• Berita
  • PP Tapera, Mimpi Buruk Kelas Pekerja, Beban Bagi Pengusaha

PP Tapera, Mimpi Buruk Kelas Pekerja, Beban Bagi Pengusaha

Pemerintah seharusnya membenahi sistem perburuhan daripada mengurus Tapera. Status kerja dan upah rendah saat ini menyulitkan kelas pekerja memiliki rumah sendiri.

Aksi buruh pada peringatan May Day di Taman Cikapayang, Bandung, 1 Mei 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Noviana Rahmadani6 Juni 2024


BandungBergerak.id – Rakyat khususnya kelas pekerja kembali dibebani pengeluaran yang diwajibkan negara, yaitu Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Presiden Joko Widodo telah menandatangani payung hukum tapera melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024, merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Alih-alih mensejahterakan rakyat, PP Tapera menambah beban rakyat. Pekerja diwajibkan menanggung 2,5 persen dari pungutan 3 persen yang ditetapkan.

Cecep Hermawan (48 tahun), pekerja di salah satu pabrik di Rancaekek mengaku keberatan soal PP Nomor 21 Tahun 2024. Meskipun upah yang diterimanya sudah mencapai Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), potongan Tapera jelas-jelas menambah beban finansial para pekerja.

Kelas pekerja sebelumnya telah memikul tanggungan lewat pemangkasan upah dengan rincian; untuk BPJS Kesehatan sebesar 1 persen, BPJS Ketenagakerjaan soal tanggungan Jaminan Hari tua (JHT) sebesar 2 persen, dan Jaminan Pensiun (JP) 1 persen.

Tak sampai di situ, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 menyebutkan bahwa bagi pekerja dengan upah di atas 5.400.000 rupiah akan dikenakan tarif pajak.

“Nah, sekarang kalau ditambah lagi, kita harus iuran lagi, atau nabung dipaksa, gitu kan. Itu sangat memberatkan sih, gitu,” ungkap Cecep Hermawan, saat dihubungi BandungBergerak, Rabu, 5 Juni 2024.

Cecep Hermawan menyarankan, semestinya pemerintah segera membenahi sistem kerja yang masih semrawut. Sistem perburuhan saat ini merugikan buruh, terutama dengan adanya status kontrak maupun outsourcing yang menyebabkan ketidakpastian status kerja buruh. Sistem perburuhan ini menyulitkan buruh untuk memiliki rumah sendiri.

“Ada sistem kerja kontrak apalagi sekarang sudah marak outsourcing. Mereka bisa 6 bulan, 1 tahun sudah bisa di-PHK. Bagaimana mau mengambil rumah gitu. Kalau posisi kerja mereka sendiri tidak aman,” kata Cecep.

“Pemerintah pun sebenarnya harusnya berpikirnya bukan soal Tabungan Perumahan Rakyat ini tetapi di perbaikan sistem kerja, outsourcing harusnya dicabut,” tegas Cecep.

Aksi buruh pada peringatan May Day di Taman Cikapayang, Bandung, 1 Mei 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Aksi buruh pada peringatan May Day di Taman Cikapayang, Bandung, 1 Mei 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

PP Tapera Merugikan Buruh dan Pengusaha

Menurut Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), kehadiran PP Tapera membuat pening pekerja di mana kebutuhan mendasar seperti bahan pangan murah belum terpenuhi secara optimal, mereka malah dibebankan oleh persoalan baru. Selain itu, kepesertaan Tapera yang mengikat ‘memaksa’ rakyat untuk menyerahkan uang kepada negara. 

“Tentu hal tersebut berkontradiksi dengan realitas yang terjadi hari ini yang dialami oleh kaum buruh dan rakyat seperti; lapangan pekerjaan yang sulit, hubungan kerja fleksibel yang mengakibatkan bekerja menjadi tidak pasti (kontrak/outsourcing), upah yang murah dan kenaikan setiap tahunnya sangat kecil (maksimal hanya 0,3 persen per tahun), kebutuhan sembako dan energi (BBM, listrik dan lainnya) yang harganya semakin melambung tinggi, serta jaminan sosial yang diselenggarakan pemerintah justru tidak maksimal kepada rakyatnya,” dilansir dari keterangan resmi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), Rabu, 5 Juni 2024.

Di sisi lain, Ajat Sudrajat dari Local Initiative for Osh Network (LION) Indonesia, menyoroti potensi pengakhiran hubungan kerja (PHK) berskala besar imbas dari kebijakan Tapera. Kebijakan ini bukan saja menambah beban buruh melainkan juga perusahaan yang harus mensubsidi 0,5 persen tabungan Tapera bagi setiap pekerja.

“Kalau kita bicara dari pihak perusahaan, pasti kan perusahaan tidak mau rugi atau keuntungannya berkurang dia harus memenuhi 0,5 persen dari setiap buruh yang dia pekerjakan. Kalau misalkan itu membebani, mengurangi keuntungannya kan berarti dia harus menambal kerugian dia. Kami takutnya adalah akan mendorong PHK,” ungkap Ajat, saat dihubungi BandungBergerak.

Penolakan terhadap PP Tapera juga lantang disuarakan serikat buruh dari FSP TSK SPSI. Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI Roy Jinto menyatakan, PP Tapera hanya semakin mempersulit dan memberat buruh dengan iuran wajib yang dipotong dari upah pekerja setiap bulan. Ia membeberkan potongan upah buruh sudah terlalu banyak, mulai dari BPJS Kesehatan, Jamsostek, Jaminan Pensiun, dll. Belum lagi dengan harga sembako yang melambung tinggi, pajak penghasilan PPH21, dan sebagainya.

“Tapera hanya akal-akalan pemerintah mengumpulkan dana dari buruh yang dikelola oleh BP Tapera yang gajih dan biaya operasional Badan Pengelola Tapera dibebankan dari simpanan rakyat yang di wajibkan melalui UU TAPERA,” kata Roy Jinto, dalam keterangan resmi.

Roy menyatakan, pemerintah tidak mempunyai sensitivitas terhadap kelusitan rakyat khususnya buruh selama ini. Tahun ini kenaikkan upah buruh sangat kecil, namun pemerintah malah menambah kesulitan ekonomi buruh dengan Tapera. “Jangan rakyat selalu menjadi korban kebijakan pemerintah,” tegasnya.

Roy menegaskan, pihaknya meminta pemerintah untuk membatalkan dan mencabut PP Tapera. “Kalau pemerintah memaksakan buruh akan mengambil jalan untuk melakukan aksi penolakan mengenai Tapera,” katanya.

Baca Juga: Buruh Tolak PP 51 Tahun 2023 Tentang Pengupahan, Kenaikan Upah Tak Mencukupi Kebutuhan Buruh
Dilema Buruh-buruh Muda dalam Deru Pembangunan Majalengka
Upah Buruh-buruh Kafe di Bandung Sepahit Biji Kopi

Seorang pengemudi ojek daring melintas di Jalan Tamblong, Kota Bandung, Jumat (1/4/2022) siang. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id, Olah data: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Seorang pengemudi ojek daring melintas di Jalan Tamblong, Kota Bandung, Jumat (1/4/2022) siang. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id, Olah data: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Pekerja Ojek Online Menolak PP Tapera

Penolakan kebijakan Tapera ini juga datang dari Serikat Pengemudi Tranportasi (SEPETA) Indonesia. Pele, pengurus SEPETA Indonesia menilai kebijakan Tapera justru semakin memperkeruh kondisi pelaku ojek online.

"Jika pendapatan ojol tidak jelas, dan untuk kebutuhan pokok saja kurang bagaimana untuk menabung, menabung itu jika kebutuhan pokok sudah terpenuhi,” dikutip dari keterangan resmi SEPETA Indonesia, Rabu, 5 Juni 2024.

SEPETA Indonesia menyatakan soal kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Jokowi semakin amburadul dan tidak berpihak kepada rakyat. Menanggapi hal ini, SEPETA Indonesia menuntut sekurang-kurangnya tujuh hal, sebagai berikut:

  1. Cabut PP Nomor 21 tahun 2024/Tapera;
  2. Akui ojol sebagai pekerja;
  3. Berikan jaminan pendapatan serta jaminan sosial untuk pengemudi online;
  4. Berikan hak berorganisasi, berpendapat dan berunding untuk pengemudi online;
  5. Berikan hak-hak perempuan atau lady ojol;
  6. Berikan THR kepada pengemudi online 10% dari pendapatan tahunan;
  7. Turunkan harga sembako, listrik, BBM dan kenaikan pajak yang  memberatkan rakyat.

Nasib pengemudi ojek online tidak menentu karena statusnya sebagai mitra dan dianggap bukan buruh. Oka Halilintarsyah dalam jurnal “Ojek Online, Pekerja atau Mitra?” menyatakan status ini didasarkan bahwa pengupahan pengemudi ojek online didasarkan pada pola kemitraan bagi hasil. Status pengemudi ojol sebagai mitra jelas merugikan pelaku ojol sendiri. Pasalnya, mereka tidak mendapatkan hak-hak seperti upah layak dan BPJS Ketenagakerjaan yang umumnya diperoleh pekerja.

*Kawan-kawan yang baik, mari membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari Noviana Rahmadani, atau artikel-artikel tentang Situasi Perburuhan di Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//