• Buku
  • BUKU BANDUNG #77: Ginan, Jeruji, dan Semangat Menolak Stigma

BUKU BANDUNG #77: Ginan, Jeruji, dan Semangat Menolak Stigma

Derajat Ginanjar Koesmayadi alias Ginan meninggalkan jejak dan pemikiran antistigma dan diskriminasi dalam buku berjudul “Melampaui Mimpi”.

Buku Melampaui Mimpi, ditulis Ginan Koesmayadi & Sundea (Cetakan pertama 2014). (Foto: Linda Lestari/BandungBergerak)

Penulis Linda Lestari14 Juli 2024


BandungBergerak.id“Kamu tau Magic Johnson?” kata ayah Derajat Ginanjar Koesmayadi alias Ginan Koesmayadi. Sekarang kamu sama seperti dia. Kamu terinfeksi HIV,” Sang ayah melanjutkan.

Dialog tersebut terdapat dalam buku “Melampaui Mimpi” yang ditulis Ginan Koesmayadi & Sundea. Jauh sebelum positif terjangkit Human Immunodeficiency Virus (HIV), almarhum yang juga vokalis band metal Jeruji tersebut menjalani hidup bebas demi lari dari dari berbagai pikiran yang membelenggunya. Semenjak SMP, Ginan mulai mencoba masuk ke dunia obat-obratan. Obat yang selalu ia minum mampu membawanya pada ilusi ketenangan.

Seiring tumbuh dewasa, semakin luas ia berkenalan dengan dunia luar dan kian banyak berbagai jenis narkotika yang ia coba. Sampai akhirnya ia tiba pada fase candu terhadap jenis obat yang ia suntikkan melalui pembuluh darah.

Di WC umum favoritnya Ginan biasa menaruh benda terlarang tersebut. Di tempat itu terdapat banyak benda serupa bekas pemakai lain. Saling pakai alat tak steril akhirnya saling menularkan virus mematikan secara berantai.

Open Data Kota Bandung menyebut ada 1.401 kasus HIV dari rentang tahun 2015 sampai 2022. Paling banyak adalah kelompok muda produktif usia 20-49 tahun. Mereka pun rentan mendapatkan perlakuan diskriminasi dari lingkungan sekitar termasuk keluarga, seperti terlihat dalam dialog di atas.

Penelitian Nursalam dan kawan-kawan dalam jurnal National Library of Medicine dengan judul penelitian “Investigation of discriminatory attitude toward people living with HIV in the family context using socio-economic factors and information sources: A nationwide study in Indonesia” menyatakan, prevalensi perilaku diskriminatif dalam keluarga terhadap orang dengan HIV di Indonesia berada pada angka 72,1 persen.

Melalui buku ini Ginan menceritakan perjalanan hidupnya sebagai penyintas pecandu narkoba dan orang dengan HIV. Ginan ingin menyampaikan pesan dan mematahkan stigma negatif pada orang dengan HIV. Orang dengan HIV kerap kali mendapat perlakuan diskriminasi. Ginan bahkan mendapat perlakuan ini dari ayahnya sendiri yang memisahkan peralatan makan yang ia gunakan dan menyiapkan batu nisan untuk “kematiannya”, seolah orang dengan HIV tidak memiliki kesempatan untuk hidup lebih lama dan dapat berbaur dengan yang lainnya.

Ginan berangkat ke negeri jiran untuk melalui proses rangkaian rehabilitasi. Ginan memiliki keinginan yang kuat untuk berhenti dari kecanduan terhadap obat-obatan yang dikonsumsinya. Kecanduan ini bahkan membuatnya menjadi sosok kriminal dengan mencuri barang milik siapa pun untuk dapat membeli obat dan memenuhi rasa candunya.

Setelah melalui berbagai rangkaian proses rehabilitasi, Ginan dinyatakan sembuh dan dapat kembali pulang ke Indonesia. Kemudian ia bekerja di sebuah tempat rehabilitasi di Jakarta sebagai konselor. Namun, pada tahun 2002 tempat ini dibubarkan karena kondisinya yang tidak stabil.

Kembali ke Bandung, Ginan bersama beberapa rekan dari tempat rehabilitasi sebelumnya mendirikan sebuah tempat rehabilitasi bernama Rumah Cemara. Dengan bekal pengalaman dari tempat rehabilitasinya di Malaysia dan juga pengalamannya sebagai konselor di Jakarta, didirikanlah tempat sekaligus komunitas untuk membantu para pecandu narkoba dan orang dengan HIV/AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Di tempat ini dilakukan banyak kegiatan positif yang dapat meningkatkan semangat para penghuninya.

Suatu hari, Ginan mendapat kabar mengenai gelaran Homeless World Cup melalui film yang ia tonton. Melalui berbagai latihan dan pencarian dana, akhirnya tim dari Rumah Cemara melangkah ke Homeless World Cup 2011 Paris, Prancis sebagai wakil dari Indonesia. Capaian ini pengalaman perdana tim Rumah Cemara di ajang sepak bola dunia khusus kelompok rentan. Tim Rumah Cemara berhasil menduduki posisi ke-6 dunia, mendapat penghargaan Best New Comer, dan Ginan Koesmayadi terpilih menjadi Best Player.

Gelaran ini lantas memicu Rumah Cemara untuk melakukan perhelatan serupa bernama League of Change dengan melaksanakan pertandingan sepak bola bagi orang dengan HIV/AIDS di seluruh Indonesia. Pemain terbaik di setiap tim akan ditunjuk untuk mewakili Indonesia pada gelaran Homeless World Cup.

Dalam buku ini, Ginan menunjukkan bahwa pecandu narkoba bisa sembuh dan keluar dari penderitaannya tersebut. Ia juga menunjukkan bahwa orang dengan HIV/AIDS mampu memiliki mimpi dan mampu menorehkan prestasi di kancah internasional. Selain itu, berbagai kisahnya menunjukkan bahwa orang dengan HIV/AIDS memiliki hak dan mampu melanjutkan hidup bahkan melangsungkan pernikahan.

“Sekarang, saya ingin bertanya kepada kalian. Seikhlas apa kalian jika orang terdekat kalian berbagi hidup dengan orang yang terinfeksi HIV seperti saya?” tulis Ginan (halaman 321).

Baca Juga: BUKU BANDUNG #74: Menjelajah Braga Tempo Doeloe
BUKU BANDUNG #75: Antara Sarayevo dan Ronggeng
BUKU BANDUNG #76: Masih Bersama Tamansari

Foto Komunitas Rumah Cemara yang terdiri dari orang dengan HIV/AIDS, konsumen NAPZA, dan individu termarginalkan. (Foto: Rumah Cemara)
Foto Komunitas Rumah Cemara yang terdiri dari orang dengan HIV/AIDS, konsumen NAPZA, dan individu termarginalkan. (Foto: Rumah Cemara)

Kiprah Ginan Koesmayadi

Deradjat Ginandjar Koesmayadi atau lebih dikenal Ginan berusaha keras meningkatkan taraf hidup orang-orang yang hidup dengan HIV di Indonesia. Pada tahun 2003, Ginan bersama empat teman kuliahnya Patri Handoyo, Hartanto Emka, Ikbal Rahman, dan Darwis mendirikan Rumah Cemara yang berpusat di Bandung. Rumah Cemara bekerja sebagai aliansi untuk menjangkau pengguna narkoba dan kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya.

Sebagai Co-Executive Director, Ginan telah mendukung pertumbuhan Rumah Cemara dari kantor pusatnya di Bandung ke delapan provinsi di Indonesia. Seperti dikutip dari frontlineaids.org, ketika Indonesia menjadi Alliance Linking Organization pada 2010, Ginan bergabung dengan dewan organisasi tersebut dan mendorongnya untuk menjadi lebih inklusif dan memperluas program partisipasi olahraganya untuk menjangkau lebih banyak orang yang hidup dengan HIV serta kaum muda dan kelompok terpinggirkan lainnya. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatan Rumah Cemarah di Homeless World Cup 2011 sampai tahun-tahun selanjutnya.

Pergerakan Ginan tak berhenti sampai sini. Ia juga aktif berpartisipasi dalam festival dan pertunjukan musik indie bersama band punk rock-nya, Mood Altering. Dilansir dari ashoka.org, ia kerap mengajak dan memobilisasi semua band yang tampil untuk menyuarakan pencegahan narkoba, pemahaman dan penerimaan terhadap orang-orang yang positif HIV, serta mengangkat isu-isu sosial lainnya. Bersama band punk Jeruji, ia juga tak lelah menyuarakan isu-isu stigma negatif pada orang dengan HIV.

Pada 21 Juni 2018, Ginan meninggal dunia. Ia mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Advent Bandung. Jenazahnya dimakamkan di TPU Cibarunay, Sarijadi, Bandung, Jumat, 22 Juni 2018.

Pria kelahiran Bandung 13 Juli tersebut meninggal pada usia 38 tahun. Sampai akhir hayatnya Ginan masih terus aktif menyuarakan “Indonesia tanpa stigma”, menentang stigma negatif pada orang dengan HIV/AIDS melalui kegiatan Rumah Cemara dan band Jeruji.

Informasi Buku 

Judul: Melampaui Mimpi

Penulis: Ginan Koesmayadi & Sundea

Cetakan: Cetakan pertama, 2014

Tebal: 340 halaman.

 *Kawan-kawan yang baik dapat membaca tulisan-tulisan lain Linda Lestari, atau artikel-artikel lain tentang Buku Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//