• Berita
  • Menelusuri Jejak Perkebunan Melalui Buku Pesona Sejarah Bandung

Menelusuri Jejak Perkebunan Melalui Buku Pesona Sejarah Bandung

Bandung atau Priangan umumnya di masa lalu memiliki keindahan alam menakjubkan. Berbeda dengan kini yang penuh masalah lingkungan.

Perkebunan kopi di Jawa, kemungkinan di Jawa Barat. Foto sekitar tahun 1880. (KITLV 183797, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Penulis Helni Sadiyah22 Juni 2024


BandungBergerak.idUngkapan M.A.W. Brouwer yang menyatakan 'Bumi pasundan lahir saat Tuhan sedang tersenyum' tampaknya tepat untuk menggambarkan keindahan dan kekayaan alam Bandung (Priangan) di masa lalu. Namun, ungkapan ini kini sering digunakan sebagai kritik atas berbagai permasalahan di kota Bandung, seperti kemacetan, sampah, dan banjir.

Dalam diskusi "Storytelling: Pesona Sejarah Bandung," Ryzki Wiryawan, seorang dosen, penulis buku sejarah Bandung, dan pegiat Sahabat Heritage, bercerita mengenai sejarah Bandung.

Ryzki menjelaskan asal-usul geografis Bandung, dari terbentuknya cekungan Bandung dan pengaruh letusan gunung purba, hingga keberadaan danau besar. Dia juga menyinggung pengaruh kerajaan Hindu-Buddha, perkembangan awal masyarakat di sekitar aliran sungai, serta peninggalan sejarah di kawasan Bandung.

Pada awalnya, kota Bandung merupakan daerah subur dengan berbagai jenis komoditas pertanian. Tak heran jika kota ini mendapat berbagai julukan, salah satunya julukannya adalah Priangan atau kota Parahyangan.

Menurut Ryzki, secara geografis, Bandung berada di dataran tinggi yang sangat cocok untuk sebuah kota. Priangan dikelilingi oleh pegunungan dengan suhu yang relatif sejuk, kesuburan tanahnya menjadikannya surga bagi tumbuh-tumbuhan. Selama ribuan tahun, Bandung merupakan daerah yang terisolasi, yang memungkinkan kondisi alam dan lingkungan tetap terjaga. Kondisi ini menarik perhatian bangsa Eropa, sehingga tanah Priangan dieksploitasi besar-besaran untuk kepentingan ekonomi mereka.

“Sejarah Bandung atau sejarah nusantara itu merupakan sejarah perkebunan, karena Belanda ke sini hanya mencari hasil bumi. Di Indonesia bagian timur mereka mencari lada dan merica. Kalau di Jawa, mereka mencari kopi dan teh. Jadi sejarah Indonesia pada dasarnya adalah sejarah perkebunan,” ujar Ryzki Wiryawan dalam kegiatan Diskusi Storytelling Night: Pesona Sejarah Bandung, Sabtu, 15 Juni 2024, di The Room 19 Library, Dipati Ukur, Bandung.

Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Elegi Jenny di Perkebunan Gambung
Kisah Perkebunan Teh Keluarga Ursone dan Permakaman Warga Tertua di Lembang
Berdirinya Perkebunan Kina Friesland, Masihkah Bandung Menjadi Ibu Kota Kina?

Kopi dan Penindasan Rakyat Bumiputra

Pada masa penjajahan, berbagai tanaman perkebunan yang dibudidayakan di Bandung memiliki peran penting dalam perekonomian, baik lokal maupun global. Misalnya, kopi Priangan yang terkenal dengan kualitas tinggi, menjadi salah satu komoditas ekspor utama. Sementara itu, teh yang juga dibudidayakan di wilayah ini memiliki mutu yang unggul dan diekspor ke banyak negara. Tak hanya itu, tanaman kina juga turut mendukung ekonomi, terutama dalam penyediaan obat malaria, sehingga perkebunan kina di Priangan menjadi produsen terkemuka kina di seluruh dunia.

Awal abad ke-18, pemerintah kolonial Belanda mulai membuka lahan di Priangan untuk dijadikan perkebunan. Mereka memperkenalkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang mewajibkan penduduk lokal menanam tanaman tertentu seperti kopi, teh, dan kina. Sistem ini memberikan keuntungan besar bagi pemerintah kolonial, tetapi sering kali merugikan penduduk.

Salah satu komoditas utama yang menjadi tulang punggung ekonomi perkebunan di Bandung adalah kopi. Kopi Priangan dikenal dengan kualitasnya yang unggul dan menjadi primadona di pasaran internasional.

“Sejak dikuasai VOC, kawasan Priangan menjadi kawasan penghasil kopi terbaik di dunia, bahkan Bupati Bandung merupakan Bupati terkaya karena bisa menyumbangkan kopi sebanyak-banyaknya ke VOC,” ungkap Rizky, yang juga menulis beberapa buku sejarah.

Namun, di balik gemerlapnya ekspor kopi, terdapat cerita kelam mengenai sistem tanam paksa yang diterapkan pemerintah kolonial. Akibat dari kebijakan  tersebut, penduduk bumiputra mengalami keterbatasan dalam memanfaatkan lahan untuk kebutuhan lokal karena harus mengalokasikan sebagian besar lahan untuk menanam tanaman ekspor. Selain itu, petani lokal juga sering kali ditindas dan dieksploitasi oleh pihak kolonial. Praktik penjajahan yang dilakukan adalah dengan mengangkat seorang Bupati yang ditugas mengelola perkebunan.

“VOC tidak langsung menjajah rakyat. Tapi menggunakan seorang bupati yang kemudian menggalakkan perkebunan. Hasil yang diperoleh kemudian wajib disetorkan ke VOC. Istilah ini sering disebut monopoli,” katanya.

Dalam konteks ini, Ryzki Wiryawan menyoroti peran bupati yang diangkat oleh pemerintah kolonial untuk mengelola perkebunan. Bupati tersebut menjadi alat bagi pemerintah kolonial dalam menggalakkan produksi tanaman ekspor, dengan hasil yang harus disetorkan secara wajib kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda. Istilah monopoli sering digunakan untuk menggambarkan kontrol penuh yang dimiliki oleh pemerintah kolonial atas hasil-hasil ekspor dari perkebunan di Priangan.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya Helni Sadiyah, atau artikel-artiikel lain tentang Sejarah Perkebunan Priangan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//