Merawat Kertas Khas Nusantara Daluang yang Terancam Punah
Pameran Buku Buruan Manglayang X Marjin Kiri selainkan menghadirkan beragam buku juga memamerkan kertas daluang, kertas khas nusantara yang terancam punah.
Penulis Emi La Palau27 Mei 2022
BandungBergerak.id - Gambar wayang beber turut mewarnai pameran buku Buruan Manglayang, Jalan Surapati, Kota Bandung, Sabtu (21/5/2022). Sepintas, wayang tersebut tampak terbuat dari kertas biasa. Tapi rupanya wayang ini berbahan kertas daluang, kertas kuno khas nusantara yang keberadaannya kini terancam punah.
Meski berbahan tradisional, wayang beber berbahan pohon saeh (Papermulberry) itu tampak kokoh dan unik. Daluang merupakan sebutan untuk kertas tradisional dalam bahasa Sunda. Tahun 2014, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan daluang sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTBI), sesuai SK Mendikbud Nomor 270/P/2014.
Salah satu perajin daluang, Mufis Sururi menceritakan kertas daluang secara historis telah ada sejak abad ke-14, ada salah satu naskah ada di Kerinci, Sumatera. Namun dalam perjalanan sejarah, jumlah para perajin kertas daluang terus menyusut.
Tedi Permadi, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), menyatakan serat pohon saeh sudah dipakai sejak zaman pra-Islam masuk ke nusantara. Penelitian ini menduga bahwa era tulisan di nusantara sudah terjadi di zaman itu.
Sebagaimana kita ketahui, tulisan dan kertas merupakan bukti dari peradaban umat manusia. Adanya jejak panjang tradisi menulis melalui kertas daluang di nusantara menunjukkan bahwa bangsa ini memiliki peradaban tersendiri, seperti bangsa Cina, Mesir, Persia, dan bangsa-bangsa pemilik peradaban kuno lainnya.
Namun hingga 1927 di Indonesia tinggal tersisa tiga keluarga saja yang membuat kertas daluang. Mereka tersebar di Madura, Ponorogo dan Garut. Keberadaan kertas daluang tersisihkan oleh kertas-kertas pabrikan.
Saat ini keras daluang terasing di negerinya sendiri. Masyarakat lebih mengenal kertas modern. Tentu ini bukan kondisi yang baik.
“Informasi terkait pengetahuan tentang daluang ini juga tidak terdistribusikan secara baik menurut saya. Minimal pengenalan itu tidak dikenal di bangku sekolah,” ungkap Mufis Sururi, ketika ditemui di pameran buku Buruan Manglayang, Jalan Surapati, Kota Bandung, Sabtu (21/5/2022) malam.
Mufis mulai mengenal kertas daluang pada 2006. Ia mulai melakoni pembuatan kertas dengan cara ditempa tersebut. Namun daluang juga bisa menjadi sarana ekspresi seni. Mufis tak hanya membuat kertas, melainkan memproduksi kerajinan lain dari saeh, seperti syal, tas, penutup lampu neon, kanvas lukisan, dan lain-lain.
Mufis sendiri lebih nyaman disebut sebagai tukang saeh daripada pembuat dalauang. Karena ia mengeksplorasi bahan-bahan dari serat pohon saeh untuk membuat aneka kerajinan.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Dari A. C. Nix & Co., Ganaco, Masa Baru, Hingga ke Sanggabuana
NGULIK BANDUNG : Buitenzorg, Kota Pertama Pembudidaya Buah Nanas Khas Bandung Barat
SURAT DARI TAIWAN #5: Musik yang Mempertemukan
Asal-usul Daluang
Asal-usul daluang sebagai bahan fesyen maupun naskah bisa ditelusuri dari literatur klasik, seperti dipaparkan Tedi Permadi dalam karya ilmiahnya. Ia mengutip keterangan Pigeaud dalam bukunya Literature of Java I (1967:35-- 36) yang menyatakan bahwa pada zaman pra-Islam ditemukan bukti bahwa daluang dijadikan sebagai bahan pakaian sehari-hari dan untuk keperluan upacara keagamaan, dalam hal ini sebagai pakaian pendeta agama Hindu.
Tradisi tersebut hingga kini masih bisa ditemui di Bali, di antaranya dalam bentuk kekitir yang digunakan dalam rangkaian upacara pembakaran jenazah atau ngaben. Sedangkan pemanfaatan daluang sebagai pakaian pendeta agama Hindu, Ida Pedanda Ketut Sidemen (2004) menyatakan bahwa pakaian tersebut bukanlah berupa pakaian lengkap, melainkan berupa aksesori yang mengacu pada ikat pinggang, selendang, atau ikat kepala.
Pigeaud juga mengulas tradisi tapa atau kapa, yakni proses tradisional pembuatan pakaian dari serat kayu yang ditemukan pada masyarakat kuno di berbagai negara. Tedi yakin bahwa tradisi ini kemudian bertransformasi menjadi tradisi tulis.
Tedi mengutip pernyataan Kooijiman dalam bukunya yang berjudul Tapa In Polynesia (1972:421) yang menyatakan bahwa pada sekitar abad ke-6 SM penduduk di daratan Cina telah memanfaatan kulit kayu sebagai bahan pakaian yang disebut tapa.
Bahan baku pembuatan tapa yang paling baik adalah kulit kayu dari pohon papermulberry (saeh). Teknik pengolahannya dilakukan dengan cara dipukul. Tradisi ini ternyata dikenal dan digunakan pula di nusantara, seperti kabit di Mentawai, ranta di Tana Toraja, kapua di Dayak Iban, dan sebagainya.
Tedi mengungkap temuan alat pemukul saeh yang digunakan oleh masyarakat di nusantara untuk pembuatan pakaian kulit kayu. Alat ini berupa pemukul kulit kayu berbahan batu yang kini tersimpan di Museum Nasional Republik Indonesia dengan nomor koleksi 4523 yang berasal dari abad ke-3 SM, berasal dari Cariu Bogor.
“Keberadaan tradisi pembuatan tapa di Nusantara dengan menunjuk pada abad ke-3 SM seperti tersebut di atas, memberikan satu kenyataan bahwa tradisi tersebut sezaman dengan tradisi yang pernah terjadi di sekitar sungai Yangtze Kiang di daratan Cina, di Luzon Philipina, dan sebagainya,” ungkap Tedi Permadi.
Gulungan Wayang Bébér
Tedi Permadi berusaha menjawab kapan tradisi tapa berubah fungsi dari bahan pakaian menjadi bahan untuk keperluan tulis menulis. Ia kemudian meneliti gulungan wayang bébér yang saat ini tersimpan di Gunung Kidul dan Pacitan, kalender atau palintangan Hindu Bali yang saat ini tersimpan di Denpasar Selatan Bali, dan naskah berbahan daluang yang berasal dari Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.
Naskah-naskah kuno tersebut, kata Tedi, mendorong Uli Kozok untuk melakukan penentuan usia bahan naskah dengan menggunakan absolute dating methode (metode carbon C-14) di Wellington University Australia pada tahun 2003 dan menunjukkan bahwa bahan daluang tersebut berasal dari abad ke-14.
“Bukti-bukti naskah kuno berbahan daluang tersebut jika dikaitkan dengan kerterkaitan waktu pada zamannya, maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa daluang pun sudah digunakan untuk kegiatan tulis menulis pada zaman pra-Islam,” katanya.
Koleksi wayang bébér berbahan daluang hingga saat ini masih dapat disaksikan di dua tempat, yaitu di Desa Gelaran, Kelurahan Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan di Dusun Karang Talun, Desa Gedompol, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur. Yang pertama dikenal dengan sebutan Wayang Bébér Kyai Remeng dan yang kedua dikenal dengan sebutan Wayang Bébér Pacitan.
Potensi Ekonomi Kreatif
Mufis Susuri meyakini bahwa kertas daluang bisa menjadi ikon kertas khas Indonesia. Karena melihat pasarnya yang masih minim. Beberapa negara maju hingga kini masih ada yang menggunakan kertas berbahan saeh sebagai kertas ikonik mereka, seperti Jepang yang memiliki kertas tradisional bernama washi.
Korea juga unggul dengan kertas khasnya bernama hanji. Cina dan Thailan juga memiliki kertas sejenis. Sehingga daluang menurut Mufis sangat potensial jika dikembangkan dan mendapat perhatian pemerintah untuk dilestarikan.
“Untuk jadi pilihan alternatif, sebagai kertas alternatif terus berdampak juga ke ekonomi sangat memungkinkan. Apalagi kalau ini didukung oleh tangan pemerintah melalui kebijakan, ini tidak menutup kemungkinan untuk tetap dihadirkan dan bisa dikembangkan lebih jauh,” katanya.
Bahan dasar pembuat kertas daluang, pohon saeh, merupakan pohon yang dapat tumbuh di mana saja, baik dataran rendah maupun dataran tinggi. Namun, tak banyak masyarakat yang mengenalnya.
Mufis mengolah pohon saeh sebagai kertas atau kerajinan tanpa menggunakan bahan-bahan kimia. Pohon saeh yang bisa dijadikan bahan untuk membuat kertas daluang yakni yang berusia 1 hingga 2 tahun, dengan diameter batang 3 hingga 4 centimeter.
Pembuatan daluang bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama dengan cetak saring melalui pembuburan serat pohon saeh. Cara kedua, dengan cara ditumbuk.
"Harapan bisa berkembang lagi, bisa berdampak, lebih banyak manfaat. Tapi kalau memang kenyataan apalagi dibenturkan dengan kondisi hari ini yang serba instan dan lainnya, yang penting yang jelas saya masih penasaran saja, bahwa peluang masih terbuka," katanya.
Komunitas Buruan Manglayang
Pameran kertas daluang bisa ditemui di pameran buku Komunitas Buruan Manglayang bersama penerbit Marjin Kiri sejak 15 - 31 Mei 2022, di kafe Buruan Manglayang, Jalan Surapati 120, Kota Bandung. Buruan Manglayang merupakan salah satu komunitas yang berfokus pada isu agro ekologi. Didirikan sejak tahun 2017.
Menurut Dion, salah satu pegiat di Buruan Manglayang, pendirian Buruan Manglayang diawali keresahan akan kondisi krisis pangan, yakni mulai banyaknya masyarakat yang kelaparan. Padahal Indonesia merupakan salah satu negara agraris, yang lahannya cukup melimpah.
Akhirnya dibuatlah gerakan agro ekologi ketahanan pangan yang dimulai dari halaman rumah. Buruan sendiri memiliki arti halaman depan rumah, ruang terbuka yang bisa dijadikan kebun atau sumber pangan mandiri.
“Dari sana bisa berkembang ke kebun, dari kebun ke hutan. Kita sudah bertahap, kita punya halaman yang isinya sayuran, kita punya kebun yang isinya ada saeh, kopi, teh,” ungkap Dion.
“Terus di hutannya sebagai tempat untuk belajar agro ekologi. Kafe ini adalah tempat distrubusi dari hasil-hasil produksi di hutan,” lanjut Dion.
Sebagai contoh, Kafe Buruan Manglayang menjual kopi-kopi hasil panen sendiri. Kafe ini juga sebagai galeri. Semua kegiatan komunitas Buruan Manglayang digerakkan anak-anak muda yang peduli akan isu atau persoalan agro ekologi.
“Kita anak muda kayaknya kita harus balik ke hutan deh buat mereforestasi hutan Manglayang. Jadi ngebonkeun hutan deui,” katanya.