Call Me. Papa, Sebuah Proses Penerimaan Anak pada Bapaknya
Pameran gambar dan instalasi Dian Mayang Sari merupakan hasil proses kunjungan-kunjungan memorial tentang mendiang ayahnya. Pameran berlangsung di Teman Mimilu.
Penulis Nabila Eva Hilfani 15 Juli 2024
BandungBergerak.id – Pameran instalasi dan gambar karya Dian Mayang Sari “Call Me. Papa” berlangsung di halaman Teman Mimilu, di antara tembok yang sudah dirimbuni oleh dedaunan dan batu-batu alam yang menempel di setiap sisinya. Penampilan dari Fajar Abadi yang membawakan lagu ciptaannya tentang ayah dan tuturan Reita Ariyanti sebagai pengantar yang tidak begitu panjang menjadi pembuka pameran ini, Jumat petang, 11 Juli 2024.
“Jadi gambar-gambar itu (gambar yang dipamerkan), gambar-gambar yang personal, yang intimate tentang ayah,” tutur Reita Ariyanti.
Pameran “Call Me. Papa” berlangsung 12-30 Juli 2024 di Teman Mimilu, Jalan Bukit Dago Utara 28, Bandung. Menurut Rieta, tajuk "Call Me. Papa" diambil dari kebiasaan papa yang sering menulis di buku harian sang anak, Dian Mayang Sari. “Di akhirnya (tulisan di buku harian) tuh suka ditulis ‘Call me’, gambar telepon, ‘Papa’,” terang Rieta.
Mia Maria, dalam Kata Pengantar Call Me Papa katalog digital, menyebutkan karya-karya Dian Mayang Sari merupakan hasil dari proses kunjungan-kunjungan memori mengenai papa, hingga akhirnya mengenali kembali persepsi tentang sang papa sejak masa kecil hingga fase-fase lain di kehidupan Mayang dan keluarga.
Karya-karya Mayang dan Cerita di Baliknya
Personal dan intim, bukanlah satu pendekatan bentuk karya yang dituju Mayang di awal. Karya mengenai sosok-sosok ayah di mata setiap anaknya menjadi cerita awal Mayang untuk karya-karya yang akan dipemarkan di pameran yang memang telah direncanakannya pada tahun ini.
“Setelah dia (papa) sakit, terus deadline udah makin deket, tadinya aku mau riset dululah tentang orang-orang menganggap bapak seperti apa, riset ke orang-orang. ‘Apa sih bokap lo’. Kaya ‘lo sebutin satu kata tentang bokap lo deh’ dari banyak orang. Nah tapi saat dia (papa) sakit, terus si proses itu jadinya kok dia ngasih momen ya,” tutur Mayang, kepada BandungBergerak.
Namun, ketika papa Mayang jatuh sakit hingga akhirnya pergi meninggalkan Mayang, mulai dari perasaan marah, tidak terima, sedih, hingga duka menjadi satu pemantik Mayang untuk mencari jalan menuju penerimaan segala perasaan dan keadaan.
“Terus selama dia sakit, membaik, dan segala macem tuh aku bilang ‘aku mau pameran tentang bapak la… la… la….’ gitu. Terus dua bulan (kemudian) dia meninggal tuh kaya di prank gitu. Kaya ‘nih gua kasih momen nih ke lo’ gitu,” kenang Mayang.
Sejak itu Mayang muali menggali kenangan tentang ayahnya di tengah perasaan bahwa selama ini ia tak memikirkan bahwa sang ayah suatu saat akan tua dan meninggal.
Mia Maria dalam catatan kata pengantar pameran juga menyebutkan, karya instalasi dan gambar Dian Mayang Sari ini merupakan buah dari proses meditatif yang melankolis yang telah dilakukan Mayang.
“Dari sisi gua, gua memilih untuk terus-terusan jatuh, terus-terusan nangis sih tapi semua orang prosesnya beda-beda ya. Jadi, kayanya kita mengingat yang baik-baik deh gitu. ‘Bokap gua teh baik tau’. ‘Bokap gue juga teh seru tau’,” tutur Mayang.
Momen-momen bersama Papa dan keluarga yang menjadi dasar cerita pada karya-karya Mayang yang dipamerkan dipilih berdasarkan memori yang diingat dan menyenangkan bagi Mayang sendiri. Satu pesan yang ingin disampaikan Mayang melalui karya-karyanya mengenai bagaimana dapat memilih untuk menerima rasa kehilangan.
“Setiap luka atau kehilangan tuh, itu kita bisa milih buat ingetnya seperti apa, gitu. Kita bisa milih keluar dari itu (rasa kehilangan) seperti apa,” ungkap Mayang.
Karya-karya instalasi Mayang bermaterialkan benang memiliki warna-warna ceria dan karya-karya gambarnya berlatar belakangkan hitam dengan warna-warna cerah di setiap garis gambarnya membuat satu ciri khas dari seorang Dian Mayang Sari.
Reta Ariyanti yang mengikuti karya-karya Mayang sejak lama, mengatakan karya-karya tersebut memiliki karakter senimannya. Ada unsur kekanak-kanakan tetapi memiliki makna kuat.
“Aku tuh selalu suka sih sama gambaran Mayang dari dulu, karena dia memang orangnya agak kekanak-kanakan, jadi, terutama drawing-nya ya. Drawingnya memang itu adalah dia (Mayang) gitu. Jadi kalau orang ngomongin ciri khas, Mayang memang begitu ciri khas drawingnya. Kaya childish tapi sebenarnya makna di balik lapisan-lapisan pemaknaannya tuh bisa sangat dalem,” terang Reita Ariyanti.
Baca Juga: Album #2 Mukti Mukti Berisi Karya-karya Hasil Kolaborasi dengan Penyair dan Petani
Pergolakan Seni dan Perubahan Sosial: Seni Rakyat dan Identitas Melawan Dominasi
Kolaborasi Seni Reak dan Pantomim Memperingati Hari Spesies Terancam Punah di Indonesia dan Dunia
Profil Dian Mayang Sari
Dian Mayang Sari merupakan seniman perempuan kelahiran Madiun tahun 1984 yang saat ini berdomisili di Bandung. Perempuan yang akrab dipanggil Mayang, sering kali menghadirkan karya-karya instalasi dengan medium benang dan kain yang cukup rumit.
Ketertarikan Mayang terhadap kain dan benang sebagai medium berkarya berawal muncul ketika Mayang bekerja di Tobucil (Toko Buku Kecil). Mayang mengaku awal mula bersentuhan dengan seni benang dan kain dari sang ibu.
“Tapi dari kecil kan si mama ngejait ya, jadi aku tuh ngeliat si proses, si kain itu, dan segala macem,” terang Mayang.
Sampai saat ini, Mayang telah melakukan pameran hingga delapan kali sejak tahun 2015. Dua karya di antaranya “Putar-Putar Lilit” (2023) di pameran “Ngobrol di Museum: Seni Rupa Bandung yang Mana?” dan pameran tunggal dengan judul “Tambal Sulam” (2022).
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Nabila Eva Hilfani, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Pameran Seni