• Komunitas
  • PROFIL KOMUNITAS HAREUDANG BANDUNG: Bergerak Menekan Dampak Buruk Sampah Makanan

PROFIL KOMUNITAS HAREUDANG BANDUNG: Bergerak Menekan Dampak Buruk Sampah Makanan

Komunitas Hareudang Bandung memiliki program donasi makanan berlebih agar tidak jadi sampah makanan dari katering, hotel, dan pelaku kuliner untuk kalangan rentan.

Kegiatan Foodtouristic yang diadakan Komunitas Hareudang Bandung, Sabtu, 22 Juni 2024. (Foto: Noviana Ramadani/BandungBergerak)

Penulis Noviana Rahmadani29 Juli 2024


BandungBergerak.id Sampah makanan penyumbang terbesar dalam produksi sampah di dunia, begitu juga di Bandung. Fenomena pemborosan pangan atau akrab disebut food waste ini mendorong lahirnya Komunitas Hareudang Bandung, kependekan dari Hayu Redakan Permasalahan Pangan. Sebuah inisiatif yang dibentuk Oktober 2023 ini berfokus pada edukasi dan aksi nyata dalam menekan risiko yang ditimbulkan pemborosan pangan terhadap lingkungan hidup.  

Data Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung menunjukkan, selama tiga tahun terakhir produksi sampah organik tidaklah sedikit. Pada 2021 tercatat 736,76 meter kubik per hari, pada 2022 menghasilkan 709,73 meter kubik per hari, dan pada 2023 menghasilkan 716,51 meter kubik per hari.

Meskipun memiliki sumber daya terbatas, Komunitas Hareudang Bandung berkomitmen menyuarakan edukasi soal pengurangan sampah pangan yang berkaitan dengan ketahanan pangan. “Kita masih rintisan, organisasi gerakan akar rumput di mana memang masih baru dan didirikan oleh 10 orang,” ungkap Yoga, penggagas Komunitas Hareudang Bandung, kepada BandungBergerak.

Filosofi di balik nama Hareudang Bandung terinspirasi dari fenomena sosial yang terjadi pada akhir tahun 2023, yaitu cuaca panas yang melanda Kota Bandung. Yoga menemukan bahwa salah satu faktor pendorong panas tersebut adalah sampah makanan yang menghasilkan gas metana ke atmosfer sehingga memicu pemanasan global.

“Ternyata sampah organik juga berperan penting untuk membuat iklim panas,” ujar Yoga.

Kegiatan Foodtouristic yang diadakan Komunitas Hareudang Bandung, Sabtu, 22 Juni 2024.  (Foto: Noviana Ramadani/BandungBergerak)
Kegiatan Foodtouristic yang diadakan Komunitas Hareudang Bandung, Sabtu, 22 Juni 2024. (Foto: Noviana Ramadani/BandungBergerak)

Edukasi, Kunci Mengatasi Pemborosan Makanan

Menyadari urgensi masalah pangan, Hareudang Bandung merancang sejumlah program yang melibatkan orang-orang muda secara aktif dalam upaya mengurangi food waste. Dengan pendekatan youth approach, mereka mendorong orang-orang muda menginisiasi proyek-proyek inovatif di wilayah masing-masing.

Melalui program Pemuda Tanpa Sisa Makanan (Petasan), Hareudang Bandung mengkampanyekan pentingnya meminimalkan pemborosan makanan. Mereka berupaya mengubah perilaku masyarakat dan membangun kebiasaan makan yang lebih berkelanjutan.

Program kedua adalah Food Tourist. Program ini berfokus pada kunjungan ke tempat-tempat bersejarah yang memiliki makanan autentik dan masih eksis hingga saat ini. Peserta akan diajak untuk menghargai setiap suapan makanan dan mendukung kelangsungan usaha kuliner lokal.

“Contohnya seperti Monumen Perjuangan, Di situ kita mengedukasi masyarakat sekitar yang sedang datang ke tempat tersebut. Kita mengedukasi mengenai permasalahan pangan, lebih utamanya ke food waste,” jelas Ghefira, divisi campaigner.

Minimnya pengetahuan masalah food waste menjadi tantangan utama. Namun, Hareudang Bandung mampu mengatasi hal tersebut dengan melibatkan para relawan untuk menyampaikan pesan melalui cara yang kreatif dan menarik. Selain itu, pemanfaatan media sosial juga merupakan kunci menjangkau lebih banyak orang dan mengajak masyarakat bergabung dalam gerakan mengurangi limbah makanan.

Edukasi sebagai hal vital dalam meningkatkan pemahaman, khususnya kaum kawula muda terus digencarkan. Usia anak-anak pun tidak luput dari perhatian, sejak dini, dalam benak mereka ditanamkan sikap untuk bertanggung jawab dengan makanannya, bentuk implementasi pengelolaan food waste.

Metode storytelling merupakan pendekatan yang dipakai dalam mengintegrasikan pesan kepada anak-anak. “Mereka perlu diajarkan untuk menghabiskan makanan dengan alasan sederhana seperti ‘jika tidak habis, nanti lapar’,” kata Tamara, dari divisi edukasi di Komunitas Hareudang Bandung.

Konsep ini perlu diperkuat melalui edukasi berkelanjutan agar terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kegiatan-kegiatan yang menyenangkan, anak-anak akan lebih mudah memahami dan menerapkannya. Selain itu, sebagai bagian dari evaluasi program, Hareudang Bandung melakukan asesmen untuk mengukur tingkat pemahaman peserta terkait konsep food waste.

“Penyampaian memakai alat peraga boneka. Untuk sekolah menengah pertama (SMP) atau sekolah menengah atas (SMA), kita menggunakan media visual, di mana mereka lebih bisa mengingat media visual,” kata Tamara.

Sementara itu, untuk menjamin kualitas materi edukasi, Hareudang Bandung mengacu pada portal resmi pemerintah seperti Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Provinsi Jawa Barat dan sumber-sumber terpercaya lainnya. Kolaborasi dengan berbagai pihak terkait baik pemerintah maupun nonpemerintah dilakukan untuk memastikan informasi yang disampaikan akurat dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Komunitas Hareudang Bandung berpedoman pada prinsip kebermanfaatan, dengan setiap kegiatan dirancang untuk memberikan manfaat langsung bagi masyarakat yang membutuhkan. Program Hareudang Surplus City, misalnya, memfokuskan pada pendonasian makanan berlebih dari katering, hotel, dan pelaku kuliner lainnya. Berdasarkan survei lapangan, mereka menemukan sekitar 300 katering di Kota Bandung yang belum menerapkan praktik pengelolaan sisa makanan secara optimal.

“Kami telah menjalin kerja sama dengan berbagai hotel, restoran, dan kafe yang memiliki visi yang sama, yaitu mengurangi food waste dan food loss. Kolaborasi ini diwujudkan dalam bentuk Memorandum of Understanding (MOU) dengan jangka waktu yang bervariasi, mulai dari 3 bulan, 6 bulan, hingga 1 tahun,” kata Fauzan, bagian divisi operasional, di Komunitas Hareudang Bandung.

Hareudang Bandung menyalurkan bantuan makanan kepada kelompok masyarakat yang rentan, termasuk anak jalanan, pedagang kaki lima, dan panti asuhan. Guna menjaga kualitas makanan yang disalurkan, Hareudang Bandung telah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ketat.

“Total lebih dari 1.900 packaging makanan yang sudah kami bagikan kepada penerima manfaat sosial,” kata Fauzan.

“Kami memiliki standar operasional pack. Pertama memang makanannya itu tidak berbau asam atau tidak basi. Kedua, makanannya tidak berjamur. Ketiga, yang memang makanannya itu tidak akan basi dalam satu hari ke depan,” lanjutnya.

Baca Juga: PROFIL KELUARGA MAHASISWA TEATER ISBI BANDUNG: Masih Pentingkah Ormawa Saat ini?
PROFIL SASIKIRANA: Membangun Ruang Inkubasi Kompetensi bagi Penari-penari Muda
PROFIL KOMUNITAS CIKA-CIKA: Lahir dari Keprihatinan terhadap Nasib Sungai Cikapundung

Sampah membludak TPS Tegallega, Bandung, Kamis, 12 Oktober 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Sampah membludak TPS Tegallega, Bandung, Kamis, 12 Oktober 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Dukungan Pihak Eksternal dan Rencana Masa Depan

Berasal dari gerakan akar rumput, dengan dedikasi untuk mengurangi dampak sampah makanan terhadap lingkungan, Hareudang Bandung dilirik pihak-pihak eksternal. Penguatan regulasi menjadi tonggak dalam mengefektifkan isu yang digalakkan.

Hareudang Bandung dilibatkan oleh Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Provinsi Jawa Barat dalam proses pembuatan peraturan daerah mengenai pengurangan sampah makanan pada November tahun 2023 lalu, yakni Surat Edaran (SE) Nomor 103/KS.11.02.01/PREK tentang Upaya Penyelamatan Pangan untuk Pencegahan Food Waste.

Sektor pendidikan berperan penting dalam mendukung upaya pengelolaan sampah makanan. Hareudang Bandung telah mengajak anak sekolah, seperti di SMPA dhikarya untuk aktif berpartisipasi dalam program 'Pemuda Tanpa Sisa Makanan (Petasan)'. Terlihat antusiasme generasi penerus dalam menciptakan lingkungan yang berkesinambungan.

Dengan mengadopsi prinsip ekonomi sirkular, Hareudang Bandung berencana mengintegrasikan budidaya maggot dalam sistem pengelolaan sampah makanan. Sisa makanan yang sebelumnya dianggap sebagai limbah akan diolah menjadi sumber daya bernilai tambah. Maggot yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sehingga menciptakan rantai pasok yang lebih efisien.

“Ada rencana untuk memanfaatkan maggot dalam mendaur ulang sisa makanan yang tidak bisa didistribusikan,” pungkas Fauzan.

Komunitas Hareudang Bandung mengajak semua pihak untuk berkolaborasi dalam mengatasi masalah pangan. Mereka membutuhkan dukungan konsep pentahelix yang melibatkan akademisi, pelaku bisnis, komunitas, pemerintah, dan media. Semangat gotong royong akan mendorong lahirnya program-program baru yang berdampak signifikan bagi masyarakat.

*Kawan-kawan yang baik, mari membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari Noviana Rahmadani, atau artikel-artikel tentang Profil Komunitas Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//