NGALEUT BANDUNG: Dari A. C. Nix & Co., Ganaco, Masa Baru, Hingga ke Sanggabuana
Percetakan A. C. Nix & Co. pernah menjadi yang terbesar di seantero Bandung. Bekas gedungnya kini jadi halaman parkir sebuah bank di Jalan Perintis Kemerdekaan.
Alex Ari
Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri
25 Mei 2022
BandungBergerak.id - Pada tahun 1900, menurut Haryoto Kunto dalam bukunya Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984), ruas Landraadweg atau Jalan Gereja adalah ruas jalan pertama di kota Bandung yang diaspal. Di ruas jalan yang kini menjadi Jalan Perintis Kemerdekaan itu terdapat bangunan pengadilan (Landraad) yang sekarang dikenal sebagai Gedung Indonesia Menggugat dan Gereja Bethel. Selain kedua bangunan lawas itu, di Landraadweg dahulu terdapat bagunan kantor percetakan dan penerbitan yang cukup ternama di Bandung: A. C. Nix & Co.
Percetakan Keluarga Nix
Informasi mengenai lini masa percetakan dan penerbitan A. C. Nix & Co. diberitakan oleh koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië yang terbit tanggal 5 Desember 1931. Dalam berita mengenai peringatan ulang tahun berdirinya A. C. Nix & Co. yang ke-30 tahun itu dituliskan riwayat perjalanan perusahaan sejak berdiri hingga menginjak usia tiga dasawarsa.
Diceritakan bahwa perusahaan percetakan dan penerbitan A. C. Nix & Co. didirikan oleh Karel Eduard Nix, yang waktu itu masih berusia 21 tahun, pada tanggal 5 Desember 1901. Usaha percetakan itu awalnya menempati sebuah bangunan di ruas jalan Logweg atau kini menjadi Jalan Wastukancana. Dalam ruangan yang sempit dengan mesin cetak yang terbatas, K. E. Nix hanya bisa menerima pesanan barang cetakan kecil seperti kartu nama.
Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië yang terbit tanggal 17 Agustus 1904 memuat sebuah pengumuman bahwa telah terjadi kesepakatan kongsi antara K. E. Nix dengan ayahnya, A. C. Nix. Nama sang ayah digunakan sebagai nama usaha patungan ini, yaitu A. C. Nix & Co. Hasil Kerja sama ini kemudian membuat A. C. Nix & Co. mampu membeli mesin cetak baru yang sanggup mengerjakan pesanan dengan cepat. Perusahaan percetakan ini pun kemudian pindah ke alamat baru di Jalan Suniaraja. Seiring berkembangnya usaha A. C. Nix & Co, namanya semakin dikenal di kota Bandung.
Pada tahun 1907, A. C. Nix & Co. menempati bangunan yang lebih luas di persimpangan Jalan Banceuy dan Jalan Suniaraja. Di era ini salah satu buku yang dicetak oleh A. C. Nix & Co. adalah buku Gids Voor Bandoeng, atau buku panduan kota Bandung yang terbit pada tahun 1908. Bentuk perusahaan A. C. Nix & Co. kemudian diubah menjadi Naamloze Vennootschape (N. V.) atau perseroan terbatas pada tahun 1909. Duduk sebagai direktur adalah K. E. Nix, sementara A. C. Nix menduduki jabatan sebagai komisaris perusahaan.
Setelah kurang lebih 15 tahun menempati gedung yang terletak di belokan Jalan Banceuy – Jalan Suniaraja, A. C. Nix & Co. pada tahun 1919 pindah ke alamat baru di Landraadweg. Pada tahun 1920, di lahan yang bersebelahan dengan gedung pengadilan atau Landraad itu, didirikan sebuah bangunan baru dengan desain yang dikerjakan oleh Charles Proseper Wolff Schoemaker. Gedung A. C. Nix di Landraadweg yang termuat dalam daftar bangunan karya C. P. Wolff Schoemaker di buku Arsitektur Tropis Modern: Karya dan Biografi C. P. Wolff Schoemaker yang ditulis oleh C. J. Van Dullemen semula direncanakan terdiri dari dua lantai. Namun hanya lantai dasar yang kemudian tersisa, atau bahkan mungkin memang hanya lantai dasarnya saja yang selesai dibangun.
Di buku telepon tahun 1930, Nix & Co. tercatat beralamat di Landraadweg 3. Sementara itu, di buku telepon tahun 1936, Nix & Co. beralamat di Landraadweg 3 dan 7.
Pada tahun 1921 A. C. Nix & Co. membuat iklan promosi menerima segala bentuk bahan cetak untuk media promosi pada pelaksanaan Jaarbeurs atau bursa dagang tahunan yang kedua. Nama perusahaan ini terpampang di papan reklame di belakang gawang di lapangan sepakbola Sidolig seperti yang dapat dilihat pada sebuah foto tahun 1927.
Usaha yang gigih mengantarkan A. C. Nix & Co. menjadi perusahaan percetakan dan penerbitan ternama di Bandung. Beberapa klien A. C. Nix & Co. di antaranya adalah Himpoenan Soedara yang mencetak buku peringatan 30 tahun organisasinya. Selain itu ada juga organisasi seni dan ilmu pengetahuan Batavia (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen) yang mencetak buku dan jurnalnya di A. C. Nix & Co.
Karel Eduard Nix tutup usia di Bandung pada tanggal 16 Februari 1942 setelah sebelumnya menderit sakit. Dua bulan sebelum kepergiannya, dia sempat menyaksikan peringatan ulang tahun berdirinya A. C. Nix & Co. yang ke-40 yang dirayakan dengan meriah di kantornya di Landraadweg. Surat kabar Soerabaijasch handelsblad yang terbit pada tanggal 8 Desember 1941 mengabarkan bahwa perayaan yang digelar pada hari Sabtu pagi tanggal 6 Desember 1941 itu turut dihadiri oleh para pemuka masyarakat, di antaranya wali kota De Jong, Pembantu walikota Tjen Djin Tjong, lr. Dessauvagie, dan beberapa undangan relasi bisnis, sesama pengusaha percetakan dan penerbitan di kota Bandung, perwakilan media massa, serta kalangan bisnis di kota Bandung.
Demikianlah masyarakat banyak mengakui kegigihan usaha K. E. Nix yang mampu membesarkan A. C. Nix & Co. dari semula usaha kecil di sebuah ruangan yang sempit hingga menjadi perusahaan percetakan dan penerbitan besar di Bandung.
Koran Bataviaasch nieuwsblad yang terbit pada tanggal 18 Februari 1942 memberitakan bahwa jasad Karel Eduard Nix yang wafat pada usia 62 tahun, dikuburkan di kompleks permakaman Pandu pada hari Selasa pukul tiga sore tanggal 17 Februari 1942. Sebelumnya, dilaksanakan misa secara khidmat di gereja Katolik Pandu yang dihadiri oleh anggota keluarga serta kerabat dekat. Dari sana, jasad K. E. Nix diangkut menggunakan mobil jenazah ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Penerbit Al-Ma’arif, dari Yaman ke Ibu Kota Priangan
NGALEUT BANDUNG: Bandung di Masa Bersiap
NGALEUT BANDUNG: R. Ating Atma di Nata, Wali Kota Bandung Pertama dari Kaum Bumiputra
Menjadi N. V. Masa Baru, Ganaco, dan Sanggabuana
Informasi mengenai nasib A. C. Nix & Co. setelah ditinggalkan oleh pendirinya, K. E. Nix, diperoleh dari kolom berita keluarga pada harian De Preangerbode pada tanggal 21 Juni 1952. M. F. Nix selaku direktur N. V. Masa Baru atau yang dahulu dikenal sebagai N. V. A. C. Nix & Co, memberikan ucapan selamat telah berhasil melalui puasa Ramadan. Dari berita ini diketahui bahwa perusahaan N.V. A. C. Nix telah berubah nama menjadi N. V. Masa Baru dengan direkturnya M. F. Nix. Di dalam buku Pekan Buku Nasional 1954, percetakan dan penerbitan N. V. Masa Baru tercatat beralamat di Jalan Gereja No. 3 Bandung.
Kisah lain mengenai A. C. Nix & Co. dituliskan oleh Ajip Rosidi dalam buku memoarnya Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan (2008). Menurut Ajip, saat terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, A. C. Nix dibeli oleh Oejeng Soewargana, yang lalu mengubah namanya menjadi Ganaco.
Oejeng Soewargana adalah teman Jenderal A. H Nasution di sekolah guru Holland Indlansche Kweekschool (HIK) Bandung. Saat perang Kemerdekaan, Oejeng turut berjuang mengangkat senjata. Selepas pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada akhir tahun 1949, Oejeng memilih kembali menjadi guru dan aktif menulis buku teks pelajaran yang kemudian diterbitkan oleh A. C. Nix & Co. Melalui Ganaco, buku-buku teks pelajaran tersebut oleh Oejeng Soewargana ditawarkan kepada kenalan dan kawannya semasa sekolah guru di Bandung yang saat itu telah meduduki posisi penting di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui cara inilah buku terbitan Ganaco banyak digunakan di sekolah-sekolah.
Masih menurut keterangan Ajip Rosidi, selain mendirikan Ganaco, Oejeng Soewargana juga mendirikan penerbitan Masa Baru. Nama kedua perusahaan percetakan dan penerbitan ini kemudian selalu dituliskan bersama-sama: Ganaco/Masa Baru. Alamat Ganaco yang tercatat pada buku Pekan Buku Nasional 1954 adalah Jalan Gereja No. 3, alamat yang sama dengan N. V. Masa Baru. Sementara itu kantor bagian penjualan penerbit Ganaco diketahui beralamat di Jalan Raya Timur No. 119. Kedekatan antara Oejeng Soewargana dengan A. H. Nasution bisa dilihat pada iklan buku yang ditulis keduanya, sebagaimana dimuat di buku Pekan Buku Nasional 1954.
Manurut pendapat Ajip Rosidi, hingga akhir tahun 1960-an Ganaco/Mas Baru merupakan perusahaan penerbitan terbesar di Jawa Barat yang memiliki mesin cetak yang modern. Diketahui, Oejeng Soewargana kemudian mendirikan juga perusahaan penerbitan Sanggabuana.
Ajip Rosidi dalam bukunya Cupumanik Astagina menceritakan masa akhir Ganaco. Pada akhir tahun 1970-an sepeninggal Oejeng Soewargana, terjadi sengketa di antara istri-istrinya yang memperebutkan perusahaan penerbitan Ganaco/Mas Baru dan Sanggabuana. Kisruh ini mendorong pendiri dan pemilik perusahaan penerbitan Gunung Agung, yaitu Tjio Wie Tay atau yang lebih dikenal sebagai Haji Masagung, meminta bantuan A. H. Nasution untuk mendamaikan para istri mendiang Oejeng Soewargana. Setelah perselisihan berhasil didamaikan, para ahli waris Oejeng Soewargana bersepakat untuk menyerahkan pengelolaan perusahaan peberbitan Ganaco/Masa Baru dan Sanggabuana kepada Masagung.
Ajip Rosidi menulis dalam bukunya bahwa Haji Masagung kemudian meminta dirinya untuk mengelola Ganaco sebagai direktur. Namun tawaran dari Masagung ini ditolak oleh Ajip karena dirinya telah mengikat kontrak untuk menjadi dosen di Jepang. Akibat penolakan Ajip ini, Masagung kemudian mengurungkan niatnya untuk menyelamatkan Ganaco/Masa Baru dan Sanggabuana. Sejak itu, Ajip tak lagi mengetahui bagaimana nasib perusahaan penerbitan Ganaco/Masa Baru dan Sanggabuana.
Dalam sebuah foto tahun 1984 yang terdapat di buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, terlihat gedung Ganaco/Masa Baru dan Sanggabuana yang sebelumnya merupakan gedung A. C. Nix & Co. masih berdiri di belokan Viaduk dengan Jalan Perintis Kemerdekaan. Kini gedung Ganaco/Masa Baru dan Sanggabuana itu telah lenyap, berubah menjadi lahan parkir sebuah bank milik pemerintah. Ikut hilang juga sepenggal kisah usaha penerbitan yang dibangun dari sebuah usaha kecil hingga menjadi perusahaan penerbitan terbesar di Bandung.