• Kampus
  • Terpeleset, Tersandung, dan Terjatuh, Risiko Tinggi Cedera Anak di Sekolah

Terpeleset, Tersandung, dan Terjatuh, Risiko Tinggi Cedera Anak di Sekolah

Insiden terpeleset, tersandung, dan terjatuh tidak hanya terjadi pada saat pelajaran penjas. Tata letak bangunan sekolah juga berperan menimbulkan insiden.

Anak-anak SDN Malabar 04 bermain bola di lapang depan Vervoloog Malabar di Kampung Malabar Ciemas, Desa Banjarsari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, 20 Juni 2019. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Iman Herdiana3 Juli 2024


BandungBergerak.idSlip, trip and falls (STF) atau terpeleset, tersandung, dan terjatuh merupakan kejadian yang sering terjadi di berbagai tempat dan dapat berujung pada cedera yang cukup signifikan. Salah satu tempat yang berpotensi memiliki bahaya STF adalah sekolah.

Menurut penelitian, mata pelajaran olahraga atau pendidikan jasmani (penjas) memiliki risiko kecelakaan yang cukup tinggi. Dalam penelitian di luar negeri, sebanyak 22 orang siswa sekolah menengah mengalami cedera katastropik langsung selama mengikuti sepak bola. Dari 22 orang yang mengalami cedera katastropik langsung, 3 orang meninggal dunia, 6 orang mengalami ketidakmampuan fungsional permanen, dan 11 orang lainnya mengalami cedera yang amat serius.

Namun insiden terpeleset, tersandung, dan terjatuh pun tidak hanya terjadi pada saat pelajaran penjas saja. Di sekolah, terpeleset, tersandung, dan terjatuh bisa terjadi karena tata letak bangunan, mulai dari perbedaan ketinggian antara ruang kelas dan koridor, dan atau antara koridor dan lapangan tempat bermain, kondisi sekolah yang bertingkat dengan tangga antar lantai, kabel listrik, keberadaan lumut di beberapa tempat, disertai aktivitas siswa-siswi yang cukup aktif.

Adanya potensi terpeleset, tersandung, dan terjatuh di sekolah mendorong mahasiswa Program Studi (Prodi) Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) melakukan penilaian risiko STF, intervensi STF dan memberikan edukasi tentang bahaya STF kepada guru dan siswa guna mencegah terjadinya kerugian akibat STF di Indonesia Natural School (INS) Semut-Semut, Kota Depok.

Kegiatan ini dilaksanakan sebagai bagian dari kurikulum program studi S1 K3 FKM UI, yakni kegiatan Praktik Belajar Lapangan (PBL) di bawah bimbingan Dosen FKM UI Mila Tejamaya.

Berdasarkan identifikasi bahaya dan penilaian risiko yang dilakukan oleh mahasiswa S1 K3 FKM UI, STF menjadi risiko yang paling banyak muncul, yaitu sebesar 30.23 persen dari 43 risiko tinggi yang teridentifikasi. Ditemukan beberapa area dengan risiko STF yang cukup signifikan, yaitu area bermain, tangga, toilet, ruang wudhu, koridor, dan lapangan. Dengan teridentifikasinya risiko STF tersebut, berdasarkan hierarki pengendalian risiko, terdapat beberapa intervensi yang dilakukan oleh mahasiswa S1 K3 FKM UI.

“Pada kegiatan tersebut, siswa diajak untuk mengenali dan waspada akan adanya bahaya STF di lingkungan sekolah,” demikian keterangan resmi dari laman UI, diakses Selasa, 2 Juli 2024. 

Berbagai upaya untuk meminimalkan risiko kesehatan dan keselamatan dari STF didiskusikan bersama, seperti mempertahankan dan meningkatkan kerapian di lingkungan sekolah, tidak berlari-larian atau bercanda di tangga dan area lantai yang tidak rata atau licin, waspada bila ada perbedaan ketinggian, serta menggunakan alas kaki yang tepat saat bermain dan berolahraga.

Edukasi ini diharapkan fapat mencegah dan meminimalkan insiden terkilir, terjatuh, dislokasi dan fraktur tulang di sekolah. Dengan lingkungan sekolah yang sehat dan selamat, maka produktivitas siswa dan guru dalam proses belajar dan mengajar bisa terus dioptimalkan. Hal ini juga sesuai dengan visi INS Semut-Semut untuk mengembangkan potensi kecerdasan melalui proses pendidikan natural, demi menguatkan kebangsaan di tengah interaksi global.

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum INS Semut-Semut Rizka Nadialina menyampaikan terima kasih pada mahasiswa K3 FKM UI karena telah melangsungkan kegiatan intervensi di SD Semut-semut.

“Apa yang disampaikan oleh bapak dan ibu guru di kelas sesuai dengan apa yang dipelajari oleh kakak-kakak di tempat kuliahnya. Jadi, teman-teman harus selalu ingat, ya. Terima kasih juga untuk kakak-kakak atas ilmunya, semoga bermanfaat dan dapat diterapkan oleh teman-teman ke depannya,” ujar Rizka.

Baca Juga: Mengenal Prodi Paling Ketat Diminati di Unpad dan Jalur Mandiri ITB
Maggot dan IoT, Solusi Cerdas Menghadapi Masalah Sampah Makanan
Tantangan Kontestan Pilgub Jabar 2024, Mulai Dari Pendidikan Gratis hingga Ledakan Jumlah Penduduk

Risiko Kecelakaan di Saat Mata Pelajaran Penjas

Yustinus Sukarmin dari Universitas Negeri Yogyakarta menyusun “Petunjuk Praktis Pencegahan Kecelakaan dalam Proses Pembelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Menengah Pertama dan Atas”. Petunjuk ini dilatarbelakangi karakter mata pelajaran penjas yang berbeda dengan mata pelajaran lainnya dan ini membawa konsekuensi pada perbedaan dalam proses pembelajarannya.

Yustinus Sukarmin menjelaskan, aktivitas fisik yang menjadi media utama proses pembelajaran penjas, alat, fasilitas, dan arena tempat berlangsungnya proses pembelajaran penjas mengandung risiko terjadinya kecelakaan yang tinggi. Bermain, olahraga, dan bentuk-bentuk aktivitas fisik lainnya yang dilakukan di lapangan terbuka atau tertutup potensial sekali mendatangkan kecelakaan. Kemungkinan terjadinya kecelakaan makin terbuka lebar ketika proses pembelajaran itu berlangsung di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).

Murid-murid SMP dan SMA merupakan orang muda yang kemampuan fisik dan tekniknya masih terbatas, karena mereka sedang dalam masa pertumbuhan. Pada masa ini hormon laki-laki belum cukup untuk menimbulkan hipertrofi otot secara nyata dan pusat pertumbuhan tulang (epiphyseal growth centre) masih lemah. Karena tulang, otot, tendo, dan ligamen mereka sedang berkembang, mereka menjadi lebih rentan terhadap cedera.

Yustinus mengutip hasil penelitian di luar negeri yang melaporkan sebanyak 22 orang siswa sekolah menengah mengalami cedera katastropik langsung selama mengikuti football musim gugur tahun 2002, 3 orang dinyatakan meninggal dunia.

“Kecelakaan dalam proses pembelajaran penjas dapat mengakibatkan siswa mengalami kerugian materi, kehilangan waktu, cedera, cacat, atau bahkan kematian. Kerugian materiel akibat kecelakaan yang harus dialami oleh siswa sangat besar jumlahnya. Jumlah itu, bahkan menjadi tidak terhitung besarnya kalau cacat fisik dan mental yang bersifat permanen, seperti: kehilangan tangan, kehilangan kaki, dan kehilangan ingatan diperhitungkan sebagai bagian dari biaya kecelakaan,” terang Yustinus, diakses Rabu, 3 Juli 2024.

Kendatipun banyak keuntungan yang dapat dipetik dari program penjas di sekolah, tidak sedikit orang tua yang mengajukan somasi agar program kegiatan tersebut dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Pendapat mereka tentu bukan tanpa alasan, namun terasa emosional dan tidak rasional. Berbagai kasus kecelakaan yang terjadi di dalam praktik pembelajaran penjas beserta akibatnya menjadi pendorong mereka membuat pernyataan seperti itu.

“Memberikan jaminan keselamatan dengan cara membatasi atau bahkan meniadakan program penjas bukan merupakan tindakan yang bijaksana dan jelas tidak akan menyelesaikan masalah. Yang lebih utama adalah mencari akar permasalahannya, yaitu penyebab terjadinya kecelaka-an dalam proses pembelajaran penjas dan memberikan solusinya,” kata Yustinus.

Menurutnya, proses pembelajaran penjas di sekolah menengah mempunyai risiko tinggi mendatangkan kecelakaan, tetapi bukan berarti program penjas harus dikurangi atau bahkan dihilangkan. Bukti empiris menunjukkan bahwa hampir semua kecelakaan yang terjadi dalam kehidupan manusia dapat dicegah atau dikurangi, karena setiap kecelakaan pasti ada penyebabnya. Dengan meniadakan atau mengontrol penyebabnya, kecelakaan pun urung terjadi, sehingga semua risiko yang ada tetap menjadi risiko.

“Untuk mencegah terjadinya kecelakaan dalam proses pembelajaran penjas, faktor-faktor penyebabnya harus ditiadakan atau dikontrol. Tindakan pencegahan yang direkomendasikan adalah pencegahan primer yang dilakukan sebelum, pada saat, dan sesudah proses pembelajaran berlangsung. Melalui pencegahan primer segala kekurangan yang ada, baik intrinsik maupun ekstrinsik, dapat diatasi atau disiasati oleh guru penjas, sehingga program penjas bermanfaat bagi siswa,” terang Yustinus.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lainnya tentang Sekolah dalam tautan berikut ini

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//