• Berita
  • Gabungan Buruh Jawa Barat: Tapera, Tambahan Penderitaan Rakyat

Gabungan Buruh Jawa Barat: Tapera, Tambahan Penderitaan Rakyat

Selama ini kenaikan upah buruh tidak besar, bahkan ada yang hanya 1 persen. Bagi buruh Jawa Barat, potongan 2,5 persen Tapera jelas tak masuk akal.

Buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak rencana pemerintah terkait Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera di depan DPRD Provinsi Jawa Barat di Bandung, 20 Juni 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Emi La Palau20 Juni 2024


BandungBergerak.idGabungan serikat buruh serikat pekerja Jawa Barat menggelar aksi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jabar, Kamis, 20 Juni 2024. Mereka menuntut pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah (PP) 21 tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Tapera memberatkan kelas buruh.

Saat ini, beban buruh sudah cukup banyak. Mereka harus menerima beragam potongan dari gaji yang tidak seberapa. Mulai dari potongan BPJS Kesehatan, BPJS Ketenaga Kerjaan, tunjangan hari tua, potongan kematian, potongan kecelakaan kerja, hingga potongan pajak PPH 21. Jika ditambah potongan 2,5 persen Tapera, hal ini akan semakin membebani buruh dan rakyat kecil. Ditambah lagi kenaikan upah buruh masih jauh dibandingkan inflasi.

Ketua DPD FSP LEM SPSI Jabar Muhamad Sidarta mengungkapkan bahwa harapan mereka ketika datang ke DPRD Jabar karena Tapera ini menjadi beban yang semakin berat bagi buruh dan pengusaha. Sebagai wakil rakyat DPRD diharapkan akan memberikan dukungan resmi untuk membetalkan, bukan menunda PP Tapera.

“Karena kenapa harus kita tolak, buruh sudah terlalu banyak potongannya,” ungkap Muhamad Sidarta saat ditemui Bandungbergerak.id di depan gedung DPRD Jabar.

Menurutnya, jika Tapera disahkan, kaum buruh seandainya keluar kerja atau PHK akan menerima potongan sampai 35 persen. Potongan sebesar ini dinilai sebagai pemalakan alih-alih mensejahterakan nasib buruh.

Selama ini, kata Sidarta kenaikan upah buruh sedikit-sedikit. Bahkan ada buruh yang kenaikan upahnya hanya 1 persen, jumlah ini jauh lebih kecil dari potongan Tapera. Sidarta berharap melalui aksi ini pihaknya mendapatkan surat rekomendasi secara resmi dari DPRD Jabar tentang penolakan Tapera.

“Lah, kalau cuman malakin rakyat, semua juga bisa jadi presiden, bisa jadi menteri, bisa jadi DPR RI. Kan harus mensejahterakan rakyat, harus melindungi rakyat, harus mencerdaskan rakyat, amanahnya undang-undang kan begitu,” papar Sidarta.

Hal serupa disampaikan Koordinasi KASBI Jabar Sudaryanto yang menegaskan bahwa PP Tapera semakin menambah beban hidup bagi masyarakat. Buruh telah dibebani banyak hal, mulai dari kenaikan harga sembako, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dan juga kenaikan pajak. Jika aturan Tapera dijalankan, buruh menilai kebijakan ini sebagai kejahatan bagi masyarakat.

“Bagi kami selaku serikat buruh ini murni kejahatan negara, rezim saat ini terhadap buruh dan rakyat Indonesia. Kejahatan ini. Karena tidak bisa mensejahterakan tapi memotong upah yang sudah sangat minim yang ada di Indonesia,” ungkap Sudaryanto.

PP Tapera: Tambahan Penderitaan Rakyat

Ketua SBSI 92 Jabar Ajat Sudrajat mengungkapkan, aksi kali ini merupakan pemanasan awal dan serentak dilakukan oleh buruh di beberapa daerah dengan tuntutan yang sama yakni pencabutan PP Tapera. Pihaknya akan memberikan draf penolakan yang akan disampaikan ke DPRD Jabar untuk diteruskan ke presiden dan DPR RI. Ajat berharap draf penolakan tersebut diterima. Jika tidak, maka buruh akan terus melawan.

Menurutnya, PP 21 tahun 2024 tentang Tapera ditolak oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari buruh, pengusaha, ASN, Polri, dan TNI.

“Semua menolak, karena berat dengan beban yang harus dipikul oleh seluruh rakyat Indonesia hari ini. Dan terus terang kawan-kawan, Tapera ini menjerat, menjerat dan merampok, merampas seluruh kekayaan rakyat, rakyat Indonesia, bukan kekayaan negara, kekayaan rakyat Indonesia,” ungkapnya.

Ia sudah bisa menebak pelaksanaan Tapera nantinya akan susah dicairkan. Rakyat juga tidak akan mudah mendapatkan rumah. “Bayangkan, perumahannya tidak ada, iurannya diambil sebesar-besarnya, nanti dikeluarkannya susah banget,” kata Ajat.

Ia mengeluhkan, tapera menjerat semua buruh, bahkan upah buruh yang sudah memiliki rumah pun mesti dipotong untuk Tapera. Nantinya buruh juga akan kesulitan untuk mengambil dana yang sudah dipotong tersebut. Maka, tidak ada jalan lain selain aturan Tapera ini dicabut.

“Jadi kami bukan menolak satu pasal di Tapera itu sendiri, tapi kami tolak  seluruh PP 21/2024 tentang tambahan penderitaan rakyat,” kata Ajat.

Selanjutnya, buruh masih akan menggelar aksi lanjutan pada Senin 24 Juni 2024. Secara nasional, aksi akan menolak Tapera digelar di depan Kementerian Keuangan, Istana Presiden, dan DPR RI pada 27 Juni 2024.

Selain menolak Tapera, aksi tersebut akan menyuarakan penolakan terhadap Undang-undang Cipta Kerja (omnibus law), juga penolakan terkait peraturan Kementrian Perindustrian Perdagangan yang mensahkan dan membuka seluas-luasnya barang impor yang masuk ke Indonesia.

Ketua SPN Jabar Dadan Sudiana menyatakan, Tapera sebagai upaya pemerintah menangani defisit anggaran yang sekarang sudah mencapai 3.000 triliun rupiah. Mengatasi beban anggaran dengan membebani rakyat melalui Tapera menurut Dadan jelas pemerasan.

“Ini rakyat yang diperas. Ini pemerasan, tidak ada rumahnya. Tabungan perumahan tapi rumahnya ngak ada. Jadi ini hanya iming-iming saja, supaya bisa mengambil uang dari rakyat dan dari buruh,” ungkapnya, seraya menegaskan Tapera harus dicabut, bukan hanya ditunda.

Baca Juga: PP Tapera, Mimpi Buruk Kelas Pekerja, Beban Bagi Pengusaha
Data Upah Minimum Kota Bandung 2002-2023: Tren Kenaikan dalam Bayang-bayang Unjuk Rasa Buruh
Upah Buruh-buruh Kafe di Bandung Sepahit Biji Kopi

Buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak rencana pemerintah terkait Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera di depan DPRD Provinsi Jawa Barat di Bandung, 20 Juni 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak rencana pemerintah terkait Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera di depan DPRD Provinsi Jawa Barat di Bandung, 20 Juni 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Semakin Memberatkan Kaum Buruh Perempuan

Keluhan terkait regulasi Tapera juga datang dari buruh perempuan. Iseu Kurniasih, anggota KASBI Rancaekek menegaskan, Tapera sangat merugikan untuk kaum buruh. Saat ini, buruh sudah begitu banyak membayar potongan karena kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada buruh.

Saat ini, Iseu sebagai buruh sudah pontang panting mencari tambahan pemasukan untuk menutupi biaya hidup sehari-hari. Gaji yang tak seberapa tentu tak cukup untuk membayaran potongan lainnya dan biaya hidup ia dan keluarga. Seharusnya, ini menjadi tanggung jawab pemerintah bukan dibebankan kepada buruh. 

Iseu sudah 26 tahun kerja di pabrik tekstil Rancaekek. Kenaikan gajinya tahun ini tak sampai 1 persen. Kini hadir Tapera dengan potongan 2,5 persen.

“Sementara sekarang keputusan pemerintah sangat biadab kalau menurut aku. Mana yang katanya mau mensejahterahkan rakyat, yang ada hanya mencekik rakyat,” ungkap perempuan 44 tahun tersebut.

“Ditambah harga kebutuhan pokok naik, itu sangat berpengaruh untuk kami kaum ibu rumah tangga. Harus memenej uang dengan ekstra hati-hati, jadi kebutuhan yang tidak penting kita abaikan, untuk saat ini bagi saya Tapera (tidak penting). Kita bisa makan sudah alhamdulillah, itu juga dengan upah yang tak seberapa,” tambahnya.

Buruh perempuan lainnya, Ketua SBSI 92 Subang Trivellawuri mengatakan, saat ini mesti membiayai hidup ketiga anaknya seorang diri. Sebagai ibu tunggal setelah bercerai dengan suaminya pada 2023 lalu, Vella, demikian ia biasa disapa, mesti memikirkan biaya kuliah anak pertamanya yang akan masuk kuliah di tahun ini. Belum lagi anak keduanya masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, dan biaya susu dan pokok si bungsu. Hadirnya Tepera menambah beban hidupnya.

Di tengah minim keberpihakan pemerintah, buruh perempuan dituntut selalu tangguh. Mereka harus bekerja untuk membiayai dapur sekaligus membiayai pendidikan anak-anaknya. Ditambah saat ini, harga-harga sembako juga ikutan naik, sementara gaji buruh naik tak seberapa. UMK Subang hanya 3,2 juta rupiah yang belum dipotong berbagai kewajiban lainnya.

“Sangat merugikan sekali, karena apa, kita kan untuk potongan di perusahan aja nyampe 11 persen. Sedangkan kenaikan gaji aja nggak nyampe 1 persen, nol koma,” ungkap Vella, kepada Bandungbergerak.id, di sela-sela aksi.

Bagi orang tua tunggal seperti Vella, kebijakan Tapera jelas amat menyengsarakan. Ia dan buruh lainnya berharap Tapera segera dicabut.  

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Emi La Palau, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Situasi Perburuhan di Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//