• Berita
  • Menanti Optimalisasi Program Pemkot Bandung dan Pemprov Jabar untuk Menurunkan Angka Kemiskinan

Menanti Optimalisasi Program Pemkot Bandung dan Pemprov Jabar untuk Menurunkan Angka Kemiskinan

Penurunan angka kemiskinan di Bandung maupun Jawa Barat berlangsung lambat. Membutuhkan program-program optimal untuk mengentaskan kemiskinan.

Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Bandung larut dalam aksi Konser Kemiskinan & Kelaparan di depan kantor Pemkot Bandung, 20 Mei 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul3 Juli 2024


BandungBergerak.idPemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat mengklaim angka kemiskinan menurun. Klaim ini berangkat dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 3,89 juta orang, menurun 39,93 ribu orang dari Maret 2023 dan turun 204,94 ribu orang dari September 2022.

Persentase penduduk miskin Jawa Barat pada Maret 2024 sebesar 7,6 persen. Angka ini turun tipis dari dua tahun sebelumnya, yaitu menurun 0,16 persen poin dari Maret 2023, dan 0,52 persen poin dari September 2022.

Namun, jika dibaca seksama penurunan angka kemiskinan tersebut terlihat stagnan. Maka, pemerintah perlu melakukan terobosan yang optimal untuk menurunkan angka kemiskinan hingga mencapai perbaikan secara simultan.

Penurunan angka kemiskinan juga diklaim Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung. Meski demikian, analis menilai sistem perekonomian di Bandung masih rapuh. Hal serupa terjadi di kabupaten/kota di Jawa Barat yang memiliki angka kemiskinan ekstrem dan belum ditangani dengan langkah terobosan berarti.

Menurut BPS Jabar, persentase penduduk miskin perkotaan pada Maret 2023 sebesar 7,19 persen, turun menjadi 7,07 persen pada Maret 2024. Sedangkan persentase penduduk miskin perdesaan pada Maret 2023 sebesar 9,30 persen, turun menjadi 9,07 persen pada Maret 2024.

Garis kemiskinan pada Maret 2024 tercatat sebesar 524.052 rupiah per kapita per bulan dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar 391.347 rupiah (74,68 persen) dan garis kemiskinan nonmakanan sebesar 132.705 rupiah (25,32 persen).

Di Kota Bandung, indikator kemiskinan pun turun setiap tahunnya, meski masih menyisakan persoalan kemiskinan yang laten. Pada tahun 2023, jumlah penduduk miskin di Kota Bandung sebanyak 102.80 ribu jiwa, angka ini turun dari tahun 2022 dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 109.82 ribu jiwa, dan sebanyak 112.50 ribu jiwa di tahun 2021.

Jumlah penduduk miskin yang turun tersebut, sejalan dengan penurunan persentase penduduk miskin dan meningkatnya garis kemiskinan. Persentase penduduk miskin di Kota Bandung pada tahun 2023 sebesar 3,96 persen, angka ini turun dari 4,25 persen di tahun 2022, dan 4,37 persen di tahun 2021.

Rata-rata pengeluaran masyarakat miskin pun meningkat (garis kemiskinan). Misalnya pada 2023, garis kemiskinan penduduk miskin di Kota Bandung sebesar 591.124 rupiah per bulan per kapita. Angka ini meningkat, dari tahun 2022 sebesar 545.675 rupiah, dan tahun 2021 sebesar 515.936 rupiah per bulan per kapita.

Menanggapi data terbaru yang dirilis oleh pusat statistik pemerintah tersebut, Pj Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin mengklaim, pemerintah Jawa Barat bersama pemerintah kabupatan dan kota terus melakukan beragam program untuk terus menekan angka kemiskinan. Upaya yang dilakukan, misalnya, dengan meningkatkan akses masyarakat pada pendidikan dan kesehatan, terutama bagi keluarga prasejahtera.

“Kami sering berkeliling, ke camat menitipkan itu. Pendidikan terutama di anak keluarga prasejahtera dan juga kesehatan. Itu salah satu kunci mempersempit (kemiskinan),” kata Bey Machmudin di kantor BPS Jabar, Kota Bandung, Senin, 1 Juli 2024.

DPRD Meminta Pemkot Bandung Bekerja Optimal

Mengenai kemiskinan di Kota Bandung, fraksi Partai Golkar di DPRD Kota Bandung mendorong Pemkot Bandung lebih mengoptimalkan upayanya mendorong indikator ekonomi makro di Kota Bandung. Ada tiga poin yang menjadi sorotan fraksi Golkar, meliputi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dinilai perlu adanya langkah terobosan dalam menyusun program yang relevan.

Berikutnya, angka kemiskinan dan angka pengangguran terbuka; dan pertumbuhan ekonomi yang terbilang lambat, yaitu 5,07 persen. Meski Pemkot Bandung mendaku angka ini dimaklumi akibat efek berantai dari dampak Covid-19, namun tetap saja perlu ada perbaikan secara simultan.

“Angka yang terpampang di dokumen laporan keuangan realisasi APBD 2023 menyebutkan Penduduk Miskin Kota Bandung per-Maret 2023 berjumlah 102,80 ribu orang. Fraksi Partai Golkar berharap adanya iklim investasi yang kondusif dan mampu menciptakan lapangan kerja yang relevan,” kata Fraksi Golkar, dalam rapat paripurna dengan agenda penyampaian Pandangan Umum Fraksi-Fraksi terhadap Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD tahun anggaran 2023. 

Di samping itu, Fraksi Golkar memandang perlu adanya pedoman yang jelas dan dinamis, serta kolaborasi yang dilakukan secara simultan dan berkesinambungan.

“Mendorong adanya acuan, pedoman, dan koridor yang jelas, tegas, terperinci, tetapi juga bersifat dinamis dikarenakan pembangunan adalah suatu kegiatan yang dilakukan sambil berjalan ke depan yang sudah barang tentu akan ada hal-hal baru yang terjadi dan mau tidak mau pembangunan pun harus disesuaikan dengan perubahan-perubahan zaman,” kata Fraksi Golkar.

Baca Juga: Kecamatan Antapani: Antara Warga Menengah Atas dan Kemiskinan
Menghindari Euforia Kemerdekaan, Mengentaskan Kemiskinan
Konser Kemiskinan dan Kelaparan KPJ untuk DPRD dan Pemkot Bandung

Rapuhnya Sistem Perekonomian dan Pemerataan Kesejahteraan di Kota Bandung

Kemiskinan akibat dampak Covid-19 memang masih terasa dampaknya hingga saat ini. Albyn Ariman dan Nia karniawati membeberkan peningkatan kemiskinan akibat pengangguran saat Covid-19 terjadi di Kota Bandung yang dicerminkan data BPS 2019-2021.

Di dalam Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi Volume XII No.1/Desember 2022 yang berjudul “Peningkatan Kemiskinan Akibat Pengangguran yang Terjadi di Masa Pandemi Covid-19 di Kota Bandung”, Albyn dan Nia menyimpulkan, kemiskinan akibat pengangguran mengalami peningkatan terhitung dari data BPS Kota Bandung tahun 2019-2021, dari yang angkanya 3,38 persen meningkat hingga 4,37 persen di Kota Bandung.

Sebenarnya tren penurunan jumlah penduduk miskin di Kota Bandung sudah terjadi pada rentang 2013-2019, dari jumlah penduduk miskin 117.700 orang, menjadi 85.670 orang di 2019. Sayangnya, angka ini meningkat jauh saat pagebluk melanda dan banyaknya gelombang PHK di perusahaan-perusahaan.

“Data penambahan jumlah penduduk miskin ini menunjukkan betapa besar dampak yang dihasilkan pagebluk. Namun pada saat bersamaan, data ini juga menguak betapa masih rapuhnya sistem perekonomian dan pemerataan kesejahteraan di Kota Bandung,” tulis Albyn dan Nia dalam artikel yang dihimpun di Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi (JIPSi).

Adapun solusi yang didorong oleh kedua penulis tersebut untuk mengatasi kemiskinan akibat pengangguran adalah dengan mempersiapkan pendidikan dan pelatihan untuk pekerjaan sesuai bidang dan lapangan kerja yang tersedia, memindahkan tempat kerja yang dibutuhkan, meningkatkan modal dan tenaga kerja, mampu menampung tenaga kerja yang menganggur, dan mendirikan industri bersifat pada karya.

Adapun di skala Jawa Barat, Dudi Suryadi dalam “Karakteristik Rumah Tangga Miskin Ekstrem di Propinsi Jawa Barat” menemukan, karakteristik rumah tangga dan karakteristik kepala rumah tangga berpengaruh terhadap rumah tangga miskin ekstrem. Selain itu, faktor seperti jumlah anggota keluarga, kepemilikan asuransi, kepemilikan modal, jumlah jam kerja, kemampuan baca tulis, dan kepemilikan handphone berpengaruh signifikan terhadap rumah tangga miskin ekstrem.

“Kebijakan pengentasan kemiskinan ekstrem dalam bentuk cash transfer sebaiknya tetap dilakukan. Hal ini karena permasalahan utama kelompok ini adalah ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Namun dalam jangka panjang kebijakan pemberdayaan rumah tangga miskin harus tetap dilakukan agar rumah tangga miskin ekstrem ini perlahan dapat keluar dari zona kritis miskin bahkan mampu keluar dari kategori miskin,” tulis Dudi Suryadi dalam Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial, Vol. 6 No. 2 Tahun 2022.

Dudi juga menyebutkan, upaya menghilangkan kelompok rumah tangga miskin ekstrem lebih sulit dibandingkan dengan kelompok miskin lainnya, baik dari segi waktu maupun biaya. Makanya, sinergitas setiap pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat diperlukan perannya.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Kemiskinan Kota Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//