Extension Course Filsafat (ECF) Unpar 2024: Mencari Hakikat Cinta dalam Dunia Penuh Kekacauan
Tahun lalu rangkaian kelas Extension Course Filsafat (ECF) Fakultas Filsafat Unpar, yang bisa diikuti publik, membahas tema perang. Kali ini: cinta.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah29 Juli 2024
BandungBergerak.id - Tanpa cinta, agama menjadi kejam. Dalam kondisi dunia penuh kericuhan, perubahan sangat cepat, serta konflik yang tidak terhentikan, filsafat mengajak kita mencari hakikat terdalam pada cinta secara rasional dan kritis.
Bambang Sugiarto, Guru Besar Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), menyebut, di tengah kekacauan, manusia merindukan hal yang ideal yaitu cinta, nilai tertinggi kemanusiaan dan kehidupan. Namun dari cinta juga timbul banyak permasalahan.
“Cinta seperti jelas. Namun ternyata sulit dipahami, mengandung banyak kontradiksi: berangkat dari kepentingan kita, tapi harus makin berfokus pada kepentingan orang lain, penyerahan diri, tapi juga penguasaan atas partner, menemukan diri tapi melalui orang lain atau dalam diri orang lain,” tutur dalam pembukaan Extension Course Filsafat (ECF) 2024 yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) dan Selasar Sunaryo Art Space di kampus Fakultas Filsafat Unpar, Kota Bandung, Jumat, 26 Juli 2024 lalu.
Mengambil tema “The Future of Love”, rangkaian kelas ECF yang bisa secara leluasa diikuti oleh publik ini akan diselenggarakan dalam empat pertemuan luring dan enam pertemuan. Ini merupakan tahun ke-18. Tahun lalu, tema yang diambil adalah perang.
Bambang Sugiharto, penulis buku Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, kemudian membagi cinta pada hal fenomena dalam pengalaman yang nyata seperti hubungan jatuh cinta penuh gairah. Membedah klasifikasi unsur-unsur cinta, motivasi-motivasinya hingga tingkat-tingkatannya. Di antaranya cinta erotik (cinta fisik).
“Konon yang paling rendah dalam literatur selalu cinta erotis fisik. Realitas fisik (itu) realitas primer, tapi itu dianggap paling rendah terutama berkaitan dengan agama. Romantik itu lebih tinggi karena ada perasaan hati,” jelasnya.
Selain itu, Bambang juga menguraikan cinta secara psikologis dan pandangan secara neurosains bahwa cinta merupakan salah satu jenis emosi dasar, selain senang, marah,sedih, takut, jijik, atau kaget. Cinta adalah emosi, respons atas stimulus yang signifikan, ditandai peningkatan serotomin, depamin, dan oksitosin.
Sementara itu dalam pandangan filsafat, Bambang menuturkan bahwa setiap filsuf saling dipengaruhi satu sama lainnya. Filsuf klasik murid dari Socrates, Plato mewakili pandangan cinta menuju jalan kesempurnaan.
“Kata Plato, cinta erotik hanyalah awal dari pencarian keindahan, kebaikan, dan kebenaran yang lebih sempurna, lebih tinggi dan bersifat illahi. Sesuatu yang kita rindukan tapi tidak kita miliki,” ujarnya.
Cinta juga merupakan jalan untuk menemukan diri. Merujuk Gabriel Marcel, cinta adalah kehadiran (presence) pihak lain yang membuat diri dan kehidupan kita lebih penuh.
“Bahkan, kalau pun pasangan kita itu secara fisik tidak di dekat kita, kehadirannya bisa terasa dan berdampak,” kata Bambang.
Sementara itu, tokoh sufi dan filsuf Muslim, Jalaluddin Rumi mengartikan cinta dengan banyak makna. Salah satunya, cinta sebagai ibu yang melahirkan manusia.
Baca Juga: COLLOQUIUM PHILOSOPHICUM 2023: Mencari Makna Kehidupan dalam Kehancuran atau bahkan Kiamat
https://bandungbergerak.id/article/detail/15299/sawala-dari-cibiru-20-filsafat-pada-generasi-kini
Kehilangan Cinta
Organizing Committee ECF Fakultas Filsafat Unpar, Yohanes Slamet menuturkan keaadan dunia yang saat ini penuh dengan perang antarnegara, seperti konflik Rusia dan Ukraina serta penjajahan Israel atas Palestina menjadi faktor kelas filsafat cinta ini diadakan. Dalam perang dan konflik bersenjata, ada komponen kehidupan yang hilang, yaitu cinta universal. Cinta yang diserukan oleh tokoh-tokoh dunia semacam Martin Luther King dan Mahatma Gandhi. Mereka yang melawan kekerasan dengan non-kekerasan.
“Definisi kami, perang itu kekurangan cinta. Cinta dalam arti luas, cinta sebagai roh peradaban yang sebetulnya mengikat kita semua,” kata Slamet kepada BandungBergerak.
Slamet menjelaskan, ECF biasanya digelar secara tatap muka. Pandemi Covid-19 mengubah kebiasaan orang sehingga penyelenggaraan rangkaian kelas dengan banyak peminat ini pun diubah menjadi hibrida. Jadwal lengkap rangkaian kelas ECF tahun ini bisa ditengok dalam tautan ini.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artikel lain tentang Filsafat