Jurig Jarian dan Penyadaran Ekologis Warga Kampung Nusantara
Jurig Jarian merupakan legenda masyarakat Kampung Nusantara di Pangandaran yang muncul akibat keadaan sampah yang makin hari makin menakutkan.
PPPM UNPAR
Benedict Erick Mutis, Arya Prakasa Sinaga, Alfonso Hedo Yehudatama, Demas Aryasatya Darmawan, dan Jennifer
30 Juli 2024
BandungBergerak.id – Pada 7 Juli 2024 di Kampung Nusantara, Kabupaten Pangandaran, diadakan salah satu acara diskusi terbuka bertajuk: “Kaca Ka Dalapan: Jurig Jarian”, yang bertemakan: “Masa Depan Bumi: Tantangan dan Peluang Pengelolaan Sampah dalam Kehidupan Modern”. Diskusi ini mengangkat topik pengelolaan sampah beserta kerumitan dibaliknya, terutama kesadaran ekologis warga Kampung Nusantara. Bahkan, di level mendasar yakni “membuang sampah pada tempatnya” pun belum terlaksana dengan baik.
Pengelolaan sampah masih menjadi topik yang hangat dibicarakan di wilayah Kampung Nusantara. Titik-titik strategis pembuangan sampah tengah digencarkan, termasuk yang dilaksanakan SMK Bakti Karya Parigi. Kang Athif, selaku Kepala Sekolah SMK Bakti Karya Parigi menerapkan strategi pemilahan sampah organik dan anorganik. Namun, rencana tersebut dipandang gagal dilaksanakan, karena belum adanya kesadaran siswa-siswi untuk memilah-milah sampah di sekitarnya. Bahkan, sampai saat ini, penulis masih menemukan sampah berserakan di sekitar halaman sekolah.
Jurig Jarian, sebagaimana menjadi objek bahasan, merupakan legenda masyarakat Kampung Nusantara yang muncul berkat keadaan sampah yang makin hari makin menakutkan. Hantu ini diyakini bertempat-tinggal di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau tempat yang bersuasana kotor, tengik, dan jijik. Tak ada yang berani mendekati, apalagi menantangnya. Sempat diceritakan Kang Aris, hantu Jarian ini senang menangkap anak kecil dan mengganggu orang dewasa (membuat merinding). Semakin jijik nan tengik, ia semakin kuat dan gagah perkasa menakut-nakuti masyarakat sekitar.
Jurig Jarian boleh dipandang sebagai bentuk metafora atas sampah yang dibiarkan menumpuk begitu saja (nihil pengelolaan), serta menciptakan kesan jijik dan jorok. Hadirnya kecocokan, antara hantu Jarian dan buruknya pengelolaan sampah (meninjau segi pembahasaannya). Katakanlah, menghasilkan penyakit, mendegradasi kualitas hidup masyarakat, dan lain sejenisnya.
Baca Juga: Orang Muda Sebagai Motor Perubahan Pengelolaan Sampah
Aktivis Lingkungan Menyerukan Bumi Pasundan agar Bebas dari Plastik dan Polutan, Pengelolaan Sampah Jawa Barat masih Bermasalah
Pengelolaan Sampah Kota Bandung Membingungkan, dari Sistem Tidak Ramah Lingkungan RDF hingga Tersendatnya Kang Empos
Memitigasi Jurig Jarian
Salah satu jalan jitu memitigasi kehadiran Jurig Jarian adalah mengurangi frekuensi pembuangan sampah dengan mengelolanya “dari dalam rumah” masing-masing warganya. Kang Aris menuturkan pola pengelolaan Bank Sampah di Kabupaten Pangandaran yang ia mulai sejak tahun 2020. Fokus utamanya adalah jenis sampah plastik yang digambarkan selaku Jurig Jarian-nya yang membuat gentar, resah, dan gelisah saking banyaknya.
Tentu, tujuan praktis atas solusi gunung sampah plastik tak lepas dari ruang-lingkup diskursivitas. Kang Aris pun mengafirmasi untuk dilaksanakannya pengkajian secara komprehensif. Titik berangkat mendasarnya adalah habitus masyarakat, contohnya memberdayakan limbah menjadi produk siap-pakai (aspek recycle dan reuse) beserta merancang skema komprehensif mengenai penanggulangan, pemrosesan, dan penggunaan-kembali sampah menjadi produk baru. Penskemaan itulah yang harapannya mendorong pemerintah merealisasikan berbagai strategi ekologis.
“Ketika kita menjaga alam, maka alam juga akan menjaga kita,” begitulah penuturan Kang Athif yang tetap relevan hingga saat ini.
Kita manusia, apabila meneropongnya secara luas, maka sebetulnya berselaras dengan alam (saling kait-mengait layaknya jaring laba-laba; web). Apa yang kita perlakukan kepada alam, itulah yang akan kita rasakan. Contohnya, jika kita masih menyukai membuang sampah plastik tanpa mempertimbangkan pengelolaannya, maka kemaslahatan kehidupan masyarakat turut terganggu. Kita memberi asupan kepada Jurig Jarian untuk tetap hidup, tetap tinggal menghantui.
Unsur “takut”, rasanya menjadi salah satu aspek terpenting dalam penanaman kesadaran-ekologis itu. Rasa takut, halnya khawatir suatu kejadian di masa depan (yang abstrak dan probabel), runtuhnya ekspektasi, dan ancaman yang terus menghantui. Adanya orientasi atau tolok-ukur tertentu seseorang yang menggetarkan hati, membuat bulu kuduk merinding, dan lain sebagainya.
Aspek rasa takut lainnya yang rencananya dilaksanakan adalah fungsi kontrol dan pengawasan. Kang Athif, selanjutnya ditambahkan oleh Arya Prakasa Sinaga, mengamini penggunaan CCTV yang disebar di beberapa titik strategis, guna memantau siapa saja yang membuang sampah sembarangan di lingkungan sekolah. Jurig Jarian menjadi subjek di sini, bahwa sampah yang ditebar di mana-mana malahan menjadi momok buruk bagi hantu tersebut kian menguat dan gagah. Siswa-siswi yang diawasi, tentu memiliki ketakutan tersendiri ketika diawasi. Pembuatan miniatur kehidupan dalam daerah penuh pengawasan tak disadari (selaras Teori Panoptikonisme ala Foucault).
Mengelola Sampah
Adapun usul pengelolaan berdasarkan kompensasi dan paradigma berorientasi pada solusi (solutif). Benedict Erick Mutis menyarankan adanya pola timbal-balik yang digaungkan sedari awal, layaknya dipelopori platform ‘Plastic Pay’. Platform tersebut memungkinkan seseorang menyetor sampah plastik dan mendapatkan sejumlah uang sebagai imbalannya. Katakanlah, seseorang menyetor beberapa botol plastik ke ‘mesin penyetor otomatis’ (vending machine). Ia ditampilkan beberapa pundi rupiah, lalu dapat ditransfer ke Gopay, Ovo, Shopeepay, dan Linkaja.
Permasalahan interteritorial, yang bermakna pelampauan batas ruang, menemukan masalah dalam distribusi sampah di Kawasan Sungai Cikapundung (poin penting: analisis masalah). Arya Prakasa Sinaga, mengutarakan pendapatnya (pasca-eksperimen sosial), bahwa warga yang tinggal di bantaran sungai acapkali menyalahkan pemerintah. Kita dapat memandangnya dari konotasi Sisyphus (soal sirkularitas, perputaran abadi) yang mengaitkan masalah eksternal ke ranah internal (refleksi laku-hidup) terlebih dahulu.
Mengulas kembali program masa lalu: Program Pemerintah Kota Bandung masa jabatan Ridwan Kamil dinamakan: “Rumah Maggot” di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sampah-sampah organik diolah menggunakan belatung untuk mempenetrasi dekomposisi sampah hampir di semua TPA. Jennifer mengutarakannya berasaskan pendekatan UNPAR yang memilah sampah menjadi tiga jenis, ditambah sampah B3: sampah beracun.
Lebih praktis dan berorientasi kepada cara, Alfonso Hedo Yehudatama membahas pengalamannya mengorganisasi tambak lele sebagai salah satu cara untuk mengatasi sampah dan keuangan pada SMK Bakti Karya. Pembuatan tambak lele sebagai salah satu metode pengolahan sampah yang efektif dan menguntungkan. Apalagi, ditambah lele pun memiliki ketahanan hidup dan pola makan yang beragam, sehingga limbah organik bisa menjadi makanan ikan lele. Dampak nyatanya, usaha tambak lele rasa-rasanya dapat menjadi sumber pendapatan baru. Halnya yang diamini Seminari Mertoyudan mendapatkan keuntungan sekitar 40 Juta Rupiah tiap 3 bulan sekali. Sehingga, apabila diaplikasikan dalam koridor SMK Bakti Karya, boleh dikatakan permasalahan sampah dapat diselesaikan dengan cara yang menguntungkan.
Di akhir pembahasan dan penulisan ini, pemecahan masalah paling dekat adalah menggunakan pendekatan berperisaikan tokoh agama dalam permasalahan sampah. Seperti yang kita sadari, bahwa tokoh agama merupakan salah satu sosok disegani dan ditakuti khususnya di daerah Kampung Nusantara. Resolusi hipotetis dari pembahasan tersebut adalah menyebarkan “rasa takut” sebagai moda dan kendaraan menuju “penggelitikan” kesadaran ekologis, yang lantas membuahkan habitus masyarakat tunduk, manut, dan sinergis kepada persona alam itu.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang pengelolaan sampah