• Kolom
  • NGALEUT BANDUNG: Elegi Jenny di Perkebunan Gambung

NGALEUT BANDUNG: Elegi Jenny di Perkebunan Gambung

Jenny Elisabeth Henriette Roosegarde Bisschop, menyaksikan jatuh bangun bisnis perkebunan milik suaminya, R. E. Kerkhoven, di Gambung. Hidupnya berakhir tragis.

Alex Ari

Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri

Makam Jenny Elisabeth Henriette Roosegarde Bisschop di bawah naungan pohon-pohon rasamala di Kebon Tonggoh, lahan yang merupakan bagian dari perkebunan Gambung, Kabupaten Bandung. (Foto: Alex Ari)

7 September 2021


BandungBergerak.id - Zord dat als ik terugkom hier een stad is gebouwd!” (Pastikan sebuah kota telah dibangun di sini ketika saya kembali!)

Mungkin Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels tak akan mengira jika seorang cicitnya akan menghabiskan hidupnya di Bandung, kota yang dibangun atas titahnya pada tahun 1810 itu. Bukan betul-betul di Kota Bandung, melainkan kurang lebih 40 kilometer di selatan titik Mas Galak menancapkan tongkatnya di dekat proyek besar Jalan Raya Pos tersebut.

Cicit Daendels

Jenny Elisabeth Henriette Roosegarde Bisschop, kelahiran Semarang, 27 November 1858, adalah anak kedua dari 13 bersaudara pasangan Philippus Johannes Roosegarde Bisschop dan Aleida Elisabeth Reiniera Daendels. Kakek Jenny, August Dirk Daendels, yang pernah menduduki jabatan sebagai asisten residen di Mojokerto, adalah putra dari Gubernur Jenderal Daendels. Kedua orang tua Jenny berjumpa di Mojokerto pada tahun 1852 dan bertunangan setahun kemudian. Tahun yang sama ketika August Dirk Daendels meninggal dunia di Surabaya dan kemudian dikuburkan di Mojokerto. Pasangan Philippus dan Aleida kemudian menikah pada tahun 1856.

Philippus Johannes Roosegarde Bisschop berkarier sebagai hakim di Hindia Belanda dan sempat bertugas di Padang. Di pulau Sumatera inilah tiga orang anaknya meninggal di usia belia dan hanya menyisakan 10 orang anak yang mencapai usia dewasa.  Ia kemudian mencapai puncak kariernya sebagai wakil ketua Raad van Justitie di Batavia dan tinggal di lokasi yang kini menjadi kantor pusat Perusahaan Gas Negara. Letak rumah kediaman keluarga Philippus tak jauh letaknya dari Gang Holle, tempat kediaman keluarga Holle.

Tak seperti Maarschalk (Marsekal) Herman Willem Daendels yang terkenal keras dan tegas, keturunanya digambarkan tak sekuat “Mas Galak”. Hal itu tergambar dari sosok cucunya, Aleida Elisabeth Reiniera Daendels yang diceritakan sering secara tiba-tiba pingsan.

Begitu juga dengan Jenny Bisschop.  Sebagai salah satu anak tertua, Jenny, yang digambarkan sebagai sosok anak yang manis dan paling dapat diandalkan di dalam keluarga, merasa bertanggung jawab untuk ikut menjaga dan mengurusi adik-adiknya. Beban tugas berat bagi seorang gadis kecil yang kemudian berimbas pada kekuatan mentalnya.

Menikah dengan seorang Preanger Planters

Jenny Elisabeth Henriette Roosegarde Bisschop menikah dengan Rudolf Eduard Kerkhoven pada tahun 1878 di Batavia. Mereka berjumpa  saat Rudolf Eduard Kerkhoven bertandang ke rumah kerabatnya, keluarga Holle, yang  letaknya tak jauh dari kediaman keluarga Bisschop di Gang Scott (kini Jalan Budi Kemuliaan). Saat itu R. E. Kekhoven sedang merintis usahanya sabagai seorang pengusaha perkebunan (Preanger planters) dengan menyewa lahan perkebunan Gambung sejak tahun 1873.

Gambung awalnya dibuka  sebagai lahan wajib tanam kopi di era tanam paksa sekitar tahun 1830, tapi kemudian lahan ini terbengkalai karena salah urus. Hanya ada sekitar delapan keluarga saja yang tinggal di Gambung saat R. E. Kerkhoven mulai membuka kembali perkebunan ini pada tahun 1873 dan 1874. Di perkebunan yang terpecil dan masih terhitung  baru dirintis inilah Jenny kemudian tinggal.

Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Himpunan Saudara Jawa di Tanah Sunda
NGALEUT BANDUNG: Tuan Tan Djin Gie, Tanah Harapan, dan Tragedi Keluarganya
NGALEUT BANDUNG: “Di-Yasin-kan”

Gangguan Mental

Menjadi istri seorang pengusaha perkebunan (Preanger planters) tidak serta-merta berarti hidup bergemlimang harta. Di awal merintis usaha perkebunan, segalanya serba sulit.  Jenny Elisabeth Henriette Roosegarde Bisschop harus hidup di tempat terpencil dengan kondisi iklim yang lembab karena curah hujan yang tinggi di daerah pegunungan. Ini membuat kondisi kehidupannya serasa muram.  Rumah tempat tinggal pasangan pengantin baru ini adalah sebuah pondok kayu sederhana yang dibangun oleh R. E. Kerkhoven pada tahun 1876.

Kondisi yang serba morat-marit masih ditambah dengan lokasi perkebunan Gambung yang saat itu praktis dapat dikatakan terisolasi. Gambung terletak sejauh 40 kilometer di sebelah selatan Bandung. Untuk mencapai Gambung, perjalanan dari Bandung dilakukan dengan menggunakan kereta kuda selama dua jam, termasuk menyeberangi sungai Citarum menggunakan rakit bambu dan diteruskan dengan menunggangi kuda atau digotong menggunakan tandu melalu rute Cikalong atau Cisondari.

Diterangkan pada buku “Kerkhoven: A History of Our Family” (2001), Jenny tak berjumpa dengan sesama wanita Eropa selama kurun waktu dua tahun. Keterisolasian inilah yang membuat Jenny menjadi terasing.

Diawal pernikahannya, pasangan Rudolf Eduard Kerkhoven dan Jenny masih dibantu oleh Rose Elisabeth Roosegarde Bischoop, kakak Jenny yang ikut tinggal di Gambung hingga seusai kelahiran anak pertama Jenny, Rudolf (Ru) Albert Kerkhoven pada tahun 1879. Karena lokasi Gambung yang sulit dijangkau bantuan medis, Jenny memilih untuk melahirkan di perkebunan Arjasari, milik R. A. Kerkhoven,  mertuanya.

Setelah anak pertama tersebut, anak-anak lain pasangan R.E. Kerkhoven dan Jennny dilahirkan di Gambung dalam kondisi yang serbaterbatas. Mereka adalah Eduard Silvester Kerkhoven (1881), Emilius Hubertus Kerkhoven (1883), Karel Felix Kerhoven (1887), dan Bertha Elisabeth Kerkhoven (1888). Seorang anak lainnya meninggal tak lama setelah dilahirkan dan dikuburkan di bagian perkebunan Gambung yang disebut sebagai Kebon Tonggoh.

Potret sebuah jalan di Gambung, Kabupaten Bandung, yang diambil pada kisaran abad ke-19 dan ke-20. Pada masa itu, Gambung masih merupakan kawasan terisolasi yang sulit dijangkau dari Bandung. (Sumber foto: https://commons.wikimedia.org/)
Potret sebuah jalan di Gambung, Kabupaten Bandung, yang diambil pada kisaran abad ke-19 dan ke-20. Pada masa itu, Gambung masih merupakan kawasan terisolasi yang sulit dijangkau dari Bandung. (Sumber foto: https://commons.wikimedia.org/)

Kekayaan dan Kematian

Proses pembukaan, reklamasi lahan perkebunan, hingga keberhasilan mendatangkan keuntungan di perkebunan Gambung kurang lebih membutuhkan waktu selama 20 tahun. Di sepanjang proses yang tak cepat itu, kondisi mental Jenny Elisabeth Henriette Roosegarde Bisschop terus memburuk. Dengan beban trauma mental di masa lalu sebagai anak yang paling dapat diandalkan untuk mengurusi semua adik-adiknya, serta dari kebiasaannya sebagai gadis kota besar di Batavia, kehidupan di pedalaman Bandung dengan kondisi kehidupan yang serbahemat semakin menekan kesehatan mental Jenny. Kondisi ini mungkin dapat terlihat pada beberapa foto  dengan wajah Jenny yang tirus dan tubuh yang kurus. 

Taraf kehidupan keluarga Kerkhoven mulai membaik di akhir abad ke-19, ketika hasil perkebunan seperti kina dan teh sudah mulai bisa dipanen. Pendidikan anak-anak Kerkhoven semakin mendapatkan perhatian dari kedua orang tuannya. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah lanjutan yang lebih tinggi, anak-anak keluarga Kerkhoven kemudian dikirimkan untuk bersekolah di Negeri Belanda. Ru dan Edu Kerkhoven berangkat pada tahun 1893, disusul oleh adik-adik mereka di tahun-tahun kemudian yang satu per satu meninggalkan Gambung.

Perasaan dan mental Jenny semakin tertekan karena harus berjauhan dengan anak-anak yang dicintainya. Sebelumnya, untuk pendidikan dasar anak-anaknya, Jenny dan Rudolf Eduard Kerkhoven sendirilah yang mendidik mereka langsung, dengan terkadang memanggil guru tutor dari Bandung.

Walau terkadang Jenny datang berkunjung ke Belanda untuk menengok anak-anaknya, namun tetap hal itu hanya sedikit meringankan tekanan beban mentalnya. Jenny terkadang tinggal hingga berbulan-bulan lamanya di Negeri Kincir Angin itu. Bahkan pada kunjungannya di tahun 1905, Jennny yang ditemani putrinya, Bertha Kerkhoven, tinggal selama satu tahun di Belanda. Berada di negeri leluhurnya dan dekat dengan anak-anak yang dicintainya sedikit membuatnya merasa bahagia.

Pada saat yang sama, bisnis yang dibangun R.E. Kerkhoven sebagai pengusaha perkebunan di Priangan mulai membesar dengan menyewa lahan perkebunan lain seperti, Malabar (1898), Talun, dan Negla. Pondokan bambu tempat tinggal keluarga Kerkhoven diubah menjadi bangunan permanen dengan rancangan R. E. Kerkhoven pada tahun 1899.

Namun tetap saja sikap R. E. Kerkhoven yang hemat, irit, dan cermat dalam memperhitungkan keuangan sering membuat Jenny merasa kecewa. Meski taraf ekonomi keluarga Kerkhoven semakin meningkat dan sikap R. E. Kerkhoven mulai melunak, ditandai dengan kesediaannya membeli barang mewah seperti mobil, ganguan metal yang dirasakan oleh Jenny sudah semakin akut.

Seperti dijlaskan dalam catatan Johannes Eduard Kerkhoven, cucu Jenny dari putranya Emilius Hubertus Kerkhoven, dalam buku “Kerkhoven: A History of Our Family” (2001), pada saat itu gangguan mental atau masalah kejiwaan masih dianggap sebagai gangguan kesehatan fisik semata yang terkadang harus disembunyikan karena merupakan aib. Hal yang sama terjadi dengan Jenny. Ganguan kesehatan jiwa yang dia derita tak tertangani karena kurangnya pengetahuan saat itu.

Jenny Elisabeth Henriette Roosegarde Bisschop, cicit Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, akhirnya menyerah dan memilih menyudahi penderitaannya dengan merenggut nyawanya sendiri  pada tanggal 14 Agustus 1907 di rumah kediamannya di Gambung.

Romantisasi kematian Jenny dikisahkan dalam roman Sang Juragan Teh (2015). Sepulang melancong ke Bandung dengan menggunakan mobil pribadinya, Jenny terbangun di tengah malam, kemudian pergi ke dapur dan menenggak racun. Dokter sempat dipanggil untuk menyelamatkan nyawanya, namun Jenny tak tertolong. Sebagian keluarga Kerkhoven memilih untuk menutupi penyebab kematian Jenny ini.

Jasad Jenny Elisabeth Henriette Roosegarde Bisschop dikebumikan di bawah naungan pohon-pohon rasamala di Kebon Tonggoh, lahan yang merupakan bagian dari perkebunan Gambung, di samping makam anaknya yang meninggal beberapa saat setelah dilahirkan. Sebelas tahun setelah Jenny berpulang, suami tercintanya Ir. Rudolf Eduard Kerkhoven wafat dan dimakamkan berdampingan dengannya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//