• Narasi
  • Sekelumit Kisah Minuman Keras Produk Nusantara

Sekelumit Kisah Minuman Keras Produk Nusantara

Tuak dan sejenisnya merupakan bagian integral kebudayaan lokal di Indonesia sejak zaman dulu. Menjadi teman ngobrol, bermusyawarah, hingga alat muslihat politik.

Ojel Sansan Yusandi

Penulis buku Bandoeng Waktoe Itoe, pegiat Klab Belajar Merdeka, dan Veskil

Lukisan litografi karya Auguste van Pers tahun 1854 yang menggambarkan seorang pedagang tuak keliling di Batavia. Di tabung-tabung bambu itulah arak tersimpan.(Foto: Dokumentasi Ojel Sansan Yusandi)

8 Juli 2024


BandungBergerak.idMinuman keras (miras) / apa pun namamu / Tak akan kureguk lagi / dan tak akan kuminum lagi / walau setetes (setetes)

Keberadaan minuman keras (miras) atau minuman beralkohol (minol) tidak hanya meresahkan kalbu “Sang Pendekar Gitar” Rhoma Irama. Kaum agamawan, seperti juga Bang Rhoma, menilainya terutama dari sisi religius, sementara kelompok sekuler menilai miras berbahaya bagi kesehatan mental dan fisik. Tetapi, bisakah seluruh umat manusia tanpa kecuali bisa menjauhi minuman beralkohol mengingat sejarah miras sama tuanya dengan sejarah peradaban agraria umat manusia itu sendiri?

Sedari 7000 SM, bangsa Cina kuno sejak zaman Neolitikum diketahui telah memproduksi minuman fermentasi. Bukti-bukti lain mengenai keberadaan miras juga ditemukan di Persia kuno (tepatnya di Hajji Firuz Tepe, Iran) sejak 5400 hingga 5000 SM; di zaman Mesir kuna sekitar 3150 SM, di Babilonia sejak 3000 SM, di Meksiko kuno 2000 SM, dan di Sudan sejak 1500 SM. Di Celtik, cider (miras dari jus apel) telah dikonsumsi sejak 3000 SM. Catatan historis paling tua mengenai produksi wine (miras dari anggur) bisa dilacak ke masa 6000 SM di Georgia, Eropa Timur. Adapun bir, minuman beralkohol dari fermentasi sereal (seperti gandum atau jelai) telah ada sejak 5.000 tahun yang lampau.

Tak hanya sebagai minuman yang memabukkan, alkohol sebagai zat untuk bahan pengobatan medis sudah pula ditulis dalam teks-teks kuno bangsa Sumeria dan Mesir kuno, yang berasal dari 2100 SM. Malah, kitab suci bangsa Yahudi (Tanakh atau Miqra) merekomendasikan pemberian minuman beralkohol kepada mereka yang tengah sekarat atau depresi sehingga bisa melupakan sejenak kehampaan dan kesedihannya.

Baca Juga: Merawat Kertas Khas Nusantara Daluang yang Terancam Punah
Menjelajah Rasa Kecap-kecap Nusantara di Unpad
Kemah Ramu Rempah, Belajar Mencintai Herbal dan Rempah Nusantara

Dari Matsawa, Kilang, Brem, Siddhu, Cinca, Tuak, hingga Arak

Di Nusantara sendiri, keberadaan miras sudah tercatat sedari awal abad ke-10 M. Kakawin Adiparwa menyebutkan pelbagai jenis miras: sajeng. Yang termasuk sajeng adalah waragang, twak, twak tal, badyang (badyag/badeg), dan budur. Sedangkan Kakawin Ramayana, di abad yang sama, menyebutkan sejumlah jenis madya, yaitu pana dan matsawa (masawa).

Tidak cuma naskah, jenis-jenis miras kuno pun disebutkan dalam sejumlah prasasti. Prasasti Pangumulan A (902 M), misalnya, menyebut jenis-jenis madya, yaitu: twak, siddhu, jatirasa, dan duh ni nyu / duh ninyung (dari air kelapa). Prasati Watukura (902 M) menyebutkan matsawa, pana, siddhu, cinca, dan twak. Cinca adalah miras yang terbuat dari asam jawa. Siddhu merupakan hasil penyulingan dari sejenis gula. Sementara tampo terbuat dari fermentasi beras yang diragikan dua kali. Adapun badyag/badeg (kini badek) terbuat dari fermentasi nira kelapa. Manu, seperti juga arak, ditenggarai berasal dari Tiongkok. Prasasti Taji (901 M) yang dikeluarkan Rake Watukura Dyah Balitung, menyebut twak (tuak) di saat peresmian tanah dan bangunan suci alias sima (wilayah yang dibebaspajakkan oleh negara) di wilayah Taji.

Prasasti lain yang menyinggung sejumlah miras zaman Jawa kuno adalah Prasasti Rukam yang bertahun 829 Saka (907 M). Prasasti Rukam dikeluarkan oleh Nini Haji Rakryan Sanjiwana semasa pemerintahan Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung. Prasasti tembaga berbahaa Jawa Kuno ini ditemukan di Desa Petarongan, Kec. Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, tahun 1975. Isi prasasti lempengan tembaga ini mengenai peresmian Desa Rukam oleh Nini Haji Rakryan Sanjiwana setelah desa tersebut dilanda bencana letusan gunung api, dan kemudian penduduk Desa Rukam diberi kewajiban untuk memelihara bangunan suci yang ada di Limwung. Mengingat orang yang memberikan perintah adalah Sanjiwana, maka tidak menutup kemungkinan bangunan suci tersebut adalah Candi Sajiwan kini, yang terletak tidak jauh dari Candi Prambanan.

Disebutkan dalam prasasti tentang hidangan yang disuguhkan saat upacara penetapan sima di antaranya: nasi paripurna (mungkin semacam nasi tumpeng), dendeng kakap, dendeng bawal, dendeng ikan duri, ikan kembung, pari, udang, ikan gabus yang dikeringkan, telur kepiting, serta sejumlah ikan dan dendeng yang tidak diketahui. Juga disebutkan sejumlah perkakas logam seperti perimbas, kapak, beliung, sabit, linggis, tatah, keris, tombak, pisau, ketam; dan perkakas dari tembaga seperti dandang, talam, padyusan (alat mandi), obor, seperangkat wadah sayur dan tempat minuman. Selain makanan, prasasti ini pun memuat kata twak, siddhu, dan cinca. Lazim bahwa di sela-sela kenduri peresmian tanah sima, terdapat waktu bersantap dan minum bersama secara lesehan, dan yang diminum selain air putih juga adalah jenis-jenis miras tadi.

Nagarakretagama karya Mpu Prapanca (1365) menuturkan bahwa tuak ada dua jenis: twak nyu (tuak dari air kelapa) dan twak siwalan atau twak tal (dari air tal/siwalan). Naskah yang sama menyebut tempat penyimpanan bagi twak nyu, twak siwalan, arak, hano, kilang, brem, dan tampo, yakni wadah berbahan emas. Arak (atau awis) sendiri berasal dari sulingan air nira pohon aren, ada pula yang dari beras. Ada dua jenis arak: arak merah (awis bang) dan arak harum (arak arum). Sedangkan brem, yang disebut dalam Kakawin Arjuna Wijaya karya Mpu Tantular di abad ke-14, bisa berasal dari padi (beras), dari jagung, dan dari gadung. Jenis miras lainnya adalah kilang, yakni cairan hasil gula-tebu yang diragikan.

Selain sumber internal seperti prasasti dan naskah kuno, keberadaan miras di Pulau Jawa disaksikan pula oleh orang Tionghoa zaman Dinasti Tang pada abad ke-7. Menurut catatan Tionghoa tersebut, orang-orang di negeri (Holing atau Kalingga) ini membuat arak dari bunga pohon kelapa yang menggantung. Panjang bunganya lebih dari tiga kaki. Tebalnya selebar lengan orang dewasa. Untuk menjadi arak, bunganya akan dipotong dan niranya dikumpulkan. Rasanya manis. Jika mereka meminumnya, mereka cepat mabuk. 

Di masa Majapahit, sumber eksternal berupa kesaksian orang asing tentang kelaziman minum miras berasal dari catatan Ma Huan, jurutulis Cheng He, dalam bukunya Yin Ya Sheng Lan (Pemandangan Indah di Laut Seberang). Ma Huan mencatat hal tersebut ketika mendeksripsikan sebuah pesta pernikahan di Tuban. “Di sana, setelah pesta perkawinan berlangsung tiga hari, pengantin perempuan dijemput pihak pengantin lelaki dengan tabuh tabuhan, bergenderang canang, dan bertiup tiupan sambil memasang mercon. Orang-orang yang berselipkan beladau (keris, red.) dan menjungjung pelat bundar mengiringinya di depan dan di belakang. Rambut pengantin perempuan terurai dan kakinya tak berkasut, tubuhnya dibalut selendang sutra, lehernya dihiasai kalung emas dan mutiara, lengannya dihiasi gelang emas, perak, dan permata. Sanak-saudara dan tetangganya mengirim bingkisan berupa daun sirih, pinang, dll yang dibungkus dengan kain sulaman bunga-bungaan, lalu mengantarkannya naik perahu penuh hiasan bunga … Ketika tiba di depan rumah pengantin lelaki, gong dan gendang pun ditalu dengan gemuruh, lalu pesta minum arak dan ramai-ramaian dilangsungkan sampai beberapa hari lamanya hingga bubar.”

Adegan seseorang tengah menuangkan minuman (tuak?) di sebuah jamuan pada relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. (Foto: Dokumentasi Ojel Sansan Yusandi)
Adegan seseorang tengah menuangkan minuman (tuak?) di sebuah jamuan pada relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. (Foto: Dokumentasi Ojel Sansan Yusandi)

Perputaran Tuak di Pesta dan Pertunjukan

Di Ternate abad ke-16, konsumsi atas miras merupakan hal yang biasa. Hal ini berdasarkan kesaksian Galvao pada tahun 1544, yang menulis tentang pesta di Ternate yang saat itu telah muslim. “Mereka tidak pernah minum air; mereka menganggap minum air tidak sopan, sedangkan tegak dalam keadaan mabuk dianggap beradab, seperti mereka menyebutnya, koteto. Mereka tidak peduli dengan ajaran-ajaran Muhammad, tetapi, selagi minum seperti orang Belanda mereka lebih suka memperolokkannya, saling menggoda satu sama lain agar semuanya turut serta. Di pulau ini banyak sekali (minuman keras) dan diminum dalam jumlah besar-besaran ….”

Di Aceh, abad yang sama, miras, dan juga sabung ayam, sempat dilarang oleh Sultan Al ‘Addin Perak di Aceh. Namun pada zaman Sultan Iskandar Muda, awal abad ke-17, larangan tersebut tidak diberlakukan. Larangan miras diberlakukan kembali saat Sultan Iskandar Thani berkuasa, atas saran ulama asal Gujarat, Nuruddin ar-Raniri. Tahun 1642, sebuah catatan orang Eropa mengabarkan ada dua orang Aceh pemabuk yang dihukum mati dengan timah hitam mendidih yang dituangkan ke dalam tenggorokan mereka—meski raja mereka sendiri banyak menikmati minuman keras dalam pesta-pesta kerajaan. Di tahun yang sama, putri (Sultanah Aceh, putri dari Sultan Isakndar Thani) menyuruh potong tangan dua orang Inggris pekerja karena mencoba membuat arak.

Konversi masyarakat kepada Islam memang melahirkan perubahan sosial, termasuk di Sulawesi Selatan. Sejak memeluk Islam, sekitar tahun 1631-1634, raja Bone, La Ma’daremmeng berseteru dengan para bangsawan setempat karena ingin menerapkan syariat seperti pengucilan terhadap kaum bissu (wadam yang dianggap punya kekuatan magis), pelarangan perjudian, minum arak, dan segala bentuk tahayul.

Namun, tak semua penguasa Muslim begitu tegas mengenai hukum miras. Di negeri jiran, tepatnya di Malaka, Ibnu Majid, seorang pelaut dan nakhoda Arab, pada 1462 mencatat bahwa di Malaka “orang kafir kawin dengan wanita Muslim, sementara pria Muslim kawin dengan perempuan penyembah berhala. Tidak dapat dikatakan apakah mereka Muslim atau tidak. Mereka mencuri karena pencurian banyak terjadi di kalangan mereka dan tak jadi soal bagi mereka. Orang Muslim makan daging anjing karena tak ada larangan mengenai makanan. Mereka minum tuak di pasar-pasar dan tidak menjalankan aturan agama mengenai perceraian”. Sejarah Melayu juga mengakui adanya sikap santai di kalangan orang Melaka, mengolok-olok seorang ulama Arab yang saleh yang bertengkar dengan seorang bangsawan Melayu yang mabuk. Anthony Reid, dalam bukunya 1450-1680 Kurun Niaga Asia Tenggara Jilid 2 (168-169) menuturkan bahwa Tome Pires di abad ke-16 telah mencatat: bahkan peminum berat seperti orang Portugis pun berpendapat bahwa orang Melayu di Melaka “terlalu banyak minum tuak dalam pesta-pesta dan kegembiraan mereka”

Rupanya miras merupakan minuman jamak di Nusantara dan tidak pernah dilarang secara tegas. Setelah Islam dipeluk pun, larangan atas miras (juga candu) hanya diberlakukan di sejumlah kesultanan-pesisir saja seperti Aceh dan Banten—itu pun di saat rezim-rezim tertentu. Selain di pesta pernikahan, tuak juga ditenggak saat berlangsungnya pertunjukan topeng, lawak, dan wayang. Kelonggaran atas “hukum miras” ini bisa ditemukan pada naskah Sunda kuno, Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518 M) pada lempir XIV, yang berbunyi:

Jaga rang hees tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu (artinya: Hendaknya kita tidur sekadar penghilang kantuk, minum tuak sekadar penghilang haus, makan sekadar penghilang lapar, janganlah kita berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa).

Balik ke Majapahit, kelaziman mengonsumsi miras bisa juga ditengok melalui Hikayat Hang Tuah. Hikayat Melayu tersebut mencatat bahwa Hang Tuah lolos dari tipu daya untuk membunuhnya di suatu pesta di Majapahit karena “patih Gajah Mada dan segala penggawanya itu habis mabuk”.

Selain tuak, sopi di Maluku, Cap Tikus di Minahasa, ballo di Sulawesi Selatan, dan badek serta ciu di Jawa, satu jenis miras yang masih dikonsumsi adalah arak. Sebagai miras “warisan Tionghoa”, arak (terbuat dari cairan tebu) tetap digemari oleh orang Tionghoa dan bumiputera di kota-kota pesisir, termasuk di Batavia abad ke-17. Tahun 1648, Kapiten Cina di Batavia, Bingam (Phoa Beng Gam), membuka Molenvliet sebagai “kanal penggilingan”. Salah satu tujuan digali kanal-kanal di Batavia adalah untuk mempermudah pengiriman hasil kebun dan industri tebu, gula, dan arak ke dalam Kota dan luar Kota Batavia (kini, kanal Molenvliet sudah ditutup beton dan di samping kanan-kirinya melintas Jl. Hayam Wuruk dan Jl. Gajah Mada). Di abad ke-18, salah satu arak produksi Batavia dengan merek “Batavia Arrack van Oosten” menjadi sangat popular dan digemari oleh orang-orang Belanda dan bule lainnya.

Satu Kabupaten di Priangan Dihapus karena Miras

Kebiasaan meneguk miras rupanya tak hilang setelah orang Nusantara memeluk Islam –agama yang jelas-jelas melarang minuman keras. Seperti di Malaka abad ke-15, orang Priangan di awal abad ke-19 pun tercatat masih gemar menenggak miras, termasuk kalangan elitenya. Bahkan, ada sebuah kabupaten di Priangan yang dihapuskan akibat para pejabat dan warganya mabuk miras. Nama kabupaten itu: Batulayang.

Awalnya, Batulayang, bersama Cihaur Mananggel dan Medang Sasigar, termasuk wilayah Kabupaten Parakanmuncang sejak tahun 1641. Baru pada pertengahan abad ke-18, status Batulayang yang semula kewedanaan berubah menjadi kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati (regent), dimulai dari Rangga Abdulrahman (R. Moh Kabul alias Dalem Gajah) yang memerintah hingga 1770, berlanjut ke Dalem Tumenggung Adikusumah (1770-1786), hingga yang terakhir Dalem Tumenggung Anggadikusumah (1794-1802). Kabupaten Batulayang sempat berada dalam perwalian Kabupaten Bandung sejak 1786 sampai 1794, ketika Raden Bagus masih terlalu kecil untuk menggantikan ayahnya, Tumenggung Adikusumah. Setelah besar dan dinobatkan, Raden Bagus pun dilantik menjadi bupati Batulayang dengan gelar Tumenggung Rangga Adikusumah. Wilayah Kabupaten Batulayang melingkupi Kopo (Soreang), Cisondari (Ciwidey), Rongga (Cililin), Cihea, dan Rajamandala. De Haan mencatat bahwa ibukota Kabupaten Batulayang adalah Gajah (Gajah Palembang) yang terletak di selatan Kabupaten Bandung kini (sekitar wilayah Mahmud).

Masalah pun datang ketika Tuan Gubernur Jenderal melakukan kunjungan ke Batulayang. Sebelum ke Batulayang, petinggi HIndia Belanda itu mulanya memeriksa Indramayu, Sumedang, Limbangan, Parakanmuncang, dan Bandung. Dari Bandung, ia melanjutkan inspeksi ke Gajah, Batulayang. Melalui Sungai Citarum, rombongannya tiba di Cilampeni, namun tidak ada penyambutan yang digelar warga setempat terhadap mereka. Disertai Bupati Bandung, Mr. Johan Siberg, Sang Gubernur Jenderal itu, lalu mendatangi ibukota Batulayang guna memeriksa apa yang terjadi. Namun, ia tambah bengong ketika tiba: ibukota dalam keadaan sepi, sementara warga yang ada di pendopo dan di daerah Kaum (sekitar Masjid Agung) tertidur pulas semua. Ia lalu menyuruh agar Sang Bupati Batulayang segera dibangunkan dan diminta menemuinya di pendopo.

Sang Gubernur Jenderal harus menunggu cukup lama Sang Bupati yang tak langsung sigap menemuinya sehingga membuatnya makin gusar. Butuh waktu yang cukup lama bagi Sang Bupati untuk mempersiapkan diri menemui atasannya tersebut. Setelah menghadap, Sang Bupati menjelaskan alasan kenapa tak ada penyambutan terhadap Sang Gubjen, yaitu bahwa semalam semua penduduknya terjaga (begadang) hingga larut malam, sebagian bahkan ada yang minum-minum hingga mabuk. Rupanya, malam itu sedang digelar sebuah pesta yang cukup meriah. Mendengar alasan tersebut, tanpa pikir panjang Sang Gubernur Jenderal menjatuhkan hukuman bagi Kabupaten Batulayang: wilayah Kabupaten Batulayang harus dilebur ke dalam Kabupaten Bandung. Sejak saat itu, tahun 1802, para pejabat Kabupaten Batulayang kemudian menjadi bawahan dan bekerja bagi Bupati Bandung, sementara keturunan Bupati Batulayang dijadikan Patih Bandung secara turun-temurun.

Tumenggung Rangga Adikusumah, mantan Bupati Batulayang, itu kemudian dijatuhkan hukuman buang ke Mangga Dua, Batavia, hingga wafat dan dikuburkan di sana. Menurut versi lain, ia dibuang karena membiarkan perkebunan kopi di sekitar Batulayang menjadi semak-belukar dan hutan kembali. Alasan lainnya: ia juga berperilaku buruk dan boros serta gemar mengonsumsi candu dan minuman keras.

Itulah beberapa fakta historis yang berkaitan dengan minuman keras di Nusantara. Tuak dan yang sejenisnya telah menjadi bagian integral dari kebudayaan lokal di Indonesia zaman dulu. Minuman fermentasi telah menjadi modal sosial yang paling umum bagi siapa saja, baik itu di tingkat tetangga, desa, antardesa, dalam rangka ngobrol ngalor-ngidul hingga bermusyawarah, atau bahkan duduk bersama dengan pihak yang bermusuhan guna meraih kesepakatan bersama. Miras adalah modal diplomasi dan politik yang mencairkan, sekaligus perekat sesama ketika acara syukuran yang sakral berlangsung.

Memang, ada kalanya tuak dijadikan alat muslihat politik, seperti yang dilakukan pasukan Raden Wijaya terhadap pasukan Tartar (Mongol) yang baru mengalahkan tentara Jayakatwang. Setelah dicekoki tuak lalu mabuk berat, pasukan dari seberang lautan itu lantas dihabisi oleh pasukan Wijaya –salah satu episode dari permulaan berdirinya Kerajaan Majapahit.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang sejarah

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//