Secuil Potret Pengalaman Ibu dan Anak dengan Sindroma Down #2
Ibu yang membesarkan anak dengan sindroma Down punya rasa cemas yang sama, belum ada ruang iklusif yang hadir untuk anaknya. Berharap pada dukungan masyarakat.
Dhika Marcendy
Penerjemah Paruh Waktu di Human Rights Watch
10 Juli 2024
BandungBergerak.id – Adit adalah seorang drummer dengan sindroma Down, berasal dari Payakumbuh, Sumatra Barat. Kemampuan menabuh drum Adit sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat luas. CNN, Kumparan, Tempo, iNews.id, Liputan6, dan beberapa platform berita lainnya sudah pernah menuliskan tentang kemampuan Adit. Profile Adit pun sudah ditulis di website World Down Syndrome Day.
Mama Emsyarfi menyadari Adit menyukai musik sejak ia berusia tiga tahun.
“Adit dulu waktu kecil itu menangis itu, enggak tahu sebab. Enggak jelas, apakah sakit juga enggak, kotor juga enggak, lapar juga enggak nangis aja, terus kan kemudian saya coba menyanyi, menghiburnya, mengajaknya berkomunikasi, eh diam, oh mau diajak menyanyi jadi akhirnya seluruh kegiatannya itu saya menyanyi, mas. Kalau makan saya ada nyanyinya gitu kalau mau tidur saya bernyanyi, kalau mandi bernyanyi dan saya merasakan bahwa dia menikmati kalau mendengar irama itu. Oh ini kesukaannya rupanya… saya merasakan bahwa dia menyukai musik ternyata,” kata Mama Emsyarfi.
Begitu menyadari minat Adit, Mama Emsyarfi mulai memilihkan alat musik untuk Adit mainkan. Pertama ia membelikan kolintang dan mengajarkan Adit untuk memainkannya pelan-pelan. Kemudian ia membelikan harmonika dan gitar, sayangnya Adit ternyata tak cocok untuk memainkan alat musik melodis. Tak habis akal, Mama Emsyarfi mengarahkan Adit ke alat musik ritmis, gendang.
Ternyata Adit cocok!
Adit kecil mulai menabuh gendang kulit kecil. Adit mulai mengekspresikan dirinya dalam tabuhan gendang meski gerakannya masih belum beraturan. Kadang-kadang Adit menyusun benda-benda yang ada di rumahnya seperti galon, panci, baskom, gelas, dan loyang kue seperti susunan drum. Karena Adit dianugerahi dengan tenaga yang luar biasa kuat, ia kerap menabuh gendang dan barang-barang itu sampai rusak.
Mama Emsyarfi mulai menabung untuk membelikan satu set drum untuk Adit. Saat Adit berusia 11 tahun, satu set drum itu akhirnya terbeli.
Adit tak langsung pergi ke kursus musik. Ia mempelajarinya secara otodidak lewat menonton VCD bajakan.
“Jadi kemudian untuk belajar bermusiknya itu Adit menonton dari televisi, zaman itu masih pakai kaset bajakan, belum youtube-youtube-an. Kita belum punya hp android waktu itu jadi belanjanya yang paling banyak itu Adit seminggu itu dia minta beli kaset tuh 3-5 lah kalau enggak salah… oh ya di kaset bajakan sih mas kaset VCD bajakan, jadi saya pasang di kamar itu di kamar itu televisi sama VCD. Diputar VCD jadi dia bermain meniru pemain-pemain drum terkenal itu,” kata Mama Emsyarfi.
Mulai dari tahun 2015, semenjak Mama Emsyarfi memiliki HP Android, ia mulai sering mengunggah video Adit bermain drum di Youtube. Mama Emsyarfi tak sadar kalau video yang ia unggah sudah ditonton oleh banyak orang. Kabar itu pun ia dapat dari guru sekolah Adit.
Guru sekolah Adit ujungnya menawarkan Adit untuk tampil di sekolah. Adit lantas menerima tawaran tersebut!
Setelah menonton Adit tampil, sang guru menyarankan sesuatu pada Mama Emsyarfi, “Gimana kalo Adit les musik?”
Mama Emsyarfi sebenarnya sudah sangat lama memikirkan tentang kurus musik, namun ia cemas kalau tak ada kursus musik yang mau menerima anak dengan sindroma Down.
“Awal-awalnya kita tidak mengetahui bahwa kita bisa bawa Adit ini ke sekolah musik, karena bagaimanapun juga semua anak berkebutuhan khusus ini pasti ada minder tersendirinya, mas. Kita kadang-kadang takut di judge orang, kita takut ditolak, kita takut apa pun lah, kita serba ketakutan,” kata Mama Emsyarfi.
Daripada larut dalam ketakutan, Mama Emsyarfi membulatkan niatnya untuk datang ke tempat kursus musik, satu-satunya kursus musik di Payakumbuh. Ia langsung mengutarakan niatnya untuk mendaftarkan Adit. Ia juga menceritakan kondisi Adit pada guru musik yang ia temui di sana.
“Oh iya boleh, Bu!” kata sang guru drum padanya. Kata Mama Emsyarfi, guru drum tersebut malah semangat menerima Adit, “Baginya (sang guru) mengajar anak dengan sindroma Down adalah waktu untuk menguji kredibilitasnya sebagai seorang guru.”
Mama Emsyarfi diminta oleh sang guru untuk menjadi shadow teacher bagi Adit selama kelas berlangsung. Mama Emsyarfi juga setuju dengan usul itu, ia pun sudah memikirkan hal serupa sebelumnya.
Metode Adit untuk belajar musik adalah mendengarkan lalu mainkan. Menurut Mama Emsyarfi, Adit tak cocok dengan teori musik. Sang guru sempat mengajarkan Adit tentang tempo ketukan, namun Adit langsung melipat tangannya dan menaruh drum stick-nya. Metode Adit untuk mempelajari sebuah lagu dengan cara mendengarkan lalu meniru ketukan drum. Ternyata metode itu pun efektif sampai hari ini
Perkembangan permainan drum Adit sangat pesat setelah ikut sekolah musik. Adit hanya perlu mendengarkan satu atau dua kali sebuah lagu, ia langsung bisa mengisi drum di lagu tersebut. Kalau lagunya rumit ia membutuhkan waktu sekitar empat atau lima kali latihan.
Adit pernah memainkan 20 lagu pada sebuah acara di Payakumbuh. Ia bermain dua lagu lalu dijeda, kemudian ia main lagi. Seperti yang Mama Emsyarfi katakana sebelumnya, kekuatan fisik Adit memang luar biasa. Ia punya banyak stamina.
“Saya hitung-hitungan dengan waktu rasanya. Sekarang usia saya udah 56 tahun, mas. Saya setiap saat selalu bertanya kepada diri sendiri, sampai kapankah saya punya waktu? Sampai kapankah saya sehat? Sampai kapankah saya masih bisa dampingi Adit?” kata Mama Emsyarfi.
Sampai hari ini, setiap Adit manggung, semua persiapan Adit masih dipersiapkan oleh Mama Emsyarfi, dari pemilihan lagu sampai selesai manggung. Mama Emsyarfi masih menjadi penyambung lidah untuk Adit dan dunia luar. Ia masih khawatir bahwa tak ada yang memahami Adit. Ia merasa bahwa tidak banyak orang yang bisa paham cara Adit berkomunikasi, apa lagi memahami perasaan Adit.
Sama seperti Mama Rince, Mama Emsyarfi juga khawatir tentang masa depan Adit. Ia ingin Adit bisa diakui sebagai drummer professional. Ia ingin Adit bisa hidup dari kemampuannya bermain drum.
Di sela-sela cerita tentang masa depan Adit, Mama Emsyarfi memberikan pandangannya tentang sebagai seorang ibu dengan anak sindroma Down;
“Saya berpikir hidup mereka sangat berwarna. Hidup mereka tidak kaku seperti yang teman-teman pikirkan. Hidup mereka sangat berwarna. Mereka untuk bisa membaca saja mereka membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan belasan tahun… saya tidak, saya tidak minder punya anak, malah saya bangga walaupun dia ada kurangnya atau apa pun, tapi bagi saya itu tidak masalah.” Kata Mama Emsyarfi.
Mama Emsyarfi mengatakan bahwa memang perlu kesabaran dan jangan kehabisan akal untuk menggali bakat orang dengan sindroma Down. Ia menganggap bahwa segala bentuk tantangan yang mereka hadapi sebagai corak-corak warna kehidupan yang perlu disyukuri. Baginya perasaan cemas dan takut mungkin selalu ada dalam benak para orang tua dengan anak sindroma Down, namun ia menegaskan bahwa jangan pernah larut dalam perasaan semacam itu.
Baca Juga: Menyambut Hari Down Syndrome Dunia di Gedung Sate, Libatkanlah Kami
PROFIL PIK POTADS JABAR: Sistem Pendukung dan Wadah Berbagi untuk Orang Tua dengan Anak Sindrom Down
Secuil Potret Pengalaman Ibu dan Anak dengan Sindroma Down (1)
Cerita Septia
Septia tidak pernah sekolah. Ia hanya pernah ikut PAUD, sampai PAUD tersebut tak lagi menerimanya karena alasan usia. Orang tuanya tak mampu menyekolahkan Septia karena biaya SLB terlalu mahal.
“Karena itu ya, saya enggak ikut SLB itu kan mahal ya… 2000 awal saya lupa itu, pendaftarannya Rp 3.000.000, terus bulanannya Rp 300.000, kan lebih mahal dari SMA, itu di tahun itu ya. Di tahun teman dia yang udah pada sekolah dia belum, dulu saya kan enggak kerja. Suami saya cuma sopir. Ya terus terang uang saya yang enggak seberapa itu memang saya lebih pentingin ke kakaknya. Jadi saya ajarin sendiri.” Kata Ibu Suwarni, ibunya Septia.
Ibu Suwarni adalah satu-satunya guru untuk Septia. Ia secara rutin mengajarkan Septia berkomunikasi, mengenali huruf, mengerjakan perkerjaan rumah, dan lain-lain. Namun semenjak ia bekerja sebagai PRT, waktunya terpecah. Ia tak bisa lagi mengajari Septia secara rutin.
Waktu itu, Septia tak bersekolah dan tak punya rutinitas. Ia biasanya ikut Ibu Suwarni bekerja atau berkegiatan. Sisanya ia habiskan di rumah. Ia bahkan tak punya teman sebaya.
Bukannya Ibu Suwarni melarangnya bergaul dengan anak-anak di sekitar kontrakan, sebelumnya ia juga sering mengizinkan Septia main di luar. Sampai ia mengetahui bahwa Septia dirundung.
“Soal bully itu hampir semua anak down syndrome ya, nggak cuman Septia aja. Kita curhat ke beberapa orang tuh, beberapa orang tua mereka sama-sama merasakan juga. Kalau yang Septia rasa… sama anak-anak kecil, sama anak-anak umuran 4-5 tahun gitu tuh masih sayang ya sama dia, tapi mulai umuran 6-7 tahun itu sama dia udah kayak, ya itu karena ada yang ledekin gitu… terus mulai gede dikit sudah enggak mau temenan sama dia. Karena yang gede itu kan nanti kalau anak kecil deket gitu ya ‘eh pacarnya ini, pacarnya Tia, pacarnya Tia’ otomatis itu anak kan marah, nanti dia yang jadi sasaran Tia. Tia yang dipukul ‘Apa?! Enak aja aku pacarnya dia!’ Kejadian itu berkali-kali,” kata Ibu Suwarni.
Setelah kejadian itu, ia melarang Septia bergaul dengan mereka lagi. Namun Septia masih bersih keras kalau yang “teman-temannya” lakukan bukan lah kenakalan, mereka sempat berdebat kecil tentang urusan ini.
“Sudah jangan main sama mereka lagi, mereka itu nakal.”
“Enggak, Bu, mereka gak nakal!” jawab Septia.
Daripada semakin alot, Ibu Suwarni pun mengalah, “Oh ya sudah, dia takut kehilangan teman-temannya, jadi dia bilang gitu”.
Satu waktu anak-anak itu mampir lagi ke kontrakan Septia, “Ayo Mbak Tia, main, kita main”. Ibu Suwarni mengizinkan Septia untuk main keluar. Firasat buruknya mendorong Ibu Suwarni untuk membuntuti Septia secara diam-diam.
Ternyata benar, tepat di depan mata Ibu Suwarni, Septia disuruh menempelkan kedua tangannya di kepalanya dan anak-anak lain memukulinya habis-habisan, sampai Septia tersungkur.
“Aduh sakit hati saya. Sakit banget bener-bener, kalau saya ingat itu,” kata Ibu Suwarni.
Dan lagi-lagi, mereka berdebat soal ini. Ibu Suwarni berusaha memberi pengertian pada Septia tentang mana teman yang baik dan yang nakal.
Jawaban Septia masih sama, “Enggak, Bu, mereka gak nakal. Mereka main.”
“Kalau main itu, enggak kayak gitu Mbak Tia. Kalau Mbak Tia dipukulin, jelas-jelas sampai jatuh duduk. Kok Mbak Tia masih bilang mereka itu baik, gimana? Kalau temen yang sayang sama Mbak Tia itu gak mukul, enggak ngata-ngatain,” kata Ibu Suwarni.
Ibu Suwarni menekankan sekali lagi bahwa ia sangat paham bahwa Septia sebenarnya hanya takut kehilangan teman-teman sebayanya. Septia tak mau kesepian
Pelan-pelan Septia mengerti.
Akibat dari perundungan tersebut, Ibu Suwarni merasa bahwa rumah adalah tempat paling aman untuk Septia.
Ibu Suwarni masih ingat bahwa Septia sewaktu kecil adalah anak yang riang. Sampai Septia menginjak umur 10 tahun, umur di mana ia mulai dirundung. Dampaknya, Septia kehilangan rasa percaya dirinya. Ia minder. Ia bahkan tak memiliki teman sebaya. Setiap ia bertemu dengan orang baru, ia terbiasa bersembunyi di balik punggung sang ibu.
Ibu Suwarni takut jika Septia terus-terusan sendiri, ia semakin kesulitan bersosialisasi. Ia takut jika pada akhirnya Septia akan terus menyendiri, sembunyi, dan diam, bahkan jika amit-amit Septia diam saja saat dilecehkan.
“Terus gimana kalau dia begini terus? Saya paling takut itu pelecehan. Itu yang saya paling khawatirkan.” Kata Mama Suwarni.
Bicara soal kecemasan, Ibu Suwarni sudah cemas semenjak Septia lahir. Begitu mengetahui Septia lahir dengan kondisi sindroma Down. Ia dan suaminya langsung sepakat untuk memberikan Septia seorang adik. Setidaknya Septia memiliki seorang kakak dan adik yang akan selalu ada untuknya, kelak ia dan suaminya meninggal.
Perasaan takut, cemas, dan semacamnya lumayan memudar semenjak Septia menjadi murid dari kelas peer group di Yapesdi. Septia mulai bergabung bersama mereka sejak masa awal pandemi covid-19, sekitar tahun 2020.
Septia sangat senang akhirnya ia bisa bersekolah!
Ibu Suwarni mengetahui informasi bahwa Yapesdi membuka kelas gratis untuk orang dengan sindroma Down dan disabilitas intelektual dari Lita Anggraeni di Jala PRT. Kebetulan memang Ibu Suwarni memang sudah bergabung dengan Jala sejak 2017.
Septia banyak berkembang dalam kelas ini. Bukan hanya secara pengetahuan, secara kepribadian pun ia berkembang. Ia mulai kembali mendapatkan kembali kepercayaan diri yang hilang sejak kasus perundungan. Ia tampak lebih ceria dan terbuka. Ia akhirnya punya teman sebaya dengan kondisi sindroma Down. Ia menikmati dinamika bersama teman-teman yang lainnya. Ia belajar tentang memasak, berjualan, kesehatan reproduksi, krisis iklim, dan lainnya. Ternyata, ia suka melukis! Ia mulai mendalami seni lukis setiap minggunya, didampingi oleh ayah atau saudaranya.
Ibu Suwarni berharap bahwa Septia kelak bisa hidup mandiri dan tidak disepelekan. Ia sangat yakin bahwa orang dengan disabilitas bisa setara jika diberi kesempatan.
Cemas dan Harap
Di balik kecemasan dari para ibu. Mereka memiliki kesamaan, mereka cemas akan anak-anak mereka setelah mereka tiada. Bukan tanpa alasan, bukan juga meremehkan kondisi orang dengan sindroma Down, berkaca dari pengalaman yang mereka lalui, bahwa memang ruang inklusif itu lah yang belum hadir dihadapan mereka.
Menurut kesaksian Ibu Suwarni, ia sering sekali bertemu dengan orang dengan disabilitas intelektual yang lahir dari keluarga yang tak mampu secara ekonomi, tak pernah merasakan bangku sekolah sama sekali. Keluarga mereka pun kebingungan harus berbuat apa. Alhasil mereka dibiarkan tak berdaya dan dianggap beban keluarga.
“Tapi memang pendidikan disabilitas intelektual ini mahal sekali, yang dari rakyat bawah mustahil untuk masukan mereka ke sekolah… Soalnya ya itu, biayanya, terus pelatihannya juga enggak terjangkau, terus kayak terapi-terapi itu juga semuanya mahal. Jadi untuk kita itu, kebanyakan ya anak down syndrome itu dibiarkan begitu aja… Banyak yang dari dari kelas bawah itu sama sekali enggak tahu apa-apa, enggak ngerti ini, ditanyain ini enggak tahu, ini enggak tahu, ngomongnya enggak jelas… karena beberapa anak saya pernah ketemu benar-benar enggak bisa apa-apa dan saya enggak tahu karena mungkin orang tuanya juga enggak ngajarin, ini juga bisa jadi ya karena rata-rata memang (keluarganya berpikir) ‘ah itu anak begini ngapain diajarin pasti enggak bisa’, selalu begitu,” kata Ibu Suwarni.
Ibu Suwarni, Mama Rince, dan Mama Emsyarfi berharap semakin banyak organisasi yang peduli terhadap hak-hak orang dengan sindroma Down. Mereka percaya bahwa jika semua organ masyarakat bisa bekerja mendukung orang dengan sindroma Down, maka lingkungan yang inklusif pun akan tercipta.
Mereka berpendapat bahwa pemerintah juga perlu ikut berpartisipasi dalam pendidikan untuk orang dengan sindroma Down. Mereka bisa membuat banyak pelatihan gratis untuk orang dengan sindroma Down. Untuk membuat pelatihan tersebut pemerintah bisa bekerja sama dengan organisasi yang sudah lama bergelut di bidang ini, seperti ISDI, POTADS, atau Yapesdi.
Selain pendidikan dan pelatihan praktis, mereka berharap pemerintah juga perlu membuka lapangan pekerjaan bagi orang dengan sindroma Down. Setelah menyelesaikan pendidikan dan pelatihan harus menyediakan lapangan pekerjaan untuk mereka, tempat di mana mereka bisa mengaplikasikan apa yang sudah mereka pelajari.
Mereka sangat yakin bahwa orang dengan sindroma Down itu bisa setara. Mereka menyatakan bahwa orang dengan sindroma Down pasti setara jika berada dilingkungan yang inklusif. Sekali lagi, mereka menekankan bahwa masyarakat perlu memberikan orang dengan sindroma Down kesempatan, biarkan orang dengan sindroma Down membuktikan kalau mereka mampu.
*Kawan-kawan bisa membaca tulisan tentang anak