PROFIL SASIKIRANA: Membangun Ruang Inkubasi Kompetensi bagi Penari-penari Muda
Keni K. Soeriaatmadja, Ratna Yulianti, dan Riri Ariyanti mendirikan Daya Loka Tari Sasikirana. Penghormatan pada maestro tari Legong, Bulantrisna Djelantik.
Penulis Nabila Eva Hilfani 21 Juli 2024
BandungBergerak.id – Sasikirana baru saja menggelar Presentasi Riset KoreoLab 2024 sebagai salah satu rangkaian kegiatan dari program utama tahunan, KoreoLab dan Kemah Tari, pada Rabu, 16 Juli 2024 di Institut Francais Indonesie (IFI).
KoreoLab dan Kemah Tari tahun ini merupakan penyelenggaraan yang ke-9 sejak tahun pertama penyelenggaraannya tahun 2015, di Nuart Sculpture Park yang juga telah menjadi pendukung sejak awal perjalanan Sasikirana.
Sejalan dengan maksud berdirinya Sasikirana yang hadir sebagai ruang inkubasi kompetensi para pelaku tari muda di Indonesia, KoreoLab tahun ini kembali menghadirkan koreografer perempuan muda terpilih.
Begitu pun dengan, Kemah Tari tahun ini yang diikuti oleh 20 pelaku tari muda dari berbagai daerah di Indonesia.
“Sasikirana bukan dance company. Bukan produksi karya, tapi platform inkubasi. Yang diinkubasi apa sih? Kapabilitas penari. Kapabilitas koreografer,” jelas Galuh Pangestri, Wakil Direktur sekaligus Manajer Program Sasikirana dalam sesi wawancara bersama BandungBergerak.id dan dua narasumber lainnya.
“Kita fokus ke yang muda-muda sih, yang umur 20 tahun sampai 40 tahun. Kadang-kadang tuh yang belum dikenal tapi punya potensi,” lanjutnya.
Menyadari pengalaman tubuh sebagai penari Indonesia dan menemukan cara kerja yang sangat Indonesia menjadi satu tujuan Sasikirana dalam tari kontemporer yang begitu lekat dengan narasi-narasi besar Barat.
“Proses menyadari, menemukan bersama, merumuskan bersama, dan bersiasat bersama,” tambah Keni K. Soeriaatmadja, penggagas sekaligus direktur Sasikirana dalam sesi wawancara yang berbeda pada 15 Juli 2024 di Institut Francais Indonesie.
Berperan serta dalam kontribusi perkembangan ekosistem tari di Indonesia dan pengupayaan berbagai pendekatan untuk merepresentasikan keberagaman budaya di Indonesia menjadi tujuan utama lainnya Sasikirana hadir di tengah dunia seni tari Indonesia.
Daya Loka Tari Sasikirana yang memiliki ruang berproses di Jalan Citamiang No. 18 Kota Bandung ini berdiri sejak tahun 2015.
Sasikirana tumbuh dari pengalaman tiga pendiri sekaligus penari perempuan tari tradisional yakni Keni K. Soeriaatmadja, Ratna Yulianti, dan Riri Ariyanti dalam mengikuti satu program berkarya yang cukup intens kala masih menapaki diri di Bengkel Tari Ayu Bulan milik maestro tari Legong, Bulantrisna Djelantik.
Seperti yang diterangkan oleh Ratna Yulianti, penggagas sekaligus penanggung jawab bidang pendidikan Sasikirana saat wawancara bersama BandungBergerak.id di Nuart Sculpture Park pada 9 Juli 2024 bahwa, ide mula terbentuknya Sasikirana ini berasal dari pengalaman ketiga pendiri dalam perjalanan program pembuatan karya tari legong Bali yang mengambil cerita Sang Pek Engtay bersama mahasiswa dan koreografer di Singapura.
Proses berkarya yang singkat dan intens menjadi inspirasi bentuk program yang akhirnya diinisiasi oleh ketiganya dengan sebutan Sasikirana KoreoLab dan Dance Camp atau saat ini disebut dengan Kemah Tari.
“Kami meyakini kalau ada proses intensif yang cape banget hingga pada satu titik ketika ada krisis, dalam satu proses tubuh yang intensif dan selalu bersama muncul bahasa-bahasa di luar kata-kata. Jadi kita bisa saling paham, saling ngerti tanpa kata-kata,” terang Keni dalam wawancara bersama BandungBergerak.id pada 15 Juli 2024 tepat setelah acara presentasi karya tumbuh KoreoLab tahun 2024.
Pemfokusan pada ranah tari kontemporer dilandasi oleh rasa keingintahuan sekaligus keinginan belajar dari ketiga pendiri dan para anggota Sasikirana yang semuanya memiliki latar belakang seni tari tradisional.
“Jadi, Sasikirana bikin ini juga cara buat Sasi belajar, sebenarnya. Cuma belajar bareng, bersama. Jadi bukan kita sotoy, sok tahu, paling tahu tentang kontemporer, terus dikasih ‘gitu’ ke penari, gak gitu,” tutur Galuh dalam sesi wawancara yang sama dengan Ratna Yulianti.
Sasikirana atau bulan yang cantik adalah nama yang memiliki kedekatan dengan sejarah pendiriannya, terutama dengan ruang berproses para pendiri yaitu Bengkel Tari Ayu Bulan. Nama ini dipilih juga sebagai bentuk penghormatan kepada Bulantrisna Djelantik.
“Jadi, kita menyampaikan proposal itu (pendanaan di program pertama) atas nama Bengkel Tari Ayu Bulan. Lalu, kita izin ke biang (Bulantrisna Djelantik), ‘Bi, kami mau ngajuin proposal tapi kami gak punya nama’, ‘siapa nih tigaan nih’, ‘boleh gak pake nama Bengkel Tari Ayu Bulan’, ‘Ohh ya silakan’,” terang Ratna.
“Dan diprediksi pada waktu pertunjukan pertama itu lagi bulan purnama,” lanjut Ratna dan Riri secara bersamaan.
Baca Juga: PROFIL SALASAKAHIJI: Ikon Balap Sepeda Bandung Lembang
PROFIL KOMUNITAS MASAGI TJIBOGO: Gerakan Mengelola Sampah di Lingkup RT
PROFIL KOMUNITAS CIKA-CIKA: Lahir dari Keprihatinan terhadap Nasib Sungai Cikapundung
Sasikirana sebagai Platform Inkubasi Penari Muda
Sasikirana bukanlah sanggar, melainkan platform inkubasi kapabilitas bagi para penari sekaligus ruang untuk mencari, membuat, dan memberikan kontribusi untuk perkembangan seni tari di Indonesia yang inklusif.
Sasikirana memiliki perbedaan dengan platform-platform lain dalam penyediaan ruang inkubator para pelaku seni.
“Mungkin, bedanya dari platform workshop yang lain, biasanya kan yang expert, yang pakar, yang bikin acara, program. Kalau kita berangkat dari kita yang gak tahu. Fungsinya ya jadi fasilitator aja. Kita panggilin orang-orang yang punya ilmu dan temen-temen yang mungkin sama gitu sama kita ingin belajar,” terang Keni.
“Jadi kita (Sasikirana) sebagai fasilitator, jadi jembatan untuk mempertemukan teman-teman pelaku tari dengan pengetahuan yang dibutuhkan, dan tentunya update ya dengan perkembangan tari sebagai pengetahuan.”
Nilai-nilai inklusif yang dipegang kuat oleh komunitas tari yang memiliki manifesto “kasih sayang adalah bahan bakar kesenian” ini merupakan bentuk dorongan Sasikirana untuk memfasilitasi penari-penari muda yang belum “terkenal” agar memiliki ruang aman untuk bereksplorasi.
KoreoLab dan Kemah Tari menjadi program annual Sasikirana yang sudah sejak awal menjadi jantung dalam menjalankan visinya. Kedua program tersebut menjadi ruang pengejawantahan praktik ketubuhan dari hasil diskusi dan percakapan mengenai tari sebagai pengetahuan.
KoreoLab dan Kemah Tari merangkul penari-penari muda seluruh daerah Indonesia untuk dikembangkan secara potensi dan keluar menjadi penggerak-penggerak pertumbuhan seni tari di daerah masing-masing.
“Kita bagian pengayaan, penguatan. Setelah selesai Kemah Tari, ter-booster dan mereka punya pengetahuan baru, semangat baru, dan itu bisa mereka deliver ke tempat mereka masing-masing,” jelas Galuh.
“Penguatan seniman di Dance Camp, tapi untuk berperan di ekosistem masing-masing,” lanjut Galuh.
Peran Sasikirana untuk mencetak tunas-tunas penggerak di setiap daerah Indonesia juga dijelaskan oleh Ratna Yulianti.
“Mereka akan berkembang pasti akan kontekstual, sesuai dengan di mana mereka bertumbuh,” jelas Ratna Yulianti.
“Mereka semua berkembang dengan pengetahuan mereka terhadap kelokalan, kemudian ditambah dengan pengetahuan yang kita sampaikan. Akhirnya menjadi kekuatan mereka untuk melakukan sesuatu di daerahnya,” lanjutnya.
KoreoLAB dan Kemah Tari merupakan dua program yang berbeda, tetapi saling berhubungan. KoreoLAB sebagai bentuk residensi koreografer terpilih dan Kemah Tari sebagai ruang penyaluran pengetahuan yang telah diperoleh koreografer melalui KoreoLAB kepada penari-penari muda yang menjadi peserta Kemah Tari.
Bukan hanya kolaborasi antar pelaku seni tari, tetapi program KoreoLAb dan Kemah Tari juga turut mengajak pelaku-pelaku lintas bidang seni lain ataupun lintas bidang lainnya untuk berkolaborasi.
Perhatian Sasikirana pada Pelaku Tari di Indonesia
DokumenTARI, program utama kedua Sasikirana yang lahir sebagai respons atas dibatasinya ruang-ruang pertunjukkan kala pandemi COVID-19 berlangsung.
Mempertanyakan kembali eksistensi dan refleksi diri sebagai seorang pelaku tari melalui cara pandang yang kritis menjadi metode untuk membangkitkan daya hidup para pelaku seni tari sebagai tujuan utama DokumenTARI.
“Kadang kita gak bisa questioning ya. Gak bisa mempertanyakan eksistensi kita sekarang, tapi ini tuh (DokumenTARI) dipaksa untuk nanya lagi. ‘Kamu nari mau apa? Untuk apa? Terus sekarang peran kamu apa sebagai penari untuk dirimu sendiri, orang lain, untuk masyarakat yang lebih luas?’,” jelas galuh.
Penarikan kembali diri ke belakang melalui memori-memori masa lalu sebagai pelaku tari menjadi sebuah cara yang diharapkan dapat mengisi kekosongan para pelaku tari kala di kondisi yang berjarak dengan panggung pementasan.
“Penari kan dunianya di atas panggung. Kemudian kita bertanya lagi, peran penari kan tidak hanya di atas panggung. Kehidupan mereka sendiri, di mana mereka bisa sampai di atas panggung itu kan panggungnya juga,” tutur Galuh.
Format foto esai dengan lokakarya penulisan dan fotografi menjadi bentuk program DokumenTARI yang akhirnya hasil dari itu semua akan bermuara dan dipublikasikan melalui website DokumenTARI milik Sasikirana, serta buku yang menjadi tujuan jangka panjangnya.
Akhirnya, DokumenTARI yang digagas Sasikirana ini juga menjadi sebuah bentuk pengarsipan data mengenai pelaku seni tari di Indonesia melalui foto esai, film dokumenter, dan life-narratives.
Ke depannya, sebagai komunitas penyedia ruang aman bereksplorasi bagi para pelaku tari muda, Sasikirana akan berfokus pada pelebaran jaringan dengan merangkul platform-platform lain yang memiliki visi yang sama. Begitulah gambaran tiga tahun kedepan Sasikirana yang disampaikan oleh Keni K. Soeriaatmadja sebagai penggagas yang melihat Sasikirana layaknya sisterhood, penuh kasih dan kebersamaan dalam setiap langkah prosesnya.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain Nabila Eva Hilfani, atau artikel-artikel lain tentang Komunitas Bandung