• Narasi
  • Secuil Potret Pengalaman Ibu dan Anak dengan Sindroma Down #1

Secuil Potret Pengalaman Ibu dan Anak dengan Sindroma Down #1

Tak banyak yang tahu dinamika kehidupan orang dengan sindroma Down. Kehidupan yang tak mudah untuk mereka dan ibu yang mendampinginya. Ini kisah mereka.

Dhika Marcendy

Penerjemah Paruh Waktu di Human Rights Watch

Ilustrasi kepedulian pada sindroma Down. (Sumber; yankes.kemkes.go.id)

9 Juli 2024


BandungBergerak.id – Saya yakin, sebagian dari kita pasti muak melihat orang dengan disabilitas diolok-olok.Saya kira tak perlu data tentang ada berapa banyak video pendek, ada juga yang panjang, di media sosial yang mengolok-olok mereka, karena keberadaan satu video viral semacam itu saja sudah salah.

Entah kenapa para konten kreator, youtuber, influencer, komedian, atau apalah terserah mereka mau melabeli diri mereka apa, menjadikan kelompok disabilitas sebagai bahan olokan. Mereka mengajak publik untuk menertawakan itu dan mereka mendapat uang, uang yang pastinya tak sedikit, dari konten yang mereka labeli sebagai “dark jokes”.

Karena kelakuan orang-orang itu, video perundungan terhadap kelompok disabilitas akan semakin banyak diproduksi. Bahkan akun-akun media sosial yang mengklaim dirinya sebagai akun receh, ujung-ujungnya jadi ikut-ikutan mereproduksi konten perundungan serupa.

Jika Anda masih berpikir bahwa menghina dan menertawakan kelompok disabilitas, atau penyandang disabilitas lainnya, adalah bagian dari “dark jokes”, saya yakin Anda tak memiliki wawasan tentang apa yang dimaksud dengan istilah itu.

Melihat satu masalah ini saja sudah menunjukkan bahwa kehidupan kelompok disabilitas tidak sedang baik-baik saja.

Tentu, tak seorang pun di dunia ini bisa memilih ingin lahir dengan kondisi seperti apa. Semua dilahirkan dengan keanekaragamannya, kekhasannya masing-masing. Dan saya percaya bahwa tak ada satu makhluk pun di alam ini yang tercipta sama persis.

Namun kita ditampar realitas bahwa kita tak benar-benar bisa menikmati keragaman ini. Ada kelompok-kelompok yang acap kali dihadapkan dengan pinggirkan: salah satunya kelompok disabilitas. Mereka kesulitan mengakses pendidikan, menjadi objek kekerasan, dikurung di dalam rumah, dibebani dengan stigma buruk, lemah di mata hukum, dan kehilangan hak-hak esensialnya –kenapa? Hanya karena mereka berbeda.

Kondisi mereka seakan-akan menjadi penghalang untuk mereka berkembang. Tentu, mereka juga punya potensi, keinginan, dan mimpi. Mereka harus memiliki ruang dan kesempatan untuk berkembang sesuai keinginan mereka.

Dalam tulisan ini, saya akan berfokus dengan dinamika kehidupan orang dengan sindroma Down. Mereka kerap diremehkan dalam masyarakat dan dianggap tak mampu menjalani kehidupan sosial, kesulitan mendapat akses pendidikan dan teman sebaya, sulit mendapat pekerjaan karena dianggap tak mampu secara intelektual, dianggap sebagai beban keluarga, dan disepelekan karena dianggap tak mampu melakukan hal yang “mudah”. Di sini, Anda akan membaca secuil potret pengalaman dan perasaan mereka dan ibu mereka selama menjalani hidup.

Saya mewawancarai tiga pasang ibu dan anak dengan kondisi sindroma Down. Mereka adalah Petra (38 tahun), Adit (25 tahun), dan Septia (25 tahun) dan ibu mereka masing-masing. Mereka semua adalah murid dari kelas peer group di Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (Yapesdi).

Yapesdi adalah organisasi non-profit yang berfokus pada pengembangan orang dengan sindroma Down dan disabilitas intelektual lainnya. Yapesdi didirikan oleh Morgan Maze, seorang dengan sindroma Down, bersama dengan ibunya, Dewi Tjakrawinata. Yapesdi secara resmi berdiri pada tanggal 2017, namun nama Morgan tak bisa ditulis sebagai pendiri yayasan ini karena seorang dengan sindroma Down dianggap tak memiliki kapasitas hukum. Untuk menghargai kerjanya sebagai pendiri yayasan ini, maka tanggal resmi berdirinya yayasan ini diambil dari hari ulang tahun Morgan, yaitu tanggal 23 November.

Tak lupa, saya berterima kasih pada Terra Istinara, anggota pengurus Yapesdi, yang memberikan saya kesempatan untuk mewawancarai teman-teman sindroma Down.

Baca Juga: Pentas Pantomim Anak-anak di Kebun Ummasa bersama Wanggi Hoed
Menyimak Imajinasi Anak-anak Dago Elos
Mendengarkan Suara Anak-anak Terkait Pembangunan Kota Bandung

Cerita Petra

Petra dikenal sebagai seorang penyair yang menyuarakan keprihatinannya sebagai perempuan dengan sindroma Down, buku puisinya sudah diterbitkan dengan judul Suara Hati. Ia juga merupakan seorang swa-advokat yang aktif dalam isu perempuan dengan disabilitas intelektual. Ia pernah menjadi panelis pada acara ESCAP-22 yang diadakan secara daring. Dalam acara tersebut ia menceritakan pengalamannya sebagai responden “Legal Needs Survey for woman with intellectual and or psychosocial disabilities” yang merupakan topik utama dalam “Closing The Justice Gap”, acara tersebut diisi oleh organisasi disabilitas dari empat negara, yaitu Fiji, Indonesia, Filipina, dan Nepal.

Petra juga pernah mendapat beasiswa untuk mengikuti Summer School/Camp on Law for Persons with Disabilities di Universitas Galway, Irlandia. Selama belajar di sana Petra didampingi oleh ayahnya. Dikabarkan juga bahwa Petra adalah satu-satunya siswa dengan sindroma Down pada Summer School tersebut. Selain belajar ia pun berkesempatan untuk membacakan puisi karyanya sendiri yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Pada Desember 2023 lalu, Petra diundang dan didanai ke Bangkok oleh UN Woman Asia Pacific untuk menjadi panelis yang membahas tema “The 1st Asia Pacific Congress on Woman and Girl with Disabilities”. Ia menjadi salah satu dari 200an perempuan dengan disabilitas dari berbagai organisasi di Asia Pasifik. Lagi-lagi, ia menjadi satu-satunya wakil perempuan dengan sindroma Down di acara tersebut. Sebagai panelis, ia menceritakan pengalaman dan hambatan yang ia dan kawan-kawanya alami sebagai perempuan dengan disabilitas intelektual. Ia juga mengajak semua lapisan masyarakat untuk bekerja sama menciptakan ruang lingkup yang aman untuk perempuan.

Meski sudah sering menjadi panelis di acara internasional, Petra tak lupa bahwa apa yang telah ia capai tak lepas dari dukungan penuh sang mama.

“Aku bisa ngomong gini karena si mam sih,” kata Petra pada saya, bersama mamanya, Mama Rince.

Mama Rince pun lanjut menceritakan tentang awal mula ketertarikan Petra terhadap bahasa.

“Karena saya mulai ngajarin Petra baca itu dari umur dua tahun, jadi umur empat tahun dia sudah bisa baca, jadi sebelum dia bisa ngomong. Jadi dia bisa ngomong dan baca itu berbarengan lah. Kalau menulis dia memang agak terlambat, sekitar umur tujuh atau delapan tahun, karena motoriknya. Ya gitu lah, saya beliin dia buku, entar dia baca sendiri, kalu dia gak ngerti, nanti dia juga tanya sendiri,” kata Mama Rince.

Metode yang Mama Rince gunakan untuk mengajarkan Petra membaca dengan mengibaratkan huruf-huruf dengan hal-hal yang Petra sudah ketahui.

Mama Rince pun mencontohkannya, “Huruf yang kayak cacing apa?”

“S,” jawab Petra,

“Kalau huruf yang kakinya ada dua?”

“H.”

“Jadi ya dimain-mainkan huruf-huruf itu… akhirnya dia hafal dari a sampai z itu dari bermain-main kayak begitu,” lanjut Mama Rince.

Kemudian kita membahas tentang buku puisi yang sudah ia terbitkan.

“Petra suka nulis sejak kapan?” lanjut saya,

“Dari kecil,” kata Petra.

“Petra udah pernah nulis apa aja?”

“Kadang puisi.”

Ia lanjut memilih puisi untuk ia bacakan.

“Oke yang Galau deh,” kata Petra.

“’Galau’ karya Petra Angelina. di malam minggu ini tak ada yang menemani/ selalu temanmu/ hatiku selalu bertanya/ kapan aku punya pacar/ ku bertanya kepada cermin/ ku bertanya kepada diriku sendiri/ ku bertanya kepada hati kecilku/ dan mereka selalu menjawab/ kamu terlalu kecil/ mengapa aku selalu kesepian/ tak ada teman untuk menghiburku/ ke mana ku harus melepaskan kegalauan ini Tuhan.

“Terima kasih,” Petra menutup puisinya.

Di samping itu, Mama Rince mengeluhkan bahwa dirinya kesulitan menemukan orang yang mampu membimbing hobi menulis Petra. Ia mengaku tak bisa membimbing Petra untuk mengembangkan karya-karyanya. Sayangnya, sampai hari ini ia belum menemukan orang yang bisa mendampingi Petra dalam hal ini.

“Saya khawatir banget,” kata Mama Rince, waktu menceritakan tentang kecemasannya.

Ia sangat cemas jika Petra nanti tak ada yang mendampingi. Ia merasa bahwa Petra harus terus didampingi meski usianya sudah 38 tahun. Perasaan Mama Rince bukannya tanpa alasan, ia mengetahui bahwa Petra beberapa kali pernah ditipu oleh orang asing.

Ceritanya, Mama Rince mengisi Gopay milik Petra sebanyak Rp.100.000. Tak lama setelah itu, saldo tersebut tiba-tiba habis, tapi Petra tak membeli apa pun. Mama Rince pun bertanya “Ke mana uangnya?” Ia pun akhirnya menyelidiki sendiri dan mengetahui bahwa saldo tersebut diberikan pada orang asing yang Petra kenali secara online.

Orang-orang tak bertanggungjawab ini mulanya merayu-rayu Petra, sampai akhirnya Petra merasa bahwa orang itu adalah pacarnya. Setelah mendapat kepercayaan Petra, orang ini memanfaatkan Petra untuk membelikannya pulsa.

Namun Mama Rince pun tak mau membatasi pergaulan Petra. Ia tak mau Petra kesepian. Pada saat yang bersamaan juga ia khawatir bahwa akan ada orang-orang jahat yang berniat buruk pada Petra.

Mama Rince berpendapat bahwa harus ada ruang yang aman untuk perempuan dengan disabilitas intelektual hidup. Karena ruang aman tersebut ia rasa belum tersedia, ia enggan melepas Petra untuk bekerja sendiri. Ia yakin, bukan hanya Petra yang ingin dapat pekerjaan, semua orang juga ingin, tapi ia masih belum bisa melepas Petra sendirian meskipun Petra mendapat pekerjaan. Ia merasa bahwa tetap harus ada orang yang mendampingi Petra. Ia lebih baik membiarkan Petra bekerja dari rumah saja.

“Tapi nyatanya ya kayak gini… mau bagaimana pun juga, kita tetap khawatir seumur-umur dia (Petra)… kalau kita udah enggak ada, siapa yang dampingi dia? Siapa yang nanyain dia? Saya khawatir takut dia ditipu karena dia terlalu baik, tidak pernah menyangka buruk sama orang. Jadi kalau dia (dihadapkan dengan) orang minta, iya, ini iya, kasih iya. Jadi kita kan khawatir banget…” kata Mama Rince.

Lanjut Mama Rince menceritakan bahwa dulu Petra sempat tak menerima bahwa dirinya seorang dengan sindroma Down.

“Petra juga enggak mau nerima, ‘enggak, aku enggak mau DS’, ‘jadi kamu mau kayak apa?’, ‘aku mau kayak biasa-biasa aja’ katanya, untuk supaya dia menerima DS aja setengah mati. ‘Ini sudah pemberian dari Tuhan kita harus terima, enggak bisa enggak’. Dia tadinya enggak mau terima, merasa dia juga enggak bisa, ‘kenapa-kenapa orang nyakitin aku terus’, ‘kenapa gitu loh kenapa orang enggak sayang sama saya’ dia tadi juga enggak mau begitu, enggak mau dia DS,” kata Mama Rince.

Ia pun tak berhenti menyemangati Petra di saat-saat jatuh. Ia mendorong kepercayaan diri Petra dengan mengingatkan hal-hal yang sudah Petra gapai sejauh ini. Ia selalu bilang “Kamu gak usah minder, kamu kan bisa semua, nulis, berenang, main piano, nari, kamu bisa semua.”

Keresahan Mama Rince tak bisa disepelekan. Beberapa mungkin berpikir bahwa Mama Rince terkesan tak bisa mempercayai Petra, namun pada kenyataannya, menurut CATAHU Komnas Perempuan pada tahun 2023, ada 72 perempuan dengan disabilitas yang mengalami kekerasan. Itu pun dari data lembaga layanan, masih ada kemungkinan bahwa sebenarnya masih banyak lagi korban yang tak melapor.

*Kawan-kawan bisa membaca tulisan lainnya tentang anak

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//