Membicarakan Benang Kusut Tata Kota Bandung
Tata kota Bandung semakin rumit. Penduduk terus bertambah, kemacetan, polusi, sengketa lahan, dan diperparah kurangnya kebijakan politik.
Penulis Muhammad Wijaya Nur Shiddiq 31 Juli 2024
BandungBergerak.id - Kota merupakan bagian integral kehidupan manusia. Sepanjang sejarah, negara berkembang dari konsep kota (city state) yang pada akhirnya memainkan peran penting dalam membangun peradaban. Tonggak dari budaya dan agama seluruh dunia bermula dari kota, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Mekkah dan Madinah dalam sejarah agama Islam. Dengan demikian, kota sejatinya adalah tempat pertukaran produk, ide, gagasan, dan jasa.
Konsep tentang ‘kota’ tersebut merupakan ide yang disampaikan oleh Imam Wiriatmadja dalam acara mimbar ide di Room19, sebuah perpustakaan independen yang terletak di Jalan Dipatiukur, Bandung. Acara bertajuk “Jangan Putus Asa Dulu tentang Bandung” ini adalah panggung diskusi mengenai berbagai persoalan yang dialami oleh masyarakat Bandung.
Sebagai kota yang dianugerahi oleh fitur topografi yang kukuh; dikelilingi oleh pegunungan, serta iklim yang sejuk, Bandung layaknya menjadi kota yang nyaman untuk dihuni. Sejak pembangunannya memang Bandung didesain sebagai kota ‘kecil’ yang berbagai sudutnya mudah dijangkau. Namun, pertumbuhan manusia yang menuntut perluasan kawasan hunian telah menciptakan berbagai masalah baru yang juga berujung pada kekhawatiran tentang konsekuensi tata kelolanya.
Lalu, bagaimana Bandung dapat diperbaiki, di tengah kekurangan lahan serta minimnya fasilitas umum yang dapat menunjang aktivitas masyarakat? Imam menjelaskan, Bandung sebetulnya memiliki lahan yang cukup apabila dikelola dengan baik. Lahan yang berada di tengah kota, seperti di Jalan Supratman, dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kekurangan hunian apabila tidak digunakan sebagai lokasi acara-acara besar.
Manajemen lahan lantas menjadi persoalan genting yang patut disoroti di Bandung. Dalam konteks konektivitas transportasi umum pun, Bandung sejatinya memiliki modal yang memadai. Berkaca pada sejarah Bandung, satu abad lalu pusat kota ini disiapkan sebagai pusat bagi komunikasi, fasilitas negara, hingga jaringan rel kereta api. Akan tetapi, hal tersebut telah kehilangan relevansinya seiring orientasi pembangunan dialihkan seluruhnya menuju Jakarta.
Hampir seratus tahun berlalu sejak pembangunannya, pemanfaatan lahan di Bandung masih menemui titik buntu. Hal ini menunjukkan masyarakat yang tidak lagi menghargai ‘kontrak sosial’ Bandung sebagai sebuah kota–di mana kota seharusnya menjadi hunian nyaman tempat pertukaran gagasan.
Dalam menelusuri akar permasalahannya, lahan di Bandung menjadi persoalan yang pelik, mengingat bahwa pengelolaan lahan tidak sepenuhnya diserahkan kepada negara. Campur tangan segelintir orang dan pihak swasta telah menimbulkan kepentingan-kepentingan pribadi yang berujung pada sulitnya pengelolaan lahan. Hal tersebut tampak pada kasus Sekeloa dan lahan Unpad, di mana lahan pemerintah kota disewakan kepada perusahaan swasta dengan harga yang sangat terjangkau.
Dengan demikian, konflik lahan dan kepentingan menjadi peristiwa yang tidak terelakkan. Upaya pemerintah dalam mengelola lahan kota, sekalipun ada, dinilai dangkal. Hal tersebut diungkapkan oleh Imam ketika menjelaskan mengenai pembangunan berbagai taman di Bandung yang tidak lepas dari kepentingan ekonomi dan meminggirkan kepentingan masyarakat.
“Kita jangan putus asa dulu dengan kota Bandung karena masih ada harapan; modal kita itu sangat besar, yaitu lahan yang dimiliki oleh negara; namun yang mengelola bukan kita, melainkan orang-orang yang gak mikirin kita,” kata Imam Wiriatmadja.
Terlepas dari permasalahan tersebut, Imam berujar bahwa Bandung masih memiliki harapan untuk berubah apabila masyarakatnya memiliki visi pembangunan yang mengedepankan manusia (human-centric development). Kota seharusnya menjadi tempat aktualisasi diri serta menunjang kebutuhan dan aktivitas masyarakatnya. Harapan tersebut pun dapat tercapai apabila masyarakatnya memiliki aspirasi untuk melawan status quo: penguasaan lahan. Optimalisasi sumber daya finansial dan lahan untuk membangun fasilitas umum pun menjadi salah satu unsur utama yang diperlukan. Tentunya, seluruh upaya tersebut memerlukan akuntabilitas serta bentuk kontrol masyarakat dalam pelaksanaanya.
Action plan yang diajukan Imam merupakan gambaran besar bagi pembangunan Kota Bandung beserta upaya untuk menanggulangi berbagai permasalahannya. Salah satu peserta dari acara ini menyampaikan hal tersebut dan mengatakan bahwa karakteristik masyarakat yang sulit diubah menjadi penghalang bagi perubahan tersebut. Sebagai contoh, pola pikir yang menganggap bahwa kepemilikan mobil pribadi sebagai status di masyarakat telah berkontribusi pada kemacetan dan fokus pembangunan bersifat car-centric.
Merespons tanggapan tersebut, Imam berujar bahwa kesadaran terhadap keterbatasan lahan seharusnya menjadi tonggak awal yang perlu dibangun di tingkat masyarakat. Di Kepulauan Seribu, seluruh masyarakatnya tidak memiliki mobil sebab mereka memiliki lahan terbatas. Ketika lahan disikapi sebagai sesuatu yang terbatas, maka nilainya pun meningkat, dan pemanfaatannya ditingkatkan secara maksimal.
Dengan demikian, kesadaran masyarakat perlu dibangun terlebih dahulu sebelum berbicara mengenai kebijakan pemerintah. Unsur partisipatif kemudian menjadi hal yang patut disorot untuk melengkapi political will masyarakat. Salah satu peserta diskusi pun menuturkan bahwa upaya untuk menekan pemerintah merupakan hal penting di samping kesadaran bersama.
Baca Juga: Skywalk Bandung dan Macan Kertas Tata Ruang Kota
Akar Masalah DAS Citepus Bukanlah Sampah melainkan Tata Ruang
Menolak Politik Dinasti, Kota Bandung Membutuhkan Wali Kota Properempuan
Tata Kota Bandung dan Bogota
Partisipasi masyarakat tersebut tampaknya telah diwujudkan di belahan dunia lain. Tata kota adalah isu yang tidak hanya dialami oleh Bandung, namun merupakan fenomena global. Dalam acara diskusi yang telah diadakan sebelumnya bertajuk “Watch Party: Cities on Speed”, transformasi Bogota dari kota kumuh menjadi kota yang layak dihuni kemudian disorot. Kondisi Bogota pada tahun 1990-an jauh lebih buruk daripada Bandung.
Korupsi, kekerasan, hingga tata kelola yang buruk di Bogota menjadi fenomena yang wajar pada saat itu. Akan tetapi, keberadaan Antanas Mockus dan Peñalosa sebagai figur independen dalam panggung politik telah berhasil mengubah lanskap kota tersebut dan merekonstruksi orientasi pembangunan Bogota menjadi lebih berfokus pada manusia. Hal tersebut pun tidak mungkin dicapai tanpa aspirasi masyarakat yang dibarengi dengan peran berkelanjutan dari pemerintah kota.
Berkaca dari transformasi drastis Bogota, Bandung tampaknya memiliki harapan serta modal lebih untuk memperbaiki dirinya menuju tatanan yang lebih ‘manusiawi’. Kesadaran terhadap permasalahan tata kelola, perubahan pola pikir terkait lahan yang semakin terbatas, hingga tekanan terhadap pemerintah yang diiringi dengan kemauan politik kemudian menjadi kunci untuk mewujudkan visi pembangunan Bandung yang mengedepankan manusia.
Transformasi Bogota dari kota semrawut menjadi tertata menjadi bahan penelitian skripsi Erly Dwi Aryanti berjudul “Sistem Bus Rapid Transit Terkait dengan Pengaturan Angkutan Pengumpan (Feeder) pada Sistem Busway TransJakarta” (Fakultas Teknik Program Studi Teknik Sipil Universitas Indonesia, 2009).
Erly membandingkan sistem transportasi massal TransJakarta dengan TransMilenio di Bogota, Kolombia. TransMilenio adalah sistem transportasi angkutan bus yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan untuk memperbaiki produktivitas masyarakat kota.
Di tahun 1988, gambaran tentang kondisi transportasi di Bogota antara lain: rute pelayanan angkutan umum sangat panjang, dengan bus berkapasitas angkut yang rendah; jaringan jalan 95 persen terdiri dari mobil pribadi yang hanya memindahkan 19 persen dari semua jumlah penduduk; dan tingkat kecelakaan tinggi.
Dinamisasi pembangunan di Bogota mulai terasa saat Wali Kota Bogota dijabat Enrique Penalosa pada tahun 1998-2000. “Penalosa mempunyai kemauan politik untuk menata transportasi massal sebagai bagian dari strategi pembangunan kota, dan bukan program yang parsial,” tulis Erly Dwi Aryanti, diakses Kamis, 31 Juli 2024.
Penalosa merevitalisasi angkutan umum dalam wujud BRT TransMilenio berkelanjutan, dan menjadikannya tulang punggung kemajuan kota. Pembangunan infrastruktur busway beriringan dengan proses lelang pengadaan bus. Saat konstruksi infrastruktur selesai, bus pun sudah siap.
TransMilenio adalah sebuah sistem angkutan bus rapid transit (BRT) yang didesain berdasarkan prinsip-prinsip: menjamin pelayanan angkutan umum perkotaan dengan kualitas internasional yang tinggi melalui sistem yang menyeluruh; dapat dijangkau oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah, pendanaan dilakukan oleh pemerintah; mengurangi tingkat kecelakaan dan pencemaran emisi; dan mengurangi waktu tempuh perjalanan hingga 32 persen.
“Sejak diterapkannya sistem angkutan TransMilenio di Bogota pada Desember 2000 dapat dibandingkan bahwa sebelum dan sesudah sistem ini diterapkan, terjadi perubahan kondisi lalu lintas kota yang cukup signifikan. Tingkat kecelakaan berkurang hingga 90 persen pada koridor-koridor di mana angkutan TransMilenio beroperasi. Kejadian tindak kriminal dalam kendaraan berkurang hingga 83 persen, udara kota juga menjadi lebih bersih,” papar Erly.
Meski demikian, sebelum TransMilenio dioperasikan, Penalosa menggusur permukiman liar dan menatanya. Warga pendatang yang tidak mempunyai kartu tanda penduduk Bogota dipulangkan ke daerah asal. Warga yang memiliki kartu tanda penduduk Bogota direlokasi ke pinggiran kota.
Permukiman di pinggiran kota dibangun menyerupai rumah susun (rusun). Penalosa juga mewajibkan semua bangunan di tepi jalan raya mundur tiga meter atau lebih demi pelebaran jalan. Hasilnya, lebih dari 300.000 meter persegi ruang publik ditata dan dibangun untuk trotoar, jalur pedestrian, ruang terbuka hijau, dan lorong, serta jalur tambahan jalan utama.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Wijaya Nur Shiddiq atau artikel-artiikel lain tentang Tata Kota Kota Bandung