Penghinaan Dunia Akademik dalam Praktik Obral Gelar Guru Besar di Indonesia
Tanpa disadari sang penggila gelar bahwasanya mereka telah mencederai tradisi tahapan-tahapan untuk dikukuhkan sebagai seorang guru besar.
Frido Paulus Simbolon
Mahasiswa Program Magister Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
22 Juli 2024
BandungBergerak.id – Lagi dan lagi kita disuguhkan pemberitaan mengenai praktik pemberian gelar guru besar secara “ugal-ugalan.” Persoalan semacam ini seakan-akan tidak ada habisnya di Republik ini yang berdampak terhadap dipertanyakannya kualitas dari para guru besar sesungguhnya serta reputasi kampus dalam merawat intelektualitasnya.
Memang setiap akademisi mempunyai keinginan untuk menjadi seorang guru besar (sebab guru besar memang bagian dalam fungsional jabatan tertinggi akademik setiap kampus), maka dari itu para akademisi ini selalu belajar “mati-matian” agar layak menyandang gelar guru besar (di luar kewajiban para dosen dalam memenuhi prasyarat administrasi birokrasi serta melakukan kewajiban Tri Dharma Pertuguruan Tinggi). Lucunya, orang-orang di luar dunia akademik yang menggilai akan tersematnya gelar Profesor ini seakan-akan mendapatkan fast track dengan segala privilege yang dikantonginya.
Jalur cepat yang mereka dapatkan akhirnya terjawab dari investigasi TEMPO yang terbit baru-baru ini. Pada edisi Minggu, 07 Juli 2024, TEMPO membongkar praktik “kotor” ini, yang ternyata melibatkan banyak orang dari instansi terkait.
Baca Juga: Pendidikan Riwayatmu Nanti
Membayar UKT ITB dengan Dana Pinjol Bertentangan dengan Amanat Undang-undang Pendidikan
Pendidikan Indonesia dan yang Mungkin Telah Luput darinya
Melampaui Diri Mengkhianati Tradisi
Mungkin, yang ada di benak para penggila gelar dengan tersematnya gelar “Profesor” pada dirinya (bisa tertera di kartu nama, plang rumah, hingga batu nisan mungkin) dapat menaikkan derajat kehidupannya di dunia. Suatu kebanggaan tersendiri bagi orang-orang ketika menyebut dirinya dengan gelar “Prof.”-nya, juga kebalikannya, ada terbesit rasa bangga ketika seseorang dipanggil dengan gelar “Prof.”-nya. Hal ini cenderung dapat kita jumpai di setiap sang empunya jabatan alias pejabat. Kecenderungan ini tidak lepas dari gejala post-powersyndrome, di mana para penggila gelar ini tak ingin kehilangan pengaruh dan harga diri, yang sebenarnya tanpa menggilai gelar Profesor-pun mereka sudah memiliki itu. Tapi itu tadi, kecenderungan dan ketakutan akan kehilangan pengaruh dan harga diri yang berujung mengganggu kejiwaan dirinya dalam merespons ujung kekuasaan yang digenggamnya.
Para penggila gelar ini juga memiliki kecenderungan menganggap apabila dia dapat memperoleh gelar Profesor (tentunya dengan berbagai cara akan ditempuh untuk meraihnya) tentu dia dapat melampaui dirinya. Tidak jarang juga mereka berpikir atas aktualisasi diri juga penghargaan, berlagak “si-paling” berjasa sehingga layak menyandang gelar guru besar alias Profesor. Kebanggaan seorang penggila gelar Profesor adalah ketika lingkungan tempat tinggalnya pasti melabeli sang penggila gelar ini sebagai seorang intelektual, seseorang yang memiliki kecerdasan (akademik) yang wah dan luar biasa, yang tanpa disadari sang penggila gelar bahwasanya mereka telah mencederai tradisi tahapan-tahapan untuk mencapai dikukuhkan sebagai seorang guru besar. Mungkin yang ada di benak sang penggila gelar, mereka telah melampaui dirinya. Tetapi lebih dari itu justru mereka telah menempatkan dirinya pada jurang kebodohan terdalam.
Mengapa demikian? Sebab ketidaklayakan mereka terpampang nyata dalam proses permohonan yang di inginkan. Kita tahu bahwa untuk menjadi seorang guru besar dalam suatu Universitas tidaklah mudah, para dosen yang berjuang mati-matian pun belum tentu dapat menyandang gelar jabatan akademik tertinggi. Bisa jadi ketika para dosen S3 yang telah memenuhi syarat untuk diajukan atau mengajukan diri sebagai guru besar, ketika telah mendapat restu dari para senat kampus, tapi malah terhenti di Dikti. Berbeda jauh dengan para penggila gelar Profesor ini, dengan privilege yang dia punya, yang dengan ugal-ugalan dapat dikukuhkan sebagai seorang guru besar, dan dipertontonkan melalui kanal kampus itu sendiri.
Dunia Akademik Sedang dilecehkan
Apabila kita membaca tulisan dari Prof. Sulistyowati Irianto yang di muat Kompas pada hari Selasa, 18 Juni 2024, ada yang menarik mengenai realitas dunia akademik
“… Rupanya para dosen saat ini sedang sibuk menjalankan perintah baru dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi”
Kutipan di atas sejalan dengan fenomena pemberian gelar guru besar secara ugal-ugalan kepada orang-orang di luar dunia akademik. Merujuk terhadap tajuk yang dibuat sang Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, yakni “Ke Mana Para Ilmuwan Kampus” jawabannya adalah para pendidik atau para dosen sedang disibukkan memenuhi perintah dari Kementerian untuk mencari keahliannya masing-masing. Mirisnya, ketika para akademisi disibukkan dengan menjalankan perintah konyol, di luar kewajibannya mengajar, meneliti dan mengabdi, para penggila gelar ini muncul bak kilatan cahaya yang tiba-tiba saja dikukuhkan sebagai guru besar. Aneh tapi nyata, itulah realitas yang kita sedang hadapi.
Untuk mendapat jabatan akademik sebagai guru besar, para dosen harus memenuhi syarat seperti yang tertuang pada Permendikbud No.92, antara lain memiliki pengalaman 10 tahun sebagai dosen, kualifikasi doktor atau berijazah S3, memenuhi angka kredit yang telah disyaratkan, memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal internasional terakreditasi, memiliki kinerja, integritas, etika dan tata krama, serta tanggung jawab berdasarkan penilaian senat yang dibuktikan dengan berita acara rapat persetujuan senat perguruan tinggi.
Apabila kita bedah satu persatu, timbul sebuah pertanyaan di dalam benak, apakah para penggila guru besar itu memenuhi syarat Permendikbud? Tentu saja bisa memenuhi syarat seperti angka kredit mencukupi syarat, kualifikasi doktor, karya ilmiah, sebab ada relasi kekuasaan yang bermain di dalamnya. Tapi realitasnya, apakah karya-karya yang dibuat oleh para penggila guru besar adalah murni dari dalam pikirnya? Mengingat sangat banyak joki karya ilmiah di Indonesia berkeliaran dan adanya platform jurnal-jurnal predator. Yang tentu saja pada syarat yang tertuang dalam huruf g pasal 10 Permendikbud 92 sejatinya jauh dari kata “terpenuhi” sehingga terjadilah pelecehan terhadap dunia akademik oleh relasi kekuasaan yang dimainkan.
Sebagai seorang mahasiswa yang sedang menulis tugas akhir, melihat situasi dan kondisi dunia akademik di negeri ini dibuat seakan-akan tidak ada harganya karena melihat pengukuhan guru besar secara ugal-ugalan, yang ketika membaca karya-karya internasionalnya langsung bergumam dengan perasaan miris “iki opo toh, kok racetho bianget i” “kok iso yo koyo ngene dadi karya yang katanya ilmiah.” Untuk itu, Aku mengajak kita semua yang masih peduli dengan lingkungan akademik, orang-orang kampus, aktivis atau NGO untuk berdoa agar supaya para penggila guru besar ini ditobatkan dari ambisi-ambisi post-powersyndrome yang menggerogoti jiwa.
Ingat Pak, Buk, “Guru Besar (Profesor) bukanlah semata-mata gelar sosial yang bisa anda sandang serta anda jadikan bahan flexing dalam kehidupan sehari-hari kalian. Melainkan Guru Besar (Profesor) adalah jabatan fungsional dosen yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat berat menimpa pundaknya.”
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang pendidikan