PROFIL KOMUNITAS THE ROOM 19: Perpustakaan Alternatif di Tengah Minimnya Ruang-ruang Membaca di Bandung
Nama Room 19 bermula dari referensi drama Korea, yaitu ruangan sepi tapi tidak membuat kesepian. Room 19 menjadi jembatan antara buku (perpustakaan) dan pembaca.
Penulis Muhammad Wijaya Nur Shiddiq 1 Agustus 2024
BandungBergerak.id - The Room 19 adalah perpustakaan independen yang didirikan oleh tiga orang, yaitu Reiza Harits, Alia, dan Edo pada Desember 2023. Perpustakaan ini dalam perkembangannya telah berubah menjadi lembaga nirlaba yang juga berdiri secara mandiri. Inisiatif pendirian ruang perpustakaan yang terletak di daerah Dipatiukur ini muncul karena kegemaran membaca buku yang dimiliki oleh ketiga penggagasnya.
Jika dibandingkan dengan kota lain, seperti Jakarta atau Yogyakarta, mereka melihat Bandung memiliki kekurangan tempat publik dengan ekosistem literasi yang ‘hidup’. Adapun perpustakaan pemerintah, Reiza menilai bahwa jarang sekali terdengar kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di tempat tersebut. Perpustakaan independen lain pun ada, hanya saja banyak yang sudah tutup dan Reiza menginginkan adanya panggung diskusi untuk menyampaikan gagasan-gagasan literatur.
“Yang kita harapkan tempat-tempat publik ini, perpustakaan, bukan sebagai tempat depositori buku saja. … Yang kita inginkan, kan, sebenarnya ada kegiatan, gimana caranya isi atau gagasan yang ada di dalam buku itu bisa tersampaikan dengan baik (kepada para pembaca),” kata Reza, kepada BandungBergerak di The Room 19, 23 Juli 2024.
Reiza mengungkapkan bahwa perpustakaan seharusnya menjadi ‘jembatan antara’ pembaca dengan penulis buku. Jika perpustakaan tidak dapat menunjang kegiatan-kegiatan diskusi literasi, maka ‘jembatan’ tersebut tidak dapat terbangun. Lantas, Reiza bersama dengan kedua pendiri lainnya hendak mempertemukan gagasan-gagasan literatur dengan para pembacanya melalui ruang independen yang dinamakan ‘Room19’.
Nama ‘Room 19’ sebetulnya bermula dari referensi drama Korea favorit salah satu penggagasnya, Edo. Dalam drama tersebut, tokoh favoritnya memiliki buku berjudul “To the Room Nineteen” karya Doris Lessing yang menceritakan kisah seorang ibu stay-at-home yang penat dari kehidupan sehari-harinya dan hendak mencari tempat untuk ‘menjadi dirinya sendiri’ dengan menyewa suatu ruangan motel bernomor 19. Di waktu senggangnya, sang tokoh utama sesekali pergi ke ruangan tersebut untuk mendapatkan ketenangan, sekalipun ia merasa sepi.
Ketiga penggagas Room 19 kemudian hendak membuat antitesis dari ‘Room Nineteen’ tersebut. “Kita bisa kok untuk datang ke tempat ini dan untuk berkumpul dengan orang-orang. Tapi kita tetap bisa menjadi diri sendiri tanpa merasa sepi,” lanjut Reiza.
Salah satu hal yang menarik dari Room 19 adalah disediakannya sticky notes untuk ditempelkan di dinding-dinding ruangannya. Reiza mengungkapkan bahwa hal tersebut awalnya dipakai oleh para pendiri serta pustakawan untuk melakukan brainstorming terkait kegiatan-kegiatan yang hendak diselenggarakan. Namun, lama-kelamaan para pengunjung ikut menempelkan sticky notes tersebut yang berisikan berbagai macam coretan, harapan, atau hanya menandakan bahwa mereka sudah pernah ke perpustakaan tersebut. Salah satu pengunjungnya pun bahkan menuliskan kesenangannya terhadap kehadiran tempat ini karena dia dapat benar-benar menjadi sendirian tanpa merasa kesepian.
Sebagai perpustakaan independen, mayoritas buku yang terdapat di Room 19 merupakan koleksi pribadi dari ketiga pendirinya yang masing-masingnya juga menyukai genre berbeda-beda. Para pengunjung dan komunitas pun dapat menyumbangkan buku-buku mereka, namun harus melalui tahap kurasi terlebih dahulu. Proses kurasi ini dilakukan untuk melihat kualitas fisik buku tersebut sekaligus menentukan seberapa menarik tema bukunya karena ada beberapa genre yang jumlah bukunya kurang.
Kegiatan-kegiatan yang diadakan di perpustakaan ini tidak hanya terbatas pada diskusi literatur. Terdapat berbagai lokakarya (workshop), kelas menulis kreatif, acara nonton bareng, hingga diskusi-diskusi seputar tema tertentu yang berganti setiap bulan serta diadakan oleh tim Room 19 maupun berbagai komunitas literasi lain. Melalui kegiatan tersebut, para pendiri perpustakaan berharap bahwa minat literasi khalayak umum dapat dipantik sekaligus ditingkatkan.
Suasana yang nyaman serta para pustakawan yang ramah menjadi daya tarik The Room 19. Hal tersebut diungkapkan oleh Fina, salah satu pengunjung. Menurutnya, tempat ini memiliki koleksi yang beragam serta nyaman untuk membaca buku ataupun mengerjakan tugas.
Salah satu pustakawan Room 19 Gibran merasa senang ketika dapat membantu mencari buku yang pengunjung inginkan. Sering kali ia menemukan berbagai sticky notes di buku yang berisi sautan serta afirmasi positif bagi para pustakawan maupun pembaca lain.
Baca Juga: PROFIL KOMUNITAS RUANG KETIGA: Mengubah Ruang Kosong di Bandung Menjadi Ruang Publik Inklusif
PROFIL KOMUNITAS EDAN SEPUR: Mengabdikan Diri pada Transportasi Kereta
PROFIL PIK POTADS JABAR: Sistem Pendukung dan Wadah Berbagi untuk Orang Tua dengan Anak Sindrom Down
The Bandung Library
Reiza berharap bahwa perpustakaan independen yang didirikan bersama teman-temannya ini dapat ditingkatkan menjadi lebih layak serta beralih menuju tempat yang lebih besar. Koleksi buku yang sudah mulai memenuhi ruangan dan kendala mencari tempat parkir menjadi masalah yang melatarbelakangi harapan tersebut.
Lebih dari itu, Reiza pun menuturkan bahwa ke depannya ia berharap orang-orang dapat berkunjung ke perpustakaannya secara gratis. Adanya biaya masuk yang berlaku saat ini ditujukan hanya untuk kebutuhan operasional dan penggajian para pustakawan, sehingga ke depannya, ia bersama teman-teman lainnya akan terus mencoba untuk mengajukan pendanaan ke pemerintah serta berbagai yayasan.
Para penggagas The Room 19 memiliki visi untuk menjadikan perpustakaan tersebut tempat yang dapat diakses lebih baik oleh khalayak umum. Mereka berencana untuk membuat tempat seperti The London Library–yang kemudian dalam visi mereka menjadi ‘The Bandung Library’. Perpustakaan itu pun diinisiasi oleh pihak swasta sebelum pemerintah menyadari pentingnya tempat publik berbasis literasi. Dengan demikian, visi ‘The Bandung Library’ direncanakan sebagai tempat tanpa sekat sekaligus pusat kebudayaan.
Idealnya, hal ini seharusnya diwujudkan oleh perpustakaan pemerintah. Reiza mengatakan bahwa kendala yang sering kali ditemukan ketika mengunjungi tempat tersebut adalah adanya rasa segan dan ‘sekat’ karena aksesibilitasnya terbatas. Ia ingin membangun perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan dan hidup; penuh kegiatan yang tidak bersekat, menjadi tempat berkarya maupun beristirahat.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Wijaya Nur Shiddiq atau artikel-artikel lain tentang Komunitas Bandung