BUKU BANDUNG #75: Antara Sarayevo dan Ronggeng
Cerpen “Diantos di Sarayevo” bercerita tentang orang Indonesia yang terjebak di gondola di Swiss, secara misterius bertemu perempuan korban perang Bosnia.
Penulis Iman Herdiana28 April 2024
BandungBergerak.id - Di antara 13 cerpen dalam buku “Halis Pasir: Kumpulan Carita Pondok” karya Us Tiarsa, carpon berjudul “Diantos di Sarayevo” dan “Goong Teh Kaimpi Totos” memiliki daya tarik tersendiri. Cerpen pertama memiliki latar belakang perang; yang kedua tentang senjakala ronggeng domret, seni tari tradisional.
Sebelas cerpen sisanya bukan berarti tidak menarik. Carpon-carpon karangan Us Tiarsa umumnya ditulis dengan gaya penceritaan yang apik, enak dinikmati, sehingga pada 2011 karya ini dianugerahi Hadiah Sastra Rancage. Hanya saja dari segi tema, kesebelas cerpen tersebut terasa lebih kental dengan isu-isu personalnya. Tema seperti ini mudah sekali ditemukan pada carpon-carpon Sunda di luar karangan Us Tiarsa, misalnya membahas kehidupan sehari-hari, hubungan keluarga, hubungan dengan tetangga, kisah anak dan orang tua, dan lain-lain.
Cerpen Halis Pasir sendiri, yang dijadikan judul buku antologi ini, mengolah tema keluarga. Pada cerpen lainnya yang berjudul Buah, berkisah tentang buah mangga milik tetangga yang dahan-dahannya menyeberang ke halaman rumah tokoh utama cerpen. Tetangga tersebut dikenal sangat pelit. Setiap kali panen mangga, tidak pernah membagikannya ke tetangga.
Tema-tema personal ini bukan berarti kelemahan, apalagi keseruan membaca cerpen berkaitan erat dengan selera. Ada pembaca yang lebih suka dengan tema-tema personal, ada juga pembaca yang lebih menggemari tema-tema sosial, politik, agama, dan lain-lain.
Cerpen-cerpen dengan tema personal memang memiliki kelebihan berupa kemendalaman cerita sesuai dengan pakemnya, yakni cerita pendek dengan ruang terbatas. Dengan pakem ini mau tidak mau pengarang terbatas dalam memperluas cerita, jumlah tokoh dibatasi, kadang sebuah cerpen cukup menceritakan seorang tokoh yang bergelut dengan kehidupan pribadinya.
Meski demikian, bukan berarti cerpen tidak bisa keluar dari pakem yang serba terbatas. Cerpen sangat bisa mengolah tema-tema di luar keseharian atau tema-tema personal, misalnya cerpen perang, hak asasi manusia, bahkan membicarakan filsafat dan cerita detektif. Contoh, cerpen Pohon Keramat karangan Dawam Rahardjo (Kompas, 2019). Cerpen ini mengulas isu-isu sosial keagamaan dan lingkungan; tentang desa yang dihuni penduduk Islam abangan dan Islam fanatik. Orang Islam fanatik menyebut penduduk desa abangan sebagai pengidap TBC: “tahayul, bidah, dan churafat” karena masih percaya dengan ruh-ruh penunggu pohon dan tempat-tempat keramat.
Dalam cerpen Pohon Keramat tentu ada sentuhan personal, setidaknya ada corak pemikiran keagamaan Dawam Rahardjo sendiri. Namun yang menonjol dalam cerpen ini adalah tentang pergulatan ideologi warga desa yang abangan dan yang fanatik. Dimensi cerpen ini bahkan lebih luas lagi, yakni isu lingkungan yang mungkin jarang disentuh oleh para ustaz di dunia nyata jika sedang khutbah salat Jumat atau dalam ceramah-ceramah mereka, bahwa menebang pohon besar berusia ratusan tahun yang dikeramatkan warga desa abangan bisa menimbulkan malapetaka. Bencana dari menebang pohon keramat setidaknya bisa dilihat dari dua dasar pemikiran. Bagi warga desa abangan yang dipandang sinis sebagai pengidap TBC, bencana ini muncul karena mengamuknya ruh-ruh penunggu pohon. Namun dari segi sains, hilangnya pohon besar menyebabkan lenyapnya cadangan air tanah, juga tidak ada lagi akar-akar yang menahan tanah sehingga terjadi bencana longsor. Bahkan masjid yang didirikan di dekat bekas pohon yang ditebang pun terancam tergerus pergerakan tanah.
Kembali ke cerpen Us Tiarsa, mengapa dua cerpen “Diantos di Sarayevo” dan “Goong Teh Kaimpi Totos” memiliki daya tarik khas, karena keduanya menggarap tema dengan dimensi luas. Cerpen “Diantos di Sarayevo” bahkan memiliki setting di pegunungan Alpen, Swis, dengan isu perang Bosnia yang dibungkus dalam alur misteri atau mistis. Unsur mistis ini bisa jadi bagian dari komponen kejut yang diperlukan dalam suatu cerita. Bayangkan jika suatu cerita dirancang tanpa ada kejutan, pasti akan terasa datar-datar saja dan tidak menarik. Begitu juga dalam carpon-carpon Us Tiarsa umumnya memiliki komponen kejut baik yang dikemas dalam bentuk cerita mistis maupun melalui adegan mengejutkan lainnya.
Di sisi lain, alur mistis dalam carpon “Diantos di Sarayevo” saya rasa muncul dari latar belakang penulisnya yang orang timur, orang Sunda, yang memiliki dasar alam pikiran mistis (yang oleh orang-orang fanatik dalam cerpen Dawam Rahardjo disebut TBC). Alam pikiran mistis ini tidak perlu dipertentangan karena sudah menjadi bagian dari identitas manusia (khususnya orang-orang timur) dalam mengarungi zaman. Van Peursen menyebutkan ada tiga tingkatan pemahaman dalam kebudayaan yang sama-sama mengandung nilai positif dan negatif dan berlaku untuk semua zaman, yaitu alam pikiran mistik, ontologis, dan fungsional. Ketiganya sama-sama ada benarnya dan salahnya.
Di alam pikiran mistik, hubungan manusia (sebagai subjek) dan dunia (objek) saling meresapi. Keduanya diyakini adanya pengaruh timbal balik, dan objek dipercayai memiliki kekuatan tersembunyi. Benda-benda tertentu diyakini memiliki daya mitos, sehingga subjek (manusia) diyakini mendapat pengaruh dari benda yang diyakininya tersebut (Amhar Rasyid, MISTIK, ONTOLOGIS, DAN FUNGSIONAL, akultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi).
Dari sisi tema, carpon “Diantos di Sarayevo” termasuk langka, yakni tentang perang modern. Amat sedikit kisah-kisah perang modern karya pengarang Sunda yang pernah saya baca. Saya bahkan tidak bisa menemukan atau mengingat kisah perang modern karya pengarang Sunda selain “Diantos di Sarayevo”. Tema-tema perang dari pengarang Sunda yang pernah saya baca hanya sebatas pada Perang Bubat yang dinovelkan dalam bahasa Indonesia oleh Hermawan Aksan. Cerpen dengan nuansa kolonial saya dapatkan dari karangan-karangan A Bakri, itu pun lebih banyak berlatar zaman ‘normal’ masa kolonial Hindia Belanda, bukan zaman perang. Disebut zaman normal karena masa itu kehadiran Belanda sudah dianggap lumrah, normal, kehidupan mengalir alami, tanpa merasa adanya penjajahan, orang bumiputra dan Eropa hidup berdampingan.
Lain halnya dengan para pengarang luar yang banyak sekali mengolah tema-tema perang modern, baik dalam bentuk cerpen maupun novel. “Antologi Cerpen Perang: Perang, Cinta, dan Revolusi” yang disusun dan diterjemahkan Anton Kurnia, misalnya, memuat 13 cerpen antiperang dari para pengarang dunia. Tema perang mereka angkat bukan berarti untuk mengkampanyekan atau membenarkan perang. Sebaliknya, cerita-cerita fiksi ini dilahirkan untuk menanamkan semangat antiperang, antikekerasan, dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, bahwa perang hanya menghasilkan tragedi kemanusiaan dan dendam.
Cerpen “Diantos di Sarayevo” dilatarbelakangi perang di Bosnia tahun 1998, ketika pasukan militer Serbia menginvasi negeri bekas pecahan Yugoslavia. Perang etnis yang pernah difilmkan dalam Behind Enemy Lines ini dalam cerita Us Tiarsa sebenarnya hanya disinggung sekilas, bahwa tokoh kuring (aku) sedang mengadakan acara kesenian Sunda di Jerman, “Hasilna rek disumbangkeun ka rayat, pangpangna kaom muslimin korban perang di Sarayevo jeung Bosnia”.
Cerpen ini diawali deskripsi memikat tentang kuring (aku) sebagai orang katulistiwa yang terasing di tengah hamparan salju pegunungan Alpen. “...nganteur teuteupan ka sakuliah lengkob nu ngeplak kawas ditutupan sepre bodas. Rada beh jauh, dina lengkob nu rada rata, kemah nu maen ski parental, warna-warni dina latar nu nyacas bodas. Beulah katuhu nangtawing gawir Gunung Alpen. Cadas nu semu hideung nararonjol, siga sirah jelema marake dudukuy cedok, ronghok, diharudum boeh raring. Angin gunung ngahiuk, nebak tangkal pinus nu rajeg di lebak, bangun nu maruricid, gareunteul”.
Gondola yang ditumpangi tokoh aku kemudian berhenti di tengah jalan. Ia terjebak bersama seorang perempuan asing yang ternyata pernah ia temui selama melawat di Eropa. Perempuan, yang digambarkan cukup detail dan menarik dalam narasi cerpen ini, rupanya oleh aku pernah dilihat di Prancis dan Jerman, sebelum satu gondola di Swiss. Di suatu pertemuan tokoh aku bahkan sempat bercakap-cakap dengannya, dan perempuan itu mengaku korban perang brutal Bosnia. “Sanes bade mantuan korban perang? Omat diantos di Sarayevo,” kata perempuan tersebut. Di sini letak mistisnya. Bagaimana mungkin seorang korban perang bisa berkelana lintas negara?
Di atas gondola, tokoh aku kedinginan sampai pingsan. Saat terbangun ia sudah dalam penanganan temannya dan langsung bertanya soal perempuan yang bersamanya di atas gondola. Sang teman bilang, tidak ada penumpang lain di atas gondola.
Baca Juga: BUKU BANDUNG #69: Menyingkap Dampak Perundungan Lewat Buku Foto Bully
BUKU BANDUNG #73: Kisah Anak Sekolah yang Dirundung di Balik Keindahan Kota Bandung
BUKU BANDUNG #74: Menjelajah Braga Tempo Doeloe
Goong Teh Kaimpi Totos
Dari perang Bosnia, Us Tiarsa kemudian menyajikan carpon “Goong Teh Kaimpi Totos” yang menceritakan seorang penari ronggeng domret di suatu kecamatan. Cerpen ini sekaligus menunjukkan kedekatan Us Tiarsa dengan kesenian tradisional. Selain sastrawan, Us Tiarsa juga berprofesi sebagai jurnalis yang sering meliput kesenian tradisional. Pengalaman sebagai jurnalis inilah yang memperkaya karangan-karangannya.
Dalam cerita “Goong Teh Kaimpi Totos”, Us Tiarsa merinci hal-hal teknis terkait ronggeng domret mulai dari jenis-jenis gerakan tari, gamelan, istilah-istilah yang hidup di dunia ronggeng, selain problematika sosial yang dihadapi para senimannya. Perpaduan pengetahuan seni ronggeng dan unsur-unsur humanis ini membuat alur cerita terasa hidup, kaya, dan menarik.
Tokoh utama cerpen ini berjuluk si Kasreng, perempuan yang gundah menghadapi ancaman kepunahan kesenian tradisional itu. Si Kasreng mendapat julukan tersebut dari penonton atau penggemar yang kebanyakan laki-laki. Julukan ini diambil dari nama kuliner tradisional Sunda sejenis kurupuk. Tarian-tarian si Kasreng bagi penonton, terutama laki-laki, terlihat renyah dan gurih.
Pada masa kejayaannya, ronggeng begitu familiar sebagai wahana hiburan masyarakat. Namun, ada kalanya ronggeng tidak dianggap hiburan tari yang diiringi musik ketuk tilu belaka, para penonton suka ikut menari bersama ronggeng dan ujung-ujungnya membawa ronggeng ke tempat sepi.
Pada salah satu bagian di cerpen “Goong Teh Kaimpi Totos” diceritakan bahwa sudah biasa seorang ronggeng menyerah pada lelaki bernama Ki Narsim: “Ronggeng domret batur sakumpulan, aya tilu opatna nu serah bongkokan ka Ki Narsim. Loba nu ngalengleong di pakalangan.”
Ki Narsim adalah tokoh masyarakat penggemar ronggeng domret yang disegani. Tanpa peran Ki Narsim, kelompok seni ronggeng akan kesulitan mendapatkan ruang pementasan. Ki Narsim juga paling loyal dalam memberikan sumbangan atau saweran kepada ronggeng. Saweran inilah yang menjadi nadi bagi kehidupan kelompok ronggeng.
Suatu waktu, camat di kecamatan biasa ronggeng si Kasreng melakukan pementasan mengeluarkan kebijakan melarang ronggeng. Tentu saja larangan ini mengancam kelompok yang menaungi si Kasreng dan kawan-kawan.
“Camat nu ayeuna mah galak. Barudak nu sok ngarinum di warung oge dibuburak, komo nu sok maen mah. Lapur meren, teu meunang ngadomret mah, barudak moal bisa masantren. Pangpangna mah asa teungteuingeun we, hitup teh teu meunang ngigel-ngigel acan,” kelut si Kasreng.
Dalam cerpen ini, Us Tiarsa menunjukkan ironisme bahwa penyebab punahnya kesenian tradisional justru karena kebijakan pemerintah sendiri yang kurang mendukung pelestariannya. Di dunia nyata, kesenian tradisional seperti ronggeng kini semakin sulit ditemui. Orang-orang generasi sekarang mungkin banyak yang lebih familiar dengan kesenian-kesenian modern dibandingkan seni ronggeng.
Informasi Buku
Judul Buku: Halis Pasir
Penulis: Us Tiarsa
Penerbit: Kiblat Buku Utama, 2020
Halaman: 81 Halaman
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Iman Herdiana atau artikel-artikel lain tentang Cerita Pendek