• Komunitas
  • PROFIL KOMUNITAS RUANG KETIGA: Mengubah Ruang Kosong di Bandung Menjadi Ruang Publik Inklusif

PROFIL KOMUNITAS RUANG KETIGA: Mengubah Ruang Kosong di Bandung Menjadi Ruang Publik Inklusif

Ruang publik di Bandung sudah tersedia dan seharusnya bisa dimanfaatkan berkreasi dan bersosialisasi. Sayangnya, banyak ruang publik yang kurang hidup.

Sesi foto bersama setelah kegiatan book storytelling session sekaligus bermain peran dalam agenda Cascade Book Party yang bekerja sama dengan Maca Foundation. (Sumber Foto: Ruang Ketiga)

Penulis R.Sabila Faza Riana 31 Juli 2024


BandungBergerak.idBerawal dari perlombaan S2Cities, Doni Darmawan PG dan rekan-rekannya (Kenji, Dea, serta Ipang) yang tergabung dalam sebuah tim bernama Rhino, merancang sebuah program tata ruang kota yang bertujuan agar ruang publik dapat dimanfaatkan maksimal oleh masyarakat. Mereka terinspirasi oleh “Low Emission Zone” yang diterapkan di satu wilayah di Kota Tua dan gagasannya berhasil menyabet pendanaan untuk diterapkan secara nyata di masyarakat.

Mimpinya untuk dapat menghidupkan kembali ruang-ruang publik agar masyarakat dapat merasakan manfaatnya, membuat Tim Rhino terus memutar otak dengan membuat rancangan yang paling memungkinkan untuk diterapkan. Rancangan pertamanya tentang “Low Emission Zone” sulit untuk direalisasikan di tengah padatnya Kota Bandung, karena mengharuskan mereka membuat sebuah zona bebas kendaraan. 

Pada akhirnya, lahirlah komunitas bernama Di Bawah Jembatan yang bertujuan untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat akan ruang publik yang layak.

"Banyak orang-orang yang butuh hiburan, tapi belum mampu. Sedangkan ruang publik itu tersedia banyak, harusnya bisa dimanfaatkan dengan lebih baik. Bisa dipakai untuk tempat berkreasi, bersosialisasi. Namun sayangnya, di Bandung ini masih banyak yang kurang hidup," ujar Doni Darmawan.

Kota Bandung memiliki banyak ruang publik yang seharusnya dapat digunakan. Namun sayang banyak ruang publik yang tidak terawat sehingga masyarakat pun kehilangan ruang untuk berekreasi. Berangkat dari keresahan tersebut, Doni dan rekan-rekannya merancang sebuah kegiatan yang memanfaatkan fasilitas publik dan partisipasi aktif masyarakat. Berbekal latar belakang sebagai anak Perencanaan Wilayah Kota (PWK), ia menerapkan keilmuan yang didapatnya di ruang kelas.

Bagi Doni, kurangnya kebiasaan masyarakat untuk datang ke ruang publik saling berkaitan erat dengan fasilitas yang tersedia. Maka, ia mulai menyusuri taman-taman yang ada di Bandung dan melakukan analisis dengan menimbang beragam kriteria di antaranya sisi historis, besarnya dampak bagi masyarakat, hingga lokasi yang paling memungkinkan untuk merealisasikan kegiatan. Ia melakukan observasi di Taman Maluku, Taman Lansia, Taman Film, dan taman lainnya di Kota Bandung hingga pada akhirnya menjatuhkan pilihan untuk melakukan intervensi di Taman Film.

"Taman Film awalnya cukup terkenal untuk masyarakat ngumpul dan nonton. Di Taman Film ada lapangan futsal dan memang punya sejarah yang besar, lapangan futsal itu dibangun oleh tim futsal Tamansari. Habis Covid, taman ini sepi dan fasilitasnya banyak yang rusak. TV-nya juga udah gak dipakai lagi," Doni berkisah.

Semenjak pandemi Covid-19 melanda, Taman Film menjadi terbengkalai dan tak terurus, layar yang biasa digunakan untuk nonton bareng oleh warga tidak lagi terpakai. Beberapa fasilitas rusak, ditambah area bagian bawah digunakan sebagai area parkir travel. Di tengah kondisi tersebut, ia ingin mengembalikan paradigma Taman Film sebagai taman yang terbuka untuk umum, utamanya karena terdapat pagar pembatas yang mengelilingi sepanjang taman.

Usahanya tentu tak berjalan mudah, terutama karena ia ingin memanfaatkan ruang publik yang sejak awal berada di bawah kewenangan Pemerintah Kota Bandung. Ia perlu mengurusi perizinan kepada Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPKP) Kota Bandung sampai akhirnya izin pemanfaatan taman kota berhasil diterbitkan. Dalam prosesnya, Hackathon juga berhasil menggaet pemangku kebijakan untuk melaksanakan forum group discussion (FGD) bersama masyarakat setempat untuk membedah dan mendengarkan secara langsung kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang dilaksanakan di Taman Film.

Tak sampai di situ, agar kegiatan yang diselenggarakan dapat bermanfaat serta mengenai sasaran kebutuhan masyarakat, ia melakukan wawancara bersama perangkat desa hingga membuat jajak pendapat yang dibagikan kepada pengunjung Taman Film. Tim Rhino juga bekerja sama dengan karang taruna kelurahan Tamansari sampai para ibu yang gemar dengan kegiatan senam untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan yang dirancangnya.

“Yang paling bikin aku bangga dari hasilnya itu, kita bisa buat tokoh-tokoh masyarakat di sana, karang taruna, sama lembaga-lembaga kewilayahan akhirnya jadi lebih dekat dan berkolaborasi untuk membangun lagi si Taman Film,” tutur Doni.

Pada September 2023, Di Bawah Jembatan melakukan rebranding menjadi Ruang Ketiga. Hal ini dilakukan untuk memperluas tujuan utama komunitas, tak hanya sekadar dibentuk untuk keperluan implementer program S2Cities, lebih jauh lagi dapat mengembangkan pengetahuan terkait aktivasi ruang publik melalui placemaking. 

Pada dasarnya nama Ruang Ketiga sendiri diambil berdasarkan sebuah konsep dalam perencanaan wilayah. Ruang pertama yang menggambarkan rumah atau tempat yang ditinggali. Ruang kedua yaitu tempat yang digunakan untuk berkegiatan seperti kantor atau sekolah. Serta ruang ketiga, tempat orang-orang dapat bersosialisasi juga berekreasi.

Baca Juga: PROFIL KOMUNITAS HAREUDANG BANDUNG: Bergerak Menekan Dampak Buruk Sampah Makanan
PROFIL KELUARGA MAHASISWA TEATER ISBI BANDUNG: Masih Pentingkah Ormawa Saat ini?
PROFIL SASIKIRANA: Membangun Ruang Inkubasi Kompetensi bagi Penari-penari Muda

Ruang Ketiga Menghidupkan Ruang-Ruang Kosong

Sebagai collaborative member, Firdaus Ilham telah berkontribusi bersama Ruang Ketiga sejak tahun 2022 ketika masa Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa (OSKM) di Institut Teknologi Bandung (ITB). “Kota Berkelanjutan” menjadi tema projek yang dibawakan oleh Ruang Ketiga tempat Firdaus mengawali kontribusinya. 

Masih berpijar pada tujuan utamanya dibentuk, lewat “Kota Berkelanjutan”, Ruang Ketiga berupaya membuat ruang publik tak hanya sebagai tempat masyarakat berkumpul, bersosialisasi, dan beraktivitas, namun juga dapat memutarkan perekonomian masyarakat setempat. Ruang publik tak dipandang sekadar ruang hampa dan sarana estetika, namun perlu dijadikan suatu wadah bagi masyarakat bertumbuh dan berkembang. 

Kegiatannya bertajuk “Safe and Sound Cities, Global Happening”, yaitu ruang bagi masyarakat khususnya pemuda menuangkan keresahan maupun gagasannya kepada pemerintah Kota Bandung secara langsung yang diadvokasi oleh Ruang Ketiga. 

“Masyarakat muda ini kan sangat kritis, jadi mereka nge-deliver opini mereka, ngelihat langsung kondisi riil di lapangan kayak gimana. Di situ pemerintah ngedengerin opini mereka secara musyawarah,” ujarnya.

Ruang Ketiga terus berupaya agar kegiatan yang dibawakannya dapat berkelanjutan dan memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat. Saat ini Ruang Ketiga sedang merancang sebuah kurikulum pembelajaran khusus anak-anak di Kelurahan Tamansari. Ruang Ketiga berhasil menggaet Pertamina Foundation untuk berkolaborasi dalam kegiatan ini. Kurikulum ini akan disajikan untuk anak-anak TK hingga SMP sebagai suplemen tambahan selain pembelajaran di ruang formal.

Sudah ada lima kegiatan yang telah diselenggarakan oleh Ruang Ketiga, di antaranya: Di Bawah Jembatan yang berlokasi di Taman Film; kolaborasi bersama Karang Taruna untuk membuat kandang maggot; bekerja sama dengan Jane’s Walk, sebuah kegiatan jalan-jalan santai untuk memperkenalkan ruang publik kepada peserta yang hadir, diadakan di dua lokasi yakni Bandung dan Jakarta. 

Selanjutnya, Book Party yang diselenggarakan di Taman Cascade yang melibatkan komunitas buku dan pegiat buku, juga membuat sebuah perpustakaan kecil yang bekerja sama dengan SAPPK ITB yang bertujuan untuk membantu meningkatkan minat literasi anak-anak. Terakhir, kegiatan terbaru diselenggarakan di Teras Cihampelas yang bernama “‘Teras Cihampelas Community Festival”, kegiatannya terdiri dari bazar-bazar yang bekerja sama dengan komunitas dan UMKM setempat.

“Public place ini part of kita juga, part of kehidupan sehari-hari kita juga. Jadi jangan sampai jadi terbengkalai,” ujar Firdaus.

*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari R.Sabila Faza Riana atau artikel-artikel lain tentang Komunitas Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//