• Opini
  • Jejak Kolonialisme dan Kekayaan Budaya Lokal dalam Exhuma

Jejak Kolonialisme dan Kekayaan Budaya Lokal dalam Exhuma

Film Exhuma karya sutradara sekaligus penulis skenario Jang Jae-Hyun membangun ketakutan dari jejak kolonialisme Jepang di Semenanjung Korea pada Perang Dunia II.

Kurniasih

Dosen Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) dan pecinta kopi hitam.

Poster film Exhuma karya sutradara sekaligus penulis skenario Jang Jae-Hyun. (Sumber lsf.go.id)

23 Juli 2024


BandungBergerak.id – Penulis skenario sekaligus sutradara film horor Exhuma, Jang Jae-Hyun jelas telah menciptakan cerita horor tak biasa. Mulai dari jalan cerita hingga sinematografi, Jae-Hyun tidak menggunakan unsur-unsur film horor biasa sebagai jalan pintas menciptakan ketakutan penonton. Unsur jump scare, yaitu  teknik yang digunakan untuk membuat penonton takut dengan cara menyodorkan perubahan drastis dari sisi gambar maupun peristiwa, atau adanya suara musik menakutkan, hingga menjadikan tokoh perempuan sebagai hantu bukan menu utama dalam film Exhuma. Jikapun ada suara menakutkan, jalinan cerita yang berlapis tidak serta merta berusaha memberikan adegan dadakan.

Sebagai penonton yang berusaha mencari film bermutu, tulisan ini adalah rekam jejak menonton yang memuat beberapa hal penting untuk diapresiasi.

Baca Juga: Film Bumi Manusia, antara Idealisme Pembaca dan Pragmatisme Industri Film
Narasi Inkonsisten dalam Film Dokumenter “Barang Panas”
Film Eksil, Putusnya Generasi Intelektual di Indonesia

Jejak Luka Kolonialisme

Bukan hal yang istimewa jika adegan pembuka film horor sudah menyajikan ketegangan sedemikian rupa. Sang sutradara seakan tidak sabar untuk mengajak penonton untuk merasa takut. Adegan pembuka film Exhuma justru dibuka dengan dialog dukun perempuan muda, Hwarim mengenai identitas bangsa. Hwarim duduk di samping rekan sesama dukun, Bong Gil di kursi pesawat terbang. Seorang pramugari menawarkan tambahan minuman anggur kepada mereka dengan menggunakan bahasa Jepang. Hwarim, menjawab dengan dingin bahwa ia tidak akan minum anggur dan menegaskan bahwa dirinya adalah orang Korea.

Adegan pembuka tersebut seperti menjadi gejala bahwa pada dasarnya film ini akan bercerita mengenai jenis ketakutan yang tak biasa. Jenis ketakutan yang tidak semata terletak pada makhluk menyeramkan. Makhluk menyeramkan dalam film Exhuma tentu saja ada tetapi bukan berwujud roh perempuan penasaran sebagaimana banyak diceritakan film horor dari berbagai negara. Dalam sinema Indonesia, tentu kita mengenal sederet tokoh hantu perempuan seperti Si Manis Jembatan Ancol, Sundel Bolong, Nyi Blorong, dan masih banyak lagi. Roh perempuan adalah liyan bagi masyarakat manusia. Sementara tokoh menyeramkan dalam film Exhuma adalah siluman rubah yang itu pun baru muncul di perempat terakhir film.

Sumber ketakutan yang dibangun di dalam film Exhuma adalah representasi dari (justru) perlawanan akan ketakutan pada jejak kolonialisme Jepang pada Semenanjung Korea pada masa PD II. Cerita yang disuguhkan mengandung semangat pascakolonialisme yaitu upaya perlawanan pada kolonialisme yang telah merengut eksistensi bangsa dan diri. Semangat perlawanan terhadap kolonialisme Jepang di masa lalu justru menjadi ruh yang sangat kuat. Bahkan dialog bernada cinta tanah air terucap dari ahli Feng Shui yang juga menjadi tokoh utama, Sang-duk.

Sang-Duk berdebat dengan Young-Gen tentang betapa profesi mereka berdua yaitu menjual tanah yang baik secara Feng Shui adalah persoalan masa depan anak dan cucu mereka. Jika tanah makam yang sedang mereka “bersihkan” unsur pengganggunya tidak berhasil maka anak dan cucu mereka sendiri yang akan menanggung akibatnya. Apa yang mereka bersihkan dari tanah makam yang sebenarnya secara Feng Shui tidak cocok untuk menjadi makam berkaitan erat dengan pasak besi yang secara dramatis ditaruh di dalam jasad jenderal sangat digdaya di masa akhir kekalahan tentara Jepang.

Tampaknya, mustahil untuk mengabaikan pengetahuan sejarah kelam kedua negara yaitu Jepang dan Semenanjung Korea sebelum pecah menjadi Korea Selatan  dan Korea Utara untuk bisa memahami secara lengkap film Exhuma ini. Film Exhuma, seperti dibahas oleh banyak kritikus film, bukan film terbaik sepanjang masa tetapi kompleksitas cerita di dalamnya berhasil keluar dari “template” film horor pada umumnya. Salah satu aspek yang paling penting adalah penulis cerita Exhuma tidak terjebak pada pemitosan perempuan sebagai sosok yang dihantukan sebagaimana kerap diangkat dalam film horor murahan. Cara Jang Jae-Hyun dalam menciptakan hantu yang berlatar belakang luka kolonialisme ini cukup mengejutkan mengingat Korea Selatan termasuk bangsa yang memiliki isu ketidaksetaraan gender yang cukup kuat.

Pengemasan makhluk yang menakutkan di dalam cerita juga dikemas dengan menggunakan simbol-simbol mitologis budaya Jepang, misalnya, rubah. Siluman rubah adalah tokoh mitologis Jepang yang merepresentasikan karakter penghasut. Sebagai film horor bermuatan semangat pascakolonialisme, lengkap sudah bagaimana penulis skenario dan sutradara mengemas “Hantu Jepang” sebagai sosok penghasut sekaligus keji.

Kekayaan Budaya Agraris

Aspek lainnya yang tidak bisa diabaikan adalah bagaimana  budaya negara agraris begitu kental di dalam film Exhuma. Keempat dukun yang bekerja keras menyiasati siluman kejam, menggunakan barang-barang khas pertanian sebagai sumber kekuatan film. Darah babi, babi, ayam, beras ketan adalah sebagian kecil unsur-unsur pertanian yang dipakai selama melakukan ritual pembersihan makam  maupun perlindungan dari kekuatan alam siluman.

Tampaknya produsen film Korea Selatan sangat sadar akan kekuatan budaya mereka sehingga, misalnya, adegan makan yang khas dalam film-film Korea Selatan ini tetap muncul dalam genre film horor sekalipun. Belum lagi dengan konsep Feng-Shui yang dikemas sedemikian rupa turut memperkuat bahwa film horor Exhuma adalah besutan anak-anak bangsa dari Korea Selatan yang sadar akan kekuatan bangsa dan budaya mereka sendiri serta berhasrat untuk  bebas dari kolonialisme sepenuhnya. Aspek budaya agraris ini menjadikan film Exhuma menjadi begitu dekat dengan sebagian penonton di Indonesia sebagai sesama negara agraris.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang film

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//