mereka sudah manggung. Anak muda yang berontak kerap selalu melawan otoritas.

Lulus SMA

Riwayat Batu Karang berakhir setelah mereka lulus SMA. Cecep, walau nakal semasa sekolah, berhasil masuk ITB dan fokus kuliah dan tak lama kemudian berumah tangga. Harry Roesli pun bikin band lagi, Tippis, bareng kawan-kawan kampus ITB. Pochang sendiri masih tetap berinteraksi dengan Harry Roesli walau Batu Karang sudah bubar.

Dasar takdir tak bisa dipungkir. Tahun 1968, serampung SMA, Pochang kuliah di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad). Ia sebenarnya pernah daftar di Fakultas Seni Rupa ITB tapi gagal (kemudian dua kali mencoba lagi, tapi gagal terus). Semasa kuliah, Pochang tetap nongkrong di Dago bersama kawan-kawan –selain di Ciumbuleuit. Ia lalu bikin geng yang nongkrongnya di Dago bernama Jack C’lons.

Jack C’lons Ini bukan geng motor, melainkan “geng pesta”, yang selanjutnya berubah menjadi band dengan nama yang sama dengan personil: Djoko (gitar), Wandy Kuswandi (bas), Ducky (vokal), Ibung (drum), dan Pochang (gitar).

Adapun pertemanan Pochang dengan Harry Roesli tetap terjalin. Kadang ia menginap di rumah Harry Roesli, atau sebaliknya. Berdua mereka genjrang-genjreng pakai gitar, mulai bikin lagu-lagu baru. Salah satunya adalah “Malaria”, lagu yang kelak termuat dalam album perdana The Gang of Harry Roesli, Philosophy Gang, tahun 1973.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang musik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//